“Marhaban yaa ramadan.. Marhaban yaa ramadan..” begitulah kiranya tulisan-tulisan yang terpajang hampir di seluruh sudut negara Mesir. Hal ini menunjukkan bahwa bulan Ramadan telah tiba, pun berbagai hiasan seperti lampu fanus turut mewarnai. Selain itu, kemeriahan Ramadan di Mesir juga tak luput dari masyarakatnya, dimana mereka memiliki tradisi khas-unik yang diperuntukkan sebagai wujud penyambutan bulan suci Ramadan. Salah satu tradisinya ialah, berlomba-lomba berbuat kebaikan, terutama dengan membagikan makanan untuk berbuka puasa.
Dalam berbuka, masyarakat di Negeri Piramida ini mengenal tradisi maidah rahman (hidangan kasih sayang atau hidangan Tuhan atau meja Al-Rahman), yakni hidangan yang dibagikan secara gratis untuk orang yang berpuasa, Ia sama seperti bagi-bagi takjil buka puasa jika kita bandingkan dengan di Indonesia. Paket hidangan ini melambangkan rasa kasih di antara sesama muslim. Paket hidangan ini biasanya disediakan oleh masjid, rumah makan, hingga resto berbintang. Siapa pun yang berpuasa boleh mencicipinya, tanpa kecuali.
Menunya beragam, dari yang sederhana hingga makanan bercita rasa bintang lima. Dari hidangan manis hingga makanan utama yang terbuat dari daging sapi, daging kambing, ayam, hingga ikan, tersedia. Sedangkan untuk minumannya, selalu tersedia susu, jus dan lainnya. Lantas, apa esensi adanya tradisi maidah rahman? serta bagaimana sejarah munculnya tradisi maidah rahman yang mulia ini hingga dapat terus berlanjut sampai saat ini?
Mengutip dari laman Bawwabah Al-Ahram, Maidatur Rahman merupakan sebutan untuk meja buka puasa yang diselenggarakan pada hari-hari puasa di kalangan umat Islam, baik pada bulan Ramadan maupun pada hari Arafah. Pun terkadang ada yang sukarela melakukannya di waktu lain. Menurut pendapat warga lokal dikatakan, bahwa Maidatur Rahman bukan hanya ditujukan untuk orang miskin dan membutuhkan, akan tetapi juga untuk orang-orang yang dalam perjalanan seperti orang-orang yang pulang dari bekerja serta untuk para wafidin dan wafidat.
Adapun akar dari tradisi ini bermula pada masa Nabi Muhammad SAW dan para khalifah yang mendapatkan petunjuk. Sementara di Mesir, bermula dari Ahmed Ibn Tulun yang mengambil alih kekuasaan di Mesir pada tahun 868 M. Selanjutnya, kebiasaan ini berkembang dan meluas pada masa Dinasti Fatimiyah, hal ini seiring dengan perintah Khalifah Fatimiyah Al-Aziz Billah terhadap warga Mesir untuk membentangkan taplak meja di “masjid tua” atau disebut dengan Masjid Amr Ibn Al-Ash, dimana masjid ini menjadi masjid pertama yang menyediakan maidah rahman, kemudian meja lainnya baru diadakan di Masjid Al-Azhar.
Lebih dari seribu panci—peralatan yang digunakan untuk memasak makanan—dibawa keluar dari dapur Istana Khalifah setiap hari untuk memberi makan orang miskin dan membutuhkan dan ini diulangi pada saat sahur juga. Al-Aziz Billah pun mendirikan Dar Al-Fitr yang terletak di luar istana di sebrang Bab Al-Dylam. Tempat ini digunakan untuk menghidangkan makanan yang disajikan selama bulan Ramadan dan manisan serta kue untuk dibagikan pada Idul Fitri.
Maidah rahman atau meja makan Yang Maha Penyayang terus berlanjut diadakan pada masa Mamluk. Pada masa ini beberapa sultan mewakafkan harta bendanya untuk dibelanjakan segala keperluan meja makan tersebut. Misalnya, Sultan Hassan bin Qalawun yang mewakafkan hartanya untuk membeli daging, sayur, beras, dan lain-lainnya. Hal ini berlangsung sepanjang bulan, pun para penguasa setelahnya mencoba untuk tetap mempertahankan tradisi ini hingga tak hanya di halaman istana saja, melainkan di tempat-tempat umum juga, walaupun ukuran meja dan jumlah orang yang menghadirinya bervariasi dari satu periode ke periode lainnya.
Misalnya, pada abad ke-20, Raja Farouk tertarik untuk menghidupkan kembali tradisi ini, sehingga ia mengadakan sarapan di halaman Istana Abdeen. Ia meminta para direktorat-direktorat—yakni para gubernur—mengadakan meja Yang Maha Penyayang di sejumlah pusat kota yang berafiliasi dengan masing-masing direktorat. Hal ini dibuktikan dengan beredarnya surat kabar Al-Mokattam pada tanggal 23 juli 1947, yang menerbitkan keputusan Dewan Distrik Giza untuk mendirikan paviliun di pusat Imbaba, Giza, Hawamdiya, Badrashin, Al-Saff, dan lain-lainnya, dengan ketentuan adanya pembacaan Al-Quran di setiap paviliunnya sebelum azan maghrib, kemudian diikuti dengan “meja kerajaan” untuk memberi makan orang miskin.
Setelah revolusi tahun 1952, Dewan Redaksi—organisasi politik yang didirikan oleh revolusi setelah pembubaran partai—menyelenggarakan jamuan makan Al-Rahman di kegubernuran. Dalam surat kabar Al-Masry pada tanggal 6 Juni 1953 menerbitkan, bahwa adanya otoritas dari pemerintah untuk menyelenggarakan sarapan di kota Kafr Al-Dawwar. Nampaknya, para pemegang otoritas ini berkerja sama dengan keluarga besarnya dalam mengatur meja-meja ini, sehingga berita tersebut mengindikasikan bahwa “wali” dalam keluarga harus menyiapkan meja makan Yang Maha Penyayang untuk dua malam.
Adapun dalam berita lain di penerbit yang sama, surat kabar tersebut mengindikasikan bahwa dewan redaksi telah menyelenggarakan jamuan buka puasa di lingkungan Kairo Lama yang dihadiri oleh banyak orang miskin, warga negara Kristen dan Yahudi guna untuk memperkuat hubungan antara anggota sekte ini. “Meja Yang Maha Penyayang” tidak terbatas di Kairo saja, tetapi juga meluas ke gubernuran dan wali kota yang berlangsung sepanjang bulan. Contohnya, pada tahun 1960-an, Nasser Bank melakukan pendirian puluhan meja Al-Rahman sebagai salah satu aspek sosialnya.
Pada era kontemporer, pelaksana meja Al-Rahman tidak hanya dari kalangan pemerintahan, melainkan juga dilaksanakan oleh orang-orang yang mampu secara finansial. Mereka berlomba-lomba mendirikan ribuan meja Al-Rahman di seluruh provinsi Republik Arab Mesir tanpa terkecuali. Di provinsi Kairo misalnya, beberapa penelitian memperkirakan jumlah meja tersebut mencapai empat puluh ribu meja. Salah satu yang paling terkenal dan terbesar dari segi cakupan dan jumlahnya adalah meja yang diadakan di halaman Stadion Kairo, dimana meja ini diselenggarakan oleh kaum bangsawan Mahdi yang dapat menampung sekitar lima ribu orang.
Adapun meja-meja Al-Rahman yang paling terkenal sampai saat ini adalah hidangan di Masjid Al-Azhar, Al-Fath, dan Mustafa Mahmoud di Kairo, Masjid Al-Sayyid Al-Badawi di Tanta, dan Masjid Abdel Rahim Al-Qenawi di Qena. Tak hanya itu, kadang-kadang pihak penyelenggara meja-meja ini mengirimkan makanan ke rumah-rumah para lansia dan orang-orang yang kondisinya tidak memungkinkan untuk hadir. Akan tetapi, secara masifnya kita dapat menemukan meja Al-Rahman ini di sepanjang jalan perkotaan. Wal-akhir, Maidah Ar-Rahman di Mesir tetap menjadi tanda solidaritas sosial serta kasih sayang antarumat.
Penulis : Ainul Mamnuah
Editor : Dimas Dwi Gustanto