Edisi Spesial Ramadhan Vol. 14
Semasa saya kecil, akhir Ramadan berarti perayaan. Makin dekat dengan hari raya, berarti baju baru, juga uang saku banyak. Semasa saya kecil, berakhirnya Ramadan adalah sebuah kebahagiaan. Bertemu kerabat-kerabat jauh yang dalam kurun waktu satu tahun tak pernah ditemui. Akhir Ramadan berarti kemenangan, apalagi saat berhasil berpuasa penuh tanpa bolong.
Namun, makna itu sedikit bergeser begitu saya beranjak remaja. Narasi bersedih karena berpisah dengan Ramadan mulai banyak saya jumpai. Ada yang sekadar menceritakan bagaimana kesedihan itu terjadi, tapi juga ada yang menambahinya dengan banyak bumbu retorika. Mengungkap ketakjuban terhadap orang-orang yang berbahagia di hari-hari terakhir bulan Ramadan. Membuat kebahagiaan dalam menyambut datangnya hari raya terkesan salah, dan praktis membuat saya—yang biasanya bahagia—juga merasa bersalah.
Kesedihan yang dirasakan saat hendak berpisah dengan bulan Ramadan adalah kesedihan alami. Siapa pun bisa merasakan itu, apalagi mereka yang sudah mengetahui keistemawannya, pembahasan yang saya kira tak payah diulas—lagi—di sini. Kesedihan ini adalah hal yang pasti, sebagaimana kesedihan yang terjadi karena berpisah dengan kekasih. Dalam kitab Lathaif al-Ma’arif, Ibnu Rajab mengatakan, “Bagaimana mungkin seorang mu’min tak menangis saat Ramadan berakhir? Sedangkan ia tak tahu apakah masih punya kesempatan menjumpainya lagi.”
Tidak ada yang salah dengan kesedihan yang dirasakan di akhir Ramadan. Sekali lagi, itu alami. Menjadi salah bila melazimkan kesedihan dengan larangan berbahagia, menempatkan rasa bahagia di posisi bersalah. Padahal, gembira dengan berakhirnya Ramadan juga merupakan hal yang dianjurkan. Purna Ramadan bermakna bahwa umat islam telah sempurna melaksanakan kewajibannya, berpuasa satu bulan penuh. Hal yang saya kira sangat patut untuk disyukuri. “Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur.” (QS al-Baqarah 2:185)
Belum lagi, ada momen penting yang datang begitu bulan Ramadan benar-benar berakhir, Hari Raya Idul Fitri. Seperti namanya, Raya, momen ini memanglah sebuah perayaan. Perayaan karena sudah berhasil menjalani rukun Islam ke-4, perayaan karena sudah mencapai kemenangan, perayaan yang sudah sepantasnya dirayakan dengan bahagia. Ibnu al-‘Arabi dalam buku Syarh ‘Umdah al-Fiqh, juga menjabarkan alasan mengapa hari raya disebut ‘ied yang berarti kembali. Ia mengatakan, “Idul Fitri disebut ‘ied karena ia senantiasi kembali setiap tahun dengan kebahagian yang baru.”
Lebih lanjut, Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam Fath al-Bari mengatakan, “Manifestasi kebahagiaan di hari Raya merupakan syiar agama,” jelaslah, bahwa kebahagiaan yang dirasakan di hari Raya adalah sebuah anjuran dan kita diganjar untuk itu. Namun, bersedih akan berakhirnya waktu dimana kebajikan yang kita lakukan dilipatgandakan pahalanya juga bukan sebuah kesalahan. Kebahagiaan dan kesedihan yang umat Islam rasakan secara bersamaan bukanlah hal yang tidak mungkin dilakukan. Jeff Larsen, profesor psikologi di Universitas Tennessee, Knoxville pun mengatakan demikian, “Biasanya, kita merasakan emosi satu per satu. Namun, ada saat-saat dimana kita bisa merasakan keduanya, meskipun itu sangan jarang, tetapi cukup menarik.”
Larsen yakin momen itu langka, tapi mungkin. Momen akhir bulan Ramadan menjelang Idul Fitri bisa jadi salah satunya. Ada kesedihan yang teramat karena harus berpisah dengan Ramadan, bulan dimana umat Islam sudah sangat menantikannya. Bulan yang begitu istimewa itu harus berakhir, bergantian dengan bulan lain yang sudah mulai tampak hilalnya. Namun, bebarengan dengan kesedihan itu, ada kebahagiaan yang merayap dalam hati. Kebahagian karena telah purna menyempurnakan kewajiban, kebahagiaan yang tumbuh dari rasa syukur pada-Nya, kebahagiaan menyambut kemenangan.
Bagaimana pun, Ramadan hanyalah satu bulan di antara bulan-bulan lain. Bedanya, ia diberi keistimewaan yang tidak dimiliki bulan lain. Namun, sudah menjadi hukum alam, bahwa waktu akan terus bergerak, berganti. Pun bulan Ramadan, sudah waktunya ia purna, digantikan dengan bulan Syawwal. Yang perlu digarisbawahi, berakhirnya Ramadan tidaklah bermakna bahwa ibadah kita juga purna. Ramadan pasti berlalu, tapi Tuhan yang kita sembah ajeg, tak berubah.
Bulan Ramadan memang telah menemui ujungnya, tapi Allah adalah Dzat Yang Maha Hidup. Ia kekal abadi, dan kepada-Nya lah kita menyembah dan berserah. Bukan karena Ramadan, tapi tumbuh dari keimanan dan ketakwaan yang kita miliki atas-Nya. Bulan Ramadan memang niscaya berakhir, tapi tidak dengan kesempatan untuk terus berbuat bajik, untuk terus beribadah. Allah menciptakan manusia tak lain untuk beribadah pada-Nya, bukan hanya pada bulan Ramadan, tapi sepanjang masih diberi kesempatan bernafas. Jangan sampai, alih-alih menjadi hamba Allah, kita justru menjadi hamba Ramadan, yang hanya menghamba saat bulan Ramadan dan berhenti saat Ramadan selesai.
Sebagai penutup, saya hanya bisa berdoa. Semoga Allah menerima semua amal baik yang kita lakukan selama bulan Ramadan. Semoga senantiasa diberi kekuatan dan keistikamahan untuk terus berbuat baik selepas Ramadan, hingga dipertemukan kembali pada edisi Ramadan tahun-tahun berikutnya. Taqabbala Allah minna wa minkum shaliha al-a’mal, wa ja’alana min al-‘aidin wa al-faizin. Selamat Hari Raya Idul Fitri dan sampai jumpa di edisi Ramadan berikutnya. (Tafri’ Itsbatul Hukmi/ Mahasiswi Universitas Al Azhar Jurusan Sastra Arab)