FPIB © All rights reserved
FPIB
  • Home
  • Artikel
  • Opini
  • Esai
  • Info
  • Berita
  • Ramadhan
  • About
Join Grup
FPIB
Join Grup

Artikel

Home / Artikel / Artikel
30Okt

3 Madrasah di Masjid Al-Azhar pada Era Mamalik

Oktober 30, 2022 buutsfpib Artikel 61

Bab Al-Muzaiyyinin (tengah), Madrasah Al-Taybarsiyyah (kanan), dan Madrasah Al-Aqbughawiyah (kiri) yang ada kubah dan menaranya diambil dari maidan Al-Azhar.

Kalian tahu gak? Bahwa Masjid Al-Azhar pernah ditutup oleh Sultan Shalahudin Al-Ayubbi selama 100 tahun. Lama sekali kan? Hal ini untuk memberantas pengaruh Syiah di Mesir pada waktu itu. Kalian bisa baca sejarah Masjid Al-Azhar di Era Ayyubbiyah di tulisanku sebelumnya. https://fpib.web.id/2022/08/12/masjid-al-azhar-dari-syiah-fatimiyah-hingga-ayubbiyyah/.

Setelah Dinasti Ayyubbiyah runtuh dan berdirilah dinasti baru bernama Dinasti Mamalik. Pada era ini Al-Azhar mengalami perubahan besar yang sebelumnya digunakan sebagai pembelajaran madzhab syiah menjadi sunni. Hingga akhirnya Al-Azhar digunakan lagi untuk kegiatan belajar dan mengajar.

Nah kalian pasti berpikir bahwa kegiatan belajar dan kajian di Al-Azhar hanya di ruwaq-ruwaq masjid. Ternyata ada sebuah bangunan tambahan yang disebut dengan ziyada/mulhaq yang terhubung dengan Masjid Al-Azhar. Pada Era Mamalik ditambahkan 3 bangunan berupa madrasah di masjid Al-Azhar.

Dua madrasah dibangun pada masa Sultan Nasir Muhammad bin Qalawun yaitu Madrasah Al-Taybarsiyyah dan Madrasah Al-Aqbughawiyah yang terletak di antara pintu utama Masjid Al-Azhar yang bernama Bab Al-Muzayyinin, yaitu pintu yang dihiasi oleh ornamen dan khat khufi dengan tinta emas, terletak di Utara menuju Masjid Abu Dzahab.

Bab Al-Muzaiyyinin, walaupun sederhana tapi pada masanya pintu ini merupakan pintu paling indah yang ditulis dengan tinta emas.

Madrasah yang ketiga dibangun pada masa Sultan Al-Asyraf Baybars, yaitu Madrasah Al-Jauhariyyah yang terletak di Timur Laut Masjid Al-Azhar.

            Berikut akan saya ajak kalian keliling dan memasuki madrasah-madrasah ini:

  1. Madrasah Al-Taybarsiyyah

Untuk yang pertama adalah madrasah Al-Taybarsiyyah, dibangun oleh Amir ‘Alauddin Taybars Al-Khazindar, seorang kepala militer di masa pemerintahan Sultan Nasir Muhammad bin Qalawun pada tahun 1309 M/709 H.

Jika kita memasuki Masjid Al-Azhar dari pintu utama yang bernama Bab Al-Muzayyinin maka madrasah ini ada di sebelah kanan kita. Pintu madrasah terletak dekat dengan pintu Qietbay.

Pintu Madrasah Al-Taybarsiyyah terlatak dekat dengan Pintu Qietbay, dan Menara Qeitbay
Pintu Madrasah Al-Taybarsiyyah

Berikut suasana zaman dulu ketika syekh/guru memasuki madrasah, terlihat bagaimana orang dahulu menghormati ulama.
Ini adalah kubah makam di dalam madrasah, terlihat di kelilingi rak-rak buku
Suasana belajar mengajar di dalam Madrasah Al-Taybarsiyyah. Bangunan kecil ini yang terdiri dari tiga ruwaq ini digunakan sebagai pembelajaran Fikih Syafi’i.

Selain itu dalam madrasah ini terdapat tempat wudhu, perpustakaan, dan kubah makam kecil tempat dikuburnya Amir Taybars setelah wafat.

Salah satu unsur arsitektur dan dekorasi khusus yang sangat penting dari Madrasah Al-Taybarsiyyah adalah mihrabnya yang dilapisi dengan marmer warna-warni dan kombinasi mozaik dari marmer dan kaca yang indah yang merupakan contoh mozaik langka di Mesir.

Indahnya mihrab Madrasah Al-Taybarsiyyah dengan detail mozaik marmer warna-warni dan kaca.

Adapun arsitektur lainnya adalah jendela-jendela dari perunggu. Selain itu, Madrasah Al-Taybarsiyyah juga mengalami perbaikan dan pembaharuan oleh Abdurrahman Katkuda 1753 M/1167 H.

Menurut sejarawan abad 15, Al-Maqrizi, dalam pembangunan madrasah ini membutuhkan biaya yang sangat besar. Tetapi ada kisah yang menarik dari pembangunan madrasah ini. Ketika Amir Taybars selesai membangunnya dan diperlihatkan kertas nota biaya pembangunan. Sebelum itu, dia meminta baskom berisi air kemudian mencuci semua kertas nota tanpa melihatnya dan berkata, “Sesuatu yang kita keluarkan darinya untuk Allah Swt. kita tidak memperhitungkannya.”

Read more
01Okt

Kupas Tuntas Arsitektur dan Kisah di balik Qal’ah; Benteng Salahuddin Al Ayyubi/ Saladin Citadel

Oktober 1, 2022 buutsfpib Artikel 69

Sebenarnya kita tak perlu jalan-jalan jauh untuk bisa menyaksikan situs-situs bersejarah Islam yang berada di Mesir ini, di dalam kota Kairo sendiri terdapat banyak sekali peninggalan yang mengandung unsur sejarah dari segi arsitektur maupun kisah di baliknya. Jika kalian berjalan ke arah Sayyida Aisyah atau makam Imam Syafi’i, tentu kita akan melihat sebuah benteng megah dan membentang di atas bukit Muqattam. Ya..tentu kalian pasti tak asing dengan sebuah benteng berbentuk kuil yang bernama Benteng Salahuddin atau Qal’ah Jabal.

Dilihat dari namanya, tentu kita tahu bahwa yang membangun benteng ini adalah Salahuddin Al-Ayyubi; Sultan sekaligus pendiri Dinasti Ayyubiyah. Benteng ini dibangun pada tahun 1176 M, guna untuk melindungi kota Kairo dari serangan Tentara Salib ketika itu. Begitu banyak peninggalan-peningalan dan situs-situs kuno yang terdapat di dalam benteng ini. Selain benteng itu sendiri, ada beberapa bangunan lain yang tak kalah menarik, yaitu Masjid Al-Nashir Muhammad bin Qalawoon, Masjid Muhammad Ali, Museum Tentara, Museum Polisi, dan Qashrul Jauhara. Namun, hanya beberapa dari destinasi di atas yang saat ini boleh dikunjungi. Dan artikel ini hanya akan lebih terfokus pada pendiri dan bentengnya saja.

  1. Salahuddin Al Ayyubi dari Irak menuju Mesir

Mempunyai nama asli Salahuddin Yusuf bin Najmuddin Ayyub bin Syadziy bin Marwan yang oleh keluarganya sering dipanggil dengan nama Yusuf. Dia lahir pada tahun 532 H dan tinggal bersama keluarganya di kota Tikrit (daerah utara Irak saat ini), dan berpindah ke kota Baghdad dan Moushul. Menurut Ibnu Washil seorang sejarawan di zaman Ayyubiyah, mengatakan bahwa nasab dari kakeknya adalah Syadziy bin Marwan bin Abi Ali bin Hasan salah satu keturunan Bani Umayyah. Tapi pendapat yang paling kuat mengatakan bahwa Salahuddin adalah bangsa Kurdi dan bukan bangsa Arab.

Dia tumbuh dan berkembang bersama ayah dan pamannya, Najmuddin Ayyub dan Asaduddin Syirkuh. Ia mendapatkan pendidikan kepemimpinan dan manajemen administrasi pemerintahan dari sang ayah yang di kala itu menjabat sebagai pemimpin Seljuk di Tikrit serta mendapat pendidikan strategi peperangan dan militer dari sang paman, Asaduddin Syirkuh. Saat itu, baik ayah maupun pamannya sama-sama mengabdi kepada Imaduddin Zanki, gubernur Seljuk untuk Irak. Saat Imaduddin wafat, Nuruddin Zanki putra dari Imaduddin Zanki-lah yang menggantikannya memimpin Suriah dan Mosuhul. Dari sinilah Salahuddin mulai tekun mempelajari politik, strategi, dan teknik perang, bahkan ia melanjutkan pendidikannya ke Damaskus untuk mempelajari theologi sunni selama 10 tahun dalam naungan kekuasaan Nuruddin.

Singkat cerita, Pada tahun 1169 M Salahuddin diangkat menjadi seorang  menteri di Mesir menggantikan Asaduddin Syirku yang telah wafat. Waktu terus berjalan, tidak ada yang menyangka bahwa peran Salahuddin membawa perubahan besar bagi pemerintahan Mesir yang sebelumnya bisa dibilang lemah. Pada saat Al-‘Adid Abu Muhammad Abdillah, Khalifah terakhir Dinasti Fathimiyyah wafat pada tahun 1171 M, Salahuddin menduduki pemerintahan tertinggi Mesir dan memecat garis keturunan Fathimiyyah, sehingga ia mengganti yang sebelumnya Dinasti Fathimiyyah menjadi Dinasti Ayyubiyah. Meski ia telah menguasai Mesir, secara resmi Salahuddin tetap berposisi sebagai wakil Nuruddin. Begitu banyak perkembangan dan perbaikan pemerintahan di zamannya, mulai dari segi ekonomi, militer, akademis dst. Dan salah satu peran Salahuddin Al Ayyubi yang paling fenomenal adalah perbaikan tembok kota Kairo yang sudah ada sejak zaman fathimiyyah dan membangun Benteng Salahuddin/Qal’ah Jabal di atas bukit Muqattam.

  • Benteng Pertahanan

Bangunan ini merupakan tembok yang menyerupai sebuah benteng yang dirancang dan didesain oleh Salahuddin Al Ayyubi dan dibangun pada tahun 1176 M – 1183 M dibawah direksi arsiteknya yang bernama Baha’uddin Qaraqusy Al-Asadiy dan disempurnakan lagi pada zaman saudaranya Sultan Al-Malik Al-Adil pada tahun 1208 M. Kecerdasan Salahuddin terlihat ketika penentuan letak benteng yang akan dibangun. Ia memilih bukit Muqattam karena akan mempermudah penyerangan dan pengintaian dalam satu waktu. Menurut Imam Al Maqriziy salah satu sejarawan yang hidup di Era Mamalik menyebutkan bahwa sebelum Salahuddin menentukan tempat, ia meletakkan sepotong daging di daerah tersebut (Kairo). kemudian daging itu membusuk dalam waktu satu hari satu malam, kemudian ia meletakkan sebuah daging lain di atas bukit tersebut dan bertahan selama dua hari dua malam, maka dibangunlah benteng di sana.

Benteng ini mempunyai tinggi 10 m, dan ketebalan 3 m, benteng ini dibangun khusus untuk melindungi kota Kairo dari serangan Pasukan Salib ketika itu. Benteng ini juga dilengkapi menara-menara kokoh yang menjulang dalam jarak setiap 100 m. Di menara yang dijadikan konsentrasi pertahanan dari serangan musuh itu terdapat banyak lubang jendela yang berguna bagi pasukan pemanah dalam membidik sasaran. Sedangkan bagian paling atas adalah dek terbuka untuk menempatkan meriam.

Dari sisi pertahanan, benteng ini memiliki fungsi arsitektur termaju pada zamannya, dengan tiga step pertahanan sebagai berikut:

  1. Pertahanan jarak jauh; menggunakan meriam dan senjata panah yang dilakukan lewat menara-menara.
  2. Jika pasukan musuh berhasil menembus dinding benteng, mereka akan disambut ruang terbuka yang dikelilingi tembok-tembok tinggi. Di area ini pasukan musuh tentu akan bersiap di atas benteng.
  3. Dan jika musuh berhasil melewati bagian tersebut, mereka akan melewati lorong-lorong bercabang yang panjangnya mencapai 2.100 m. Di situ pasukan musuh yang tidak mengenal medan menjadi lebih mudah ditumbangkan satu persatu.

Tadi sudah disebutkan, bahwa ada sebuah menara untuk mengintai serangan musuh, ada sekitar 13 menara di setiap sisi dari benteng tersebut.

Burj Al Shahra’ (Utara)
Burj Al-Muqottom
Burj Al Haddad & Burj Al-Ramlah
Burj Al Imam (Timur)
Burj Al Tharfah (Selatan)
Burj Kyrkilan (Selatan)
Burj Al Mathar (Selatan)
Burj Al Muqaushar (Timur)
Burj Al Muballath (Timur)
  • Dan, beberapa menara lainnya:
  • Burj Al ‘Ulwah (Selatan)
  • Burj Al Saffa (Selatan)
  • Bab Al Qullah (Barat daya)
  • Bab Al Mudarraj (Barat)

Konsep benteng ini jika kita lihat sekarang, terdapat dua bagian yang berbeda dari segi bentuk dan luas tanahnya, yaitu sisi Timur laut dan sisi Barat daya.

  1. Sisi Timur laut, memiliki bentuk persegi panjang cenderung lebih abstrak dengan panjang 560 m membentang dari Timur ke Barat, dan 317 m dari Utara ke Selatan.
  2. Sisi Barat daya, benteng ini lebih kecil dari bagian pertama dan memiliki bentuk tak beraturan juga. Dengan panjang 510 m dari Utara ke Selatan, dan 270 m dari Timur ke Barat. Pada bagian benteng ini memiliki bentuk tembok pagar yang berbeda dengan benteng bagian Timur laut. (Fajar Ilman Nafi’/ Mahasiswa Universitas Al-Azhar Jurusan Peradaban)

Referensi:

  1. Ahmad Abdul Razaq Ahmad. al-Imarah al-Islamiyyah fii Mishr Mundzu al-Fathi al-Arabiy Hatta Nihayat al-Ashri al-Mamlukiy, Kairo: Darul Fikri Al-Arabi. 2018.
  2. Manshur Abdul Hakim Muhammad. Salah al-Din al-Ayoubi al-Munqidz al-Muntadzar, Cetakan ke-7, Damaskus: Darul Kitab Al-Arabi. 2007.
  3. Khalid ‘Azb. Fiqh al-‘Umran al-Imarah wal Mujtama’ wal Dual fii al-Hadharah al-Islamiyyah, Kairo: Darul Mishriyah Al-Lubnaniyyah. 2013.
Read more
12Agu

Masjid Al-Azhar dari Syiah Fatimiyah hingga Ayubbiyyah

Agustus 12, 2022 buutsfpib Artikel 67

Masjid Al-Azhar saat pertama kali dibangun hanya sebuah shahnul (pelataran) masjid terbuka yang berbentuk persegi panjang yang dikeliling 3 dzillah (bangunan dengan atap untuk berteduh), yang paling besar adalah dzillah kiblat yang terdapat mihrab di dalamnya.

Masjid Al-Azhar saat pertama kali dibangun.

Dzillah Kiblat terdiri dari 5 ruwaq (serambi) yang sejajar dengan dinding kiblat sehingga memotong membentuk koridor masjid. Di atas “Dzillah Kiblat” terdapat 3 kubah, satu di tengah tepat di atas mihrab dan dua di ujung koridor.

Pada awalnya masjid Al-Azhar hanya mempunyai 3 pintu, pintu utama di tengah sebelah Utara dan 2 pintu lainnya terdapat di samping yang berada di dzillah sisi kanan dan kiri.

Bentuk bangunan Al-Azhar tetap seperti itu hingga pada zaman Khalifah Al-Hafidz Li Dinillah dengan menambah satu dzillah, maka sejak saat itu Al-Azhar memiliki 4 dzillah yang mengeliling shahnul masjid.

Dzillah yang dibangun pada zaman Kekhalifahan Al-Hafidz Li Dinillah.

Selain itu Al-Hafidz Li Dinillah juga menambah kubah yang dikenal dengan “Kubah Fatimiyah”, kubah ini terletak di tengah-tengah ruwaq dengan dekorasi hiasan tanaman dan khat kufi dari dalam kubah, dan kubah ini merupakan kubah paling lama yang masih tersisa dengan hiasan dari dalam.

Kubah Fatimiyah

Masjid Al-Azhar pertama kali dibangun sebagai masjid resmi untuk Dinasti Fatimiyah yang baru memerintah Mesir. Selain itu juga sebagai pusat ruh dan penyebaran madzhab syiah di Mesir.

Pada zaman Khalifah Al-Aziz Billah, Al-Azhar digunakan pertama kali sebagai lembaga pendidikan ilmiah. Perdana Menteri Ya’qub bin Killis merupakan orang pertama yang mempunyai ide ini ketika meminta izin kepada khalifah pada tahun 378 H/ 988 M untuk menjadikan Al-Azhar tempat para ahli fiqih membuat majlis ilmu dengan mengaji buku dan belajar.

Selain menjadi kepala dan pengurus masjid kegiatan ilmiah di Al-Azhar, Ya’qub bin Killis juga memberikan gaji kepada para pengajar, membangun rumah tinggal untuk mereka di sekitar masjid Al-Azhar. Jumlah para pengajar mencapai 37. Mereka membuat halaqah ilmiah dari setelah Shalat Jumat hingga Shalat Ashar.

Pemberhentian Shalat Jumat di Masjid Al-Azhar di Zaman Dinasti Ayyubiyyah

Kegiatan keagamaan masih berlangsung hingga runtuhnya Fatimiyah oleh Sultan Shalahudin Al-Ayubbi yang sebelumnya adalah Menteri Khilafah Fatimiyah dengan bermadzab Sunni Syafi’i.

Pada zamannya semua kegiatan dan renovasi diberhentikan. Seperti juga menghentikan shalat dan khutbah Jumat di Masjid Al-Azhar dengan cukup memusatkannya di Masjid Hakim bi Amrillah; hal ini berdasarkan dengan madzhab syafi’iyyah yang melarang dua Khutbah Jum’at di dalam satu wilayah, dan juga karena luas Masjid Al-Azhar lebih kecil dari Masjid Hakim bi Amrillah. Apalagi setelah bertambahnya jumlah penduduk Kairo pada waktu saat ini.

Sebab lain yang sebenarnya dari pemindahan kegiatan agama dan politik dari Masjid Al-Azhar ke Masjid Hakim bi Amrillah adalah ide Sultan Shalahudin Al-Ayubbi dalam melemahkan pengaruh madzhab syiah di Mesir.

Sultan Shalahuddin juga membangun banyak madrasah baru, yang pertama kali di bangun adalah Madrasah An-Nashiriyyah yang dibangun pada tahun 566 H di samping Masjid Amru bin Ash untuk pengajaran Fiqih Syafi’i.

Begitu pula Madrasah Al-Qamhiyah (Fiqih Maliki) di Faiyum, yang terkenal bahwa Sejarawan Ibnu Khaldun mengajar di sana. Kemudian banyak para sultan, amir dan orang-orang tinggi yang berlomba-lomba membuat madrasah di Kairo dan Mesir hingga membuat Al-Azhar kehilangan pamornya sebagai kegiatan ilmiah pada masa Dinasti Ayyubiyyah.

Namun walaupun kegiatan agama sudah dipindah, dan kegiatan ilmiah di masjid Al-Azhar mengalami kemunduran selama 100 tahun di masa Dinasti Ayyubiyyah, Al-Azhar masih digunakan sebagai kegiatan ilmiah yang tidak berhubungan madzhab syiah seperti Bahasa Arab, Kedokteran, Matematika, Mantik, Filsafat, dsb. (Tri Wi Farma/Mahasiswa Jurusan Peradaban di Universitas Al-Azhar)

Referensi:

Muhammad Ali Abdul Hafidz, Al-Atsar Al-Arabiyyah Al Islamiyyah Hatta Muntashof Al-Qarni As-Sabi’ Al-Hijri, Mathba’at Al-Thayyib, Kairo: 2020. Hal 94-95.

Ibnu Abdul Dzahir, Ar-Raudhah Al-Bahiyah Az-Zahirah fii Khuthathi Al-Muizziyah Al-Qahirah, Tahqiq Aiman Fuad Said, Jilid 1, Kairo: 1996.

Su’aad Mahir Muhammad.  Masajidu Misr wa Auliya’aha al-Sahalihuun, jilid 1. Majlis al-A’la li al Syuun al- Islamiyyah. Kairo: 2014. Hal 165-168.

Read more
31Jul

Sebab Didirikan dan Sebab Penamaan Masjid Al-Azhar Kairo

Juli 31, 2022 buutsfpib Artikel 65

Masjid Al-Azhar adalah masjid ke-4 di Mesir setelah Masjid Amru bin Ash, Masjid Kota Askar, dan Masjid Ibnu Tulun. Masjid pertama yang didirikan di Fatimiyah Kairo, serta termasuk salah satu peninggalan tertua yang tersisa dari Dinasti Fatimiyah di Kairo.

Panglima Jauhar Ash-Shiqily mulai membangun Masjid Al-Azhar dengan perintah dari Khalifah Fatimiyah, Al-Muiz Li Dinillah, pada hari Sabtu, 23 Jumadal Ula 359 H/ 4 April 970 M. Selesai pembangunan pada Tahun 361 H/972 M, dan dibuka pertama kali awal Jumat pada Bulan Ramadhan pada tahun yang sama.

Pembangunan Masjid ini dibangun setelah pembangunan kota Kairo beserta tembok, dan istananya di Timur Laut Kota Fustat di tempat yang sebenarnya hanya padang pasir dan bebatuan.

Sebab Awal Mengapa Didirikan Masjid Al-Azhar

Ada beberapa sebab mengapa Panglima Jauhar Ash-Shiqily membangun masjid jami’ untuk ibu kota baru Mesir, Kairo, berikut penjelasanya:

  1. Mengikuti apa yang sudah dilakukan Rasulullah Saw ketika merancang kota Madinah Munawarah dan apa yang telah dilakukan Khulafa’ al-Rasyiddin serta kaum muslim dalam merancang kota mereka, yaitu dengan membuat istana dan masjid sebagai pusat kota.
  2. Dari sisi lain Jauhar Ash-Shiqily dengan kepandaian dan pandangan siasatnya yang baik ingin menjadikan masjidnya sebagai tempat penyebaran dan pembelajaran ajaran syiah, hingga penduduk Mesir tidak lagi menggunakan masjid lainnya sebagai tempat untuk syiar sunni dan khutbah agama.

Sebab Penamaan Masjid Al-Azhar

Ada banyak perbedaaan pendapat tentang penamaan Al-Azhar untuk masjid ini:

  1. Sebagaian besar peneliti nama Al-Azhar diambil dari Sayyidah “Fatimah Az-Zahra Ra”, putri Rasulullah Saw, karena berdasarkan perkataan syiah bahwa Fatimiyah merupakan keturunannya.
  2. Pendapat lain mengatakan berdasarkan istana-istana yang penuh bunga yang dibangun berdekatan dengan masjid ii.
  3. Pemberian nama Al-Azhar sebagai optimisme Fatimiyah bawah suatu saat nanti masjid ini akan menjadi besar dalam “izdzihar” atau perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan di dalamnya.
  4. Pendapat terakhir mengatakan bahwa perberian nama Al-Azhar ((الأزهر merupakan kebiasaan orang-orang Fatimiyah dalam pemberian nama masjid-masjid mereka dalam bentuk Af’alu al-Tafdhil(أفعل التفضيل)  seperti masjid Fatimiyah lainnya, Masjid Hakim bi Amrillah (Al-Anwar), Masjid Al-Amru bi al-Ahkamillah (Al-Aqmar) yang keduanya berada di Syari’ Muiz Li ad-Dinillah.

Kesimpulannya, bahwa tidak ada pendapat yang jelas dalam penamaan masjid ini, tapi pendapat paling terkenal bahwa nama Al-Azhar berhubungan dengan nama Sayyidah Fatimah Az-Zahra Ra.

Referensi:

Muhammad Ali Abdul Hafidz. Al-Atsar Al-Arabiyyah Al Islamiyyah Hatta Muntashof Al-Qarni As-Sabi’ Al-Hijri, Kairo: Mathba’at Ath-Thayyib. 2020.

Ibnu Abdul Dzahir. Ar-Raudhah Al-Bahiyah Az-Zahirah fii Khuthathi Al-Muizziyah Al-Qahirah, Tahqiq Aiman Fuad Said, Jilid 1. Kairo: 1996.

Penulis: Tri Wi

Editor : Nusaibah Masyfu’ah

Read more
29Mei

Masjid Abu Dzahab, Saksi Bisu Membludaknya Masjid Al-Azhar

Mei 29, 2022 buutsfpib Artikel 63

Jika kita melewati lorong yang memisahkan jalan ke Masjid Sayyidina Husein dan Maidan Al-Azhar kita akan dibawa ke deretan toko-toko yang melekat pada sebuah bangunan. Toko-toko ini menjual beberapa pernak-pernik, rempah-rempah, buku-buku, mushaf Al-Quran, pakaian, bahkan daging hewan. Tapi jika kita mau melihat ke atas dan keseluruhan bangunan itu, sebenarnya bangunan itu bukan hanya deretan toko-toko.

Bangunan yang berseberangan dengan gerbang Utara Masjid Azhar ini merupakan kumpulan dari Masjid Abu Dzahab Bek. Dibangun oleh Muhammad Bek Abu al-Dzahab, seorang sultan Mamluk yang memerintah Mesir dari 1772 sampai 1775, yaitu di antara pemerintahan tuannya Ali Bek al-Kabir dan dua sultan Mamluk yang memerintah secara bersamaan, yaitu Murad Bek al-Qazdughli and Ibrahim Bek.

Menurut sejarawan, al-Jabarti, Muhammad Bek dikenal dengan Abu al-Dzahab karena dia membagi emas secara gratis tanpa menghitungnya kepada orang-orang miskin sepanjang jalan dimana berkendara sampai  memasuki rumahnya. Muhammad Bek dikenal dengan nama ini, karena belum ada satu pun sultan sebelumnya yang membagikan emas secara suka rela.

Hingga ia dikenal sebagai orang yang tidak menaruh sesuatu di kantongnya kecuali emas, tidak memberi kecuali emas, tidak menggengam kecuali emas, dan dia berkata, “Aku Abu Dzahab.” Dari sinilah masjid ini dikenal dengan nama Masjid Abu al-Dzahab. Dzahab dalam Bahasa Indonesia berarti emas.

Masjid yang dibangun pada tahun 1774 ini dikenal sebagai pusat kegiatan keagamaan. Selain itu Masjid Abu Dzahab juga membantu Masjid Al-Azhar dalam menyebarkan ilmu pengetahuan pada masa itu. Al-Azhar sangatlah sibuk dan dipenuhi dengan jumlah murid yang terus bertambah dari penjuru dunia. Sehingga kekurangan tempat untuk menjalankan kegiatan ilmiah. Terlebih pada masa pemerintahan Dinasti Utsmaniyyah, khususnya setelah runtuhnya Baghdad di tangan Mongol, jatuhnya Andalusia, serta mundurnya Universitas Zaitunah di Tunisia dan Universitas Karaouiyn di Maroko setelah datangnya kolonialisme barat.

Hal ini dibuktikan dengan adanya madrasah di dalam Masjid Abu Al-Dzahab, serta beberapa syekh yang mengajar di Al-Azhar juga mengajar di sini. Seperti Syekh Ali Al-Sha’idi. Syekh Ahmad Al-Dardir, Syekh Hasan Kafrawi, Syekh Abdurrahman Al-‘Arisyi, dan masih banyak lagi.

Selain madrasah juga terdapat perpustakaan dengan 650 buku dari berbagai ilmu, dan takiya atau tempat tinggal orang-orang sufi dari Turki. Di selatan masjid juga terdapat sabil, yaitu tempat untuk minum bagi para musafir, pelajar, maupun binatang.

Sesuatu yang sangat menarik, masjid ini menggantung dan melekat dengan beberapa toko-toko di bawahnya dari sisi timur dan utara masjid. Di pintu timur terdapat tangga melingkar, sedangkan terdapat tangga dari marmer warna-warni untuk naik ke pintu Utara dengan tulisan di atasnya.

أمير اللواء أنشأت لله مسجدًا                 عليه بهاء العز جل الذي وهب

لك الفوز فيه بالثواب مؤرج                 لقد حاز الطاف القبول أبو الذهب

Sayangnya sekarang masjid ini sudah tidak digunakan lagi untuk shalat maupun tempat belajar dikarenakan  mengikuti berubahnya sistem Al-Azhar dari masjid untuk kuliah, banyaknya pelajar yang dahulu  tinggal di ruwaq kini pindah ke asrama dan rumah-rumah di sekitar Al-Azhar.

Bangunan ini kini hanya menjadi saksi bisu bahwa sedari dulu Al-Azhar membludak dengan banyaknya pelajar dari seluruh dunia. Masjid Abu Dzahab telah banyak digunakan membantu Masjid Al-Azhar dalam mencetak ulama-ulama hebat di masa lalu. (Tri Wi Farma/ Mahasiswa Universitas Al-Azhar Jurusan Peradaban)

Sumber:

Abdurrahman Al-Jabarti. ’Ajaibu al-Atsar fii al-Tarajim wa al-Akhbar. Bulaq: 1938.

Ali Mubarak. Al-Khuthath al-Taufiqiyyah. Bulaq: 1305.

Caroline Williams. Islamic Monuments in Cairo. Kairo: The American University in Cairo Press. 2018.

Su’aad Mahir Muhammad. Masajidu Misr wa Auliya`aha al-Shalihuun, Jilid 5. Kairo: Majlis al-A’la li al-Syuun al-Islamiyyah 2014.

Read more
14Apr

Menilik Hubungan Universitas Al-Azhar Mesir dengan Indonesia

April 14, 2022 buutsfpib Artikel 58
Kisah Para Ulama Menghormati Kepakaran Satu Sama Lain – Basis 13

(Edisi Spesial Ramadhan: Milad Al-Azhar ke-1082 Vol. 07)

Tahukah kamu bahwa Al-Azhar menyebarkan risalah perdamaian ke penjuru dunia? Pada tahun 2018 Grand Syekh memberikan perhatian yang sangat besar bagi Organisasi Internasional Alumni Al-Azhar. Grand Syekh Al-Azhar, Ahmad Al-Thayyib melakukan pertemuan dengan alumninya di seluruh dunia demi menyambung tali antara Al-Azhar dengan alumni-alumninya yang tersebar penjuru dunia.

Al-Azhar juga mengadakan pelatihan imamah dan dai bagi pelajar luar negeri agar menjadi utusan Al-Azhar di negaranya, serta menyambung komunikasi antaralumni yang sudah ada dengan mengadakain festival budaya dan olahraga.

Dikutip dalam Al-Ahram, Muhyiyuddin Afify, Sekretaris Umum Majma’ Al-Buhust Al-Islamiyyah (Akademi Riset Islam), mengatakan bahwa Grand Syekh Al-Azhar, Ahmad Al-Thayyib melakukan tour ke Asia dengan mengunjungi negara-negara Islam seperti, Indonesia, Singapura dan Brunei untuk menyebarkan dan menekankan nilai-nilai kemanusian dan kemoderetan Islam.

Melihat 2 tahun sebelumnya, pada tahun 2016 Grand Syekh Al-Azhar, Ahmad Al-Thayyib sudah mengunjungi Indonesia beserta rombongan Majlis Hukama Al-Muslimin. Kunjungan ini untuk mempererat hubungan antara masyarakat muslim Indonesia dengan Al-Azhar. Beliau memberikan kuliah umum dengan para alumninya di Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Grand Syekh juga menerima penganugrahan gelar doktor kehormatan dari UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, serta mengadakan pertemuan dengan keluarga besar Pondok Modern Darussalam Gontor di Ponorogo, sekaligus pembukaan perayaan 90 tahun Pondok Gontor.

Dilansir dalam Website Sekretariat Kabinet RI, pada 30 April 2018 Presiden Indonesia, Jokowi menerima kunjungan Grand Syekh Al-Azhar, Ahmad Al-Thayyib di pintu Istana Merdeka, Jakarta. Kedatangan beliau merupakan  undangan langsung dari Presiden Jokowi.

Masih di Istana Merdeka, Grand Syekh bertemu dengan Anggota Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dan ketuanya, Megawati Soekarnoputri. Menurut Detik News dalam pertemuan ini, Grand Syekh memuji ideologi Pancasila, beliau berharap BPIP diadopsi di negara lain yang mengalami konflik akibat masalah ideologi. Karena Pancasila seperti Universitas Al-Azhar yang juga mengemban misi perdamain dunia yang mengembangkan sikap saling menghormati sesama umat manusia tanpa membedakan latar belakang SARA.

Sebenarnya kedatangan Grand Syekh Al-Azhar, Ahmad Al-Thayyib ke Indonesia untuk menghadiri KTT Ulama dan Cedikiawan Muslim Dunia atau High Level Consultation (HLC) of World Muslim Scholars on Wasatiyat Islam.

Acara yang digelar awal Mei 2018 di Bogor, Jawa Barat ini dihadiri 100 ulama dan tokoh-tokoh dari dalam dan luar negeri. Dalam acara ini Grand Syekh Al-Azhar mengatakan bahwa wasatiyah Al-Azhar Al-Syarif berdasarkan pada wasathiyah Islam yang mengimbau masyarakat akan bahaya pemikiran sempit yang menyeleweng dan mengatasnamakan agama dalam tindakannya yang bertentangan.

Perlu diketahui alumni Al-Azhar mencapai 30 ribu tersebar di Indonesia, dengan jumlah yang sangat besar ini Grand Syekh menginginkan komunikasi dengan alumni Al-Azhar di Indonesia. Selama kunjungan ini Grand Syekh juga menghadiri reuni alumni Universitas Al-Azhar di Solo, acara ini juga dihadiri oleh tokoh Indonesia, antara lain Menteri Agama Saat itu, Lukman Hakim Saifuddin, Muhammad Quraish Shihab, dan Gubenur NTB, Muhammad Zainul Majdi alias Tuan Guru Bajang (TGB) selaku Ketua Organisasi Internasional Alumni Al-Azhar (OIAA).

Selain mengikuti KTT, Grand Syekh juga mengisi kuliah umum di Universitas Muhammadiyah Surakarta dan Pondok Modern Darussalam Gontor Putri. Seperti apa yang dilasir NU Online, Grand Syekh juga membahas tentang Islam Moderat dan Islam Nusantara di PBNU.

Dalam Majalah Tazakka Edisi Khusus Kunjungan Syekh Al-Azhar ke Indonesia, sebenarnya sebelum dua kunjungan Grand Syekh Ahmad Al-Thayyib pada tahun 2016 dan 2018, kunjungan ke Indonesia sudah dilakukan oleh Para Syekh Al-Azhar sebelumnya, seperti, Syekh Mahmud Syaltut (1960), Syekh Abdul Halim Mahmud (1976), Syekh Jadul Haq Ali Jadul Haq (1995 M), Syekh Muhammad Sayyid Al-Thanthawi (2006). Dari kunjungan-kunjungan ini terbukti bahwa selama bertahun-tahun mempunyai hubungan yang sangat baik dengan Indonesia.

Selain Universitas Al-Azhar sendiri, Mesir sudah memiliki ikatan emosional dengan bangsa Indonesia sejak dahulu. Pada 22 Maret 1946, Mesir menjadi negara yang yang mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia pertama kalinya. Karena Indonesia dan Mesir memiliki banyak kesamaan, Indonesia termasuk negara yang banyak menganut Islam, sehingga Mesir bersama Liga Arab mendukung kemerdekaan Indonesia dengan ikatan saudara sesama muslim. Indonesia dan Mesir juga memiliki banyak kesamaan ideologi, terbukti dengan kedua negara ini menjadi negara anggota GNB (Gerakan No Blok) dan peserta dai KTT (Konferensi Tingkat Tinggi) Asia-Afrika.

Hubungan Indonesia dengan Al-azhar sudah dari zaman dahulu bahkan sebelum Indonesia merdeka, banyaknya pelajar Indonesia inilah yang membuat hubungan Indonesia, Mesir, dan Al-Azhar semakin kuat. Sebagai bukti banyaknya ulama-ulama Indonesia lulusan Al-Azhar dan adanya Ruwaq Jawi yang dikhususkan bagi masyarakat Nusantara di Masjid Al-Azhar.

Sampai sekarang setiap tahunnya ribuan pelajar Indonesia selalu datang ke Universitas Al-Azhar untuk menuntut ilmu, bukan hanya pelajar tingkat strata satu, mamun juga tingkat magister hingga pelatihan khusus imamah dan dai.

Risalah perdamaian Al-Azhar untuk penjuru dunia sangatlah penting di saat menyebarnya paham keras menyeleweng seperti radikalisasi dan takfirisasi dengan banyaknya umat yang saling mengkafirkan satu sama lain untuk membuat perpecahan. Mengkafir-kafirkan orang lain merupakan kebodohan terhadap memahami ruh dan substansi agama.

Islam adalah agama perdamaian yang disebarkan dengan kasih sayang dan menjalin hubungan baik dengan orang lain. Untuk itu hubungan baik Indonesia dan Al-Azhar merupakan secuil contoh risalah perdamaian, sebuah kebaikan yang harus tetap kita jaga dan lestarikan di mana saja. Untuk itu kita sebagai pelajar di Universitas maupun sudah alumni harus tetap menjaga hubungan baik ini dengan belajar lebih giat, berprestasi, serta selalu bertanggung jawab dengan seluruh kepercayaan Al-Azhar dalam memudahkan mahasiswa Indonesia belajar di Universitas Al-Azhar. (Wi Farma/Mahasiswa Jurusan Peradaban di Universitas Al-Azhar)

Referensi:

شيماء عبد الهادي، جولة الإمام الأكبر الآسيوية تؤكد عالمية الأزهر ودوره في ترسيخ دعائم السلام، تم إصدار في بوابة الأهرام 2 من مايو 2018.

Humas Sekretariat Kabinet RI, Terima Syekh Al-Azhar, Presiden Jokowi Bahas Kerja Sama Syiarkan Wasathiyah. www.setkab.go.id, dipublikasikan pada 30 April 2018.

Humas Sekretariat Kabinet RI, Terima Grand Syekh Al-Azhar, Ketua Dewan Pengarah BPIP Mengaku Bicara Soal Islam Moderat. www.setkab.go.id, dipublikasikan pada 3 Mei 2018.

Andhika Prasetia, Imam Temui Mega ddk, Puji Ideologi Pancasila. www.news.detik.com, dipublikasikan pada 3 Mei 2018.

Budi Ardi Isnanto, Grand Syekh, TGB, Menag Hadiri Reuni Alumni Al-Azhar Indonesia. www.news.detik.com, dipublikasikan pada 1 Mei 2018.

Fathoni, Poin Utama Grand Syekh Al-Azhar dengan PBNU. www.nu.or.id, dipubliksikan pada 3 Mei 2018.

مجلة تزكى، العدد الخاض زيارة الشيخ الأزهر لإندونيسيا عام 2018م.

Kementrian Luar Negeri RI, Sejarah Hubungan Indonesia Mesir, www.kemenlu.go.id

Read more
10Apr

Peran Al Azhar dalam Menjaga Perdamaian

April 10, 2022 buutsfpib Artikel 56

(Edisi Spesial Ramadhan: Milad Al-Azhar ke-1082 Vol. 05)

Budaya perdamaian merupakan pilar peradaban yang harus senantiasa dijaga dari masa ke masa. Lenyapnya perdamaian menandakan lenyapnya rahmat di atas muka bumi, dan hilangnya rahmat menandakan bahwa umat Islam sedang kehilangan kendali akan substansi ajaran Islam itu sendiri. Mengapa demikian? Karena Nabi Muhammad SAW diutus untuk membawa rahmat bagi alam semesta. Bahkan, Islam tidak hanya melarang aksi terorisme dan kekerasan, sekedar menukut-nakuti yang dilakukan untuk bergurau dan bercanda pun dilarang.

Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ أَشَارَ إِلَى أَخِيْهِ بِحَدِيْدَةٍ فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَلْعَنُهُ حَتَّى يَدَعَهُ وَإِنْ كَانَ أَخَاهُ لِأَبِيْهِ وَأُمِّهِ (رواه مسلم)

“Barang siapa yang mengacungkan besi kepada saudaranya, sesungguhnya malaikat melaknatnya hingga ia meninggalkannya,meskipun itu kepada saudara seayah dan seibunya” (H.R. Muslim) [1].

Dalam hadits lain disebutkan:

لاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يُرَوِّعَ مُسْلِمًا (رواه أبو داود)

“Tidak dihalalkan bagi seorang muslim untuk menakut-nakuti muslim lainnya” (H.R. Abu Daud) [2].

Al-Azhar sebagai benteng keilmuan dan mercusuar peradaban yang telah mengawal umat dari masa ke masa tentu memiliki beban moral untuk mengambil sikap dan tindakan yang mampu memadamkan kobaran kebencian dan permusuhan di Barat dan Timur. Harus diakui bahwa saat ini kita sedang berada dalam situasi yang banyak mengorbankan umat Islam. Hal ini dikarenakan hilangnya pandangan maqashid yang tentu saja menggelisahkan dunia ijtihad. Di samping itu, krisis ini juga disebabkan munculnya fatwa impor dalam bentuk kemasan lintas negara tanpa memperhatikan kondisi masyarakat yang memiliki perbedaan adat-istiadat, budaya, dan bahasa.

Dengan demikian, Al-Azhar telah menyiapkan kader-kader yang kredibel dengan membentuk para imam di luar negeri dengan memberikan penyuluhan kepada mereka tentang permasalahan yang bersinggungan dengan kebutuhan kaum muslim dalam berbagai bidang. Mereka juga telah diberikan pelatihan melalui seminar-seminar yang diselenggarakan oleh Ikatan Alumni Al-Azhar Internasional di Kairo, yaitu sebanyak 538 imam dari Afghanistan, Pakistan, Kurdistan, Iraq, Cina, Indonesia, Inggris, Yaman, juga negara-negara Afrika dan Amerika Selatan [3].

Teror yang dalam banyak kesempatan menggunakan topeng agama serta datangnya dukungan dari politik-politik gelap internasional dengan jumlah uang yang berlimpah, telah mendorong Dewan Cendekiawan Muslim untuk bekerja sama dengan Al-Azhar dengan mengirimkan delegasi perdamaian ke berbagai negara dunia [4]. Hal ini bertujuan untuk mengenali kondisi kaum muslimin di negara-negara tersebut dan menyebarkan Fikih Perdamaian di antara mereka, serta berkontribusi dalam menjaga mereka dari teror yang sama sekali tidak mempedulikan perlindungan, dan kasih sayang.

Misi menghidupkan Fikih Perdamaian telah menjadi pintu pertolongan untuk menyelamatkan umat manusia secara umum, dan umat islam pada khususnya dari bahaya teror dan bencana ekstrimisme bersenjata.

Ketetapan hakikat secara teoritis yang bersumber dari berbagai referensi dalam akidah Ahlussunnah wal Jama’ah, merupakan metode yang dianut Al-Azhar dalam penyelenggaraan pendidikan dan pembentukan pengajaran di institut yang berusia tua ini. Lembaga ini diwarnai dengan corak pemikiran yang seimbang, serta perpaduan intelektualitas yang komprehensif guna mewujudkan persatuan umat islam selama mereka bersatu menghadap satu kiblat.

Prof. Dr. Ahmad At-Thayyeb selaku Syaikhul Azhar senantiasa memperhatikan kurikulum diktat fakultas-fakultas di Universitas Al-Azhar, agar para mahasiswa terbiasa berinteraksi dengan berbagai teks para imam dari berbagai madrasah pemikiran dan aliran ijtihad [5]. Oleh karena itu, spirit moderatisme telah tertanam teguh dalam diri mereka guna membendung kecenderungan fanatisme, ekstrimisme, dan sempitnya pandangan yang dapat menggerogoti tubuh umat.

Hal ini berdasarkan peringatan Rasulullah SAW melalui sabdanya:

يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِيْ الدِّيْنِ ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ الْغُلُوَّ فِيْ الدِّيْنِ (رواه ابن ماجه)

“Wahai Manusia! Jauhilah sikap berlebih-lebihan (ekstrem) dalam beragama, karena kaum sebelum kalian telah musnah disebabkan sikap berlebih-lebihan dalam beragama” (HR. Ibnu Majah) [6].

Pemahaman terhadap upaya-upaya yang dilakukan Al-Azhar dalam membangun hubungan kemanusiaan, tidak akan terwujud dalam bentuk yang benar kecuali jika ia telah berdamai dengan dirinya sendiri dan dengan Allah SWT. Jika rasa damai ini telah sempurna, maka ia akan berpengaruh positif terhadap hubungannya dengan yang lain. Dengan kata lain, jika hati dan iman telah menyatu, maka buahnya adalah adanya interaksi yang baik dengan orang lain, karena Islam meminta pemeluknya agar mampu beradaptasi dengan baik [7].

Kehidupan yang harmonis dapat terwujud dengan cara memberikan pendidikan hati dan nilai-nilai agama. Bersatunya iman dan kasih sayang dalam diri seseorang, akan membentuk pribadi-pribadi tangguh yang menjadikan masyarakat seperti bangunan kokoh yang saling nenguatkan satu sama lain. (Fatias Risantara Akbar/ Mahasiswa Universitas Al-Azhar Jurusan Syariah Islamiyah)

[1] H.R. Muslim, No: 2616.

[2] H.R. Abu Daud No. 5004 dari sekelompok sahabat Nabi Saw., Al-Munawi berkata dalam “Al-Taysir bin Syarh Al-Jami’ As-Shaghir”: 2/504: “Sanadnya Hasan”.

[3] Pidato Grand Syaikh tentang Toleransi dan Peradaban, jilid 1, hal. 13.

[4] Ibid, hal. 89.

[5] Ibid, hal.19.

[6] H.R. Ibnu Majah, No: 3029.

[7] Prof. Dr. Mahmud Hamdi Zaqzuq, Manusia dan Norma dalam Perspektif Islam, hal. 62.

Read more
08Apr

Sejak Kapan Al Azhar Menjadi Kiblat Keilmuan Islam?

April 8, 2022 buutsfpib Artikel 57

(Edisi Spesial Ramadhan: Milad Al-Azhar ke-1082 Vol. 04)

Pertanyaan yang agak rumit. Sebab harus menoleh ke belakang; melihat sejak kapan Al-Azhar melahirkan bintang-gemintang ulama yang ilmunya diteguk oleh umat Islam sepanjang masa ke masa.

Muiz Lidinillah mulai membangun Al-Azhar pada hari sabtu bulan Jumadil Awal tahun 359 H (970 M) dan pembangunan itu selesai tanggal 7 Ramadhan 361 H atau 22 Juni 972 M. Ketika itu tentu Al-Azhar masih belum menjadi kiblat keilmuan Islam. Sebab pusat keilmuan Islam masih terpusat di Baghdad dengan mahligai keindahan Bayt al-Hikmah-nya dan Andalusia yang mempesona dengan ulamanya. Al-Azhar masih kanak-kanaknya untuk disebut sebagai kiblat keilmuan.

Meskipun demikian, Al-Azhar telah memulai halakah-halakah keilmuannya dengan mengajarkan kitab-kitab mazhab Syiah Imamiyah. Al-Maqrizi, murid kesayangan Ibnu Khaldun mengatakan bahwa kitab yang pertama kali diajarkan di Al-Azhar adalah kitab matan fikih syiah, al-Iqtishar.

Pengajian di Al-Azhar tidak hanya untuk laki-laki, tapi juga ada majelis khusus untuk para perempuan, baik perempuan kerajaan maupun perempuan umum.

Berabad kemudian, Baghdad dan Andalusia di ambang kehancuran perang. Para warga termasuk ulama banyak yang melarikan diri. Tentara Mongol menghancurkan dan meluluhlantakkan Baghdad beserta perpustakaan besarnya; Bayt al-Hikmah. Buku-buku yang ada di dalamnya dibuang ke sungai. Sayang sekali tidak ada PDF yang bisa menjaga kitab-kitab yang dibuang itu. Bahkan bukan cuma itu,  sekitar satu juta orang dibunuh oleh pasukan jahanam kaum Mongol. Syekh Usamah Sayyid Azhari sampai mengatakan bahwa kejadian itu merupakan musibah terbesar dalam sejarah manusia setelah banjir besar yang menimpa kaum Nabi Nuh.

Andalusia juga begitu. Menemui ajalnya. Orang-orang dibunuh, dibantai dan disiksa sepuasnya.

Kedua pusat keilmuan itu runtuh.

Pada masa Saladin al-Ayyubi al-Syafii al-Asy’ari, beliau menciptakan madrasah-madrasah di Mesir. Jumlahnya mencapai puluhan. Tujuannya tak lain untuk menandingi Al-Azhar yang pada masa itu masih memegang erat pemahaman Syiah.

Al-Azhar akhirnya ditutup selama hampir seabad. Lockdown yang amat lama sekali. Akan tetapi, madrasah-madrasah yang dibuat oleh Saladin di Mesir tetap berjalan sebagaimana biasa. Hingga pada suatu hari, Al-Azhar dibuka kembali.

Imam Suyuthi mengatakan:

وقد غدا الأزهر منذ أواخر القرن السابع أي منذ غلق معاهد بغداد وقرطبة كعبة الأساتذة والطلاب من سائر العالم. وغدا أعظم مركز للدراسات الإسلامية العامة حتى أطلق عليه في عصر الممالك العصر الذهبي للأزهر.

“Sungguh Al-Azhar di akhir abad ke tujuh, yaitu sejak ditutupnya madrasah-madrasah Baghdad dan Cordoba (Andalus), Al-Azhar telah menjadi kiblat para ulama dan pencari ilmu di seluruh persada bumi. Dia telah menjadi pusat pembelajaran Islam secara umum sampai-sampai disebutkan bahwa al-Azhar yang ada pada masa Mamalik itu sebagai masa keemasan bagi Al-Azhar.”

Pernyataan itu tidaklah berlebihan. Sebab akhir abad ketujuh, memang banyak bermunculan ulama-ulama kibar yang mengunjunginya Al-Azhar atau lahir di sana. ‘Allamah Ibnu Khaldun menginjakkan kakinya di teras Al-Azhar sekitar pada tahun 783 H. Di Al-Azhar beliau menuliskan beberapa karyanya. Abad ketujuh muncul juga ulama sekaliber Imam Ibnu Hajar Asqalani, Imam Mahalli, Badruddin Zarkasyi, dan lain-lain.

Ibnu Mandhur, seorang ulama lughah (bahasa) yang memiliki kitab fenomenal;  Lisan al-Arab yang mencakup sekitar 80 ribu akar kata bahasa Arab, menuliskan kitabnya di Al-Azhar. Fairruzabadi sempat menuliskan kamusnya yang fenomenal, Qamus al-Muhith, di Al-Azhar. Demikian pula al-Damamini dan Ibnu Aqil, dua pakar bahasa kenamaan yang sempat mengajar di Al-Azhar. Imam Murtadha al-Zabidi menulis kitab Tajul Arus, Syarah Qamus al-Muhith milik Fairuzabadi juga di Al-Azhar. Demikian ditulis dalam buku Al-Azhar Fi Alfi ‘Am. Al-Azhar, lautan ilmu lughah. Para ulama lughah mencari keberkahan dengan menulis kitabnya di sana.

Syaikhul Azhar, Maulana Ahmad Thayyib mengatakan:

فمن المعلوم تاريخا: أن مركز الثقل في تراث المسلمين كان في بغداد، وفي بلاد فيما وراء النهرين، وأن زعيم المغول دمر بجيشه الوثني تراث المسلمين في هذه البلاد، ومحاه من الوجود عام ٦١٦ ه – ١٢٢٠ م، ثم جاء حفيده هولاكو عام ٦٥٦ ه – ١٢٥٨ فدمر بغداد برجالها ونسائها واطفالها ومدارسها ومكتباتها.

ولك أن تتساءل: أين قدر لهذا التراث أن ينبعث ويتماسك من جديد، ويستعيد دوره في حماية أمة بحجم أمة المسلمين؟

والإجابة التي لا يعرف التاريخ إجابة غيرها: إنه الأزهر الشريف وعلماؤه وأروقته، ولولاه لأصبحت الأمة بلا رأس، وأصبح اندماجها في الحضارات الأخرى وانسحاقها في تراثها أمرا محتوما تفرضه عوامل التطور وحركات التاريخ.

“Sudah diketahui dalam sejarah bahwa pusat besar turats umat Islam di Baghdad dan di Bilad Fi Ma Waraa al-Nahr (Transoxiania). Panglima Mongol menghancurkan turats umat Islam. Meluluhlantakkan Baghdad, rakyatnya, anak-anak kecil dan perempuan di dalamnya, beserta perpustakaannya.

Kalian bisa bertanya-tanya: ‘Di mana turats mampu kembali dan dapat dicengkeram kembali seperti semula serta mengembalikan perannya untuk menjaga umat Islam?’

Satu-satunya jawabnya yang diketahui oleh sejarah: ‘Ya. Dialah Al-Azhar, ulamanya, ruwaq-ruwaqnya. Tanpa Al-Azhar, umat Islam akan menjadi umat tanpa kepala. Dan keberadaannya dalam peradaban-peradaban dan keterbelakangan umat Islam dalam turatsnya menjadi sebuah kenyataan yang tak bisa dielakkan tanpa Al-Azhar yang bisa dibuktikan dengan aspek-aspek sebuah kemajuan dan pergerakan sejarah’.”

Setelah itu, Syaikhul Islam wa Al-Azhar melanjutkan dengan mengutip perkataan Zaki Najib Mahmud, Filsuf modern,

“Barangkali para pembaca mengira saya sedang membanggakan peran madrasah ini (Al-Azhar), atau memujinya melebihi batas. Saya akan mengutip perkataan filsuf Mesir yang dikenal dengan ensiklopedisnya, kepakaran dan penggabungannya antara dua kebudayaan barat dan timur,

‘Peradaban Islam datang dan tiap muslim mengetahui bahwa sumbangsih Mesir bagi peradaban Islam. Sekiranya tidak ada sumbangsih dan peran Al-Azhar pada abad 12, 13 dan 14 H, tidak akan ada turats Arab Islam. Di mana kita menemuinya sementara Tartar membakar turats Islam dan Andalusia telah hilang di tangan orang-orang yang berperang. Akan tetapi Al-Azhar bersegera mengumpulkan kembali turats itu sebelum hilang. Dikumpulkan kembali. Tapi pengumpulan apa yang dimaksud? Yaitu tidak sekedar mengumpulkan, melainkan menciptakan hal yang baru dan tujuan’.”

Qultu: Itu bisa disaksikan gencar keilmuan pada zaman Utsmaniyah di Al-Azhar. Para ulama Azhar berlomba-lomba membuat kitab matan, syarah, hasyiah, taqrir di fan-fan keilmuan yang bermacam-macam. Bahkan tak berlebihan jika dikatakan bahwa zaman itu adalah zaman penghasyiahan sebuah fan ilmu. Syekh Athhar, Syekh Mallawi, Syekh Amir Kabir, Syekh Baijuri, Syekh Suja’i, dan ribuan nama lainnya menghiasi dinding peradaban Islam hingga saat ini.

Jika dilihat di abad sembilan belas, dua puluh dan dua puluh satu, kita akan menemukan seabrek nama-nama ulama yang telah menjaga agama ini pernah menghirup udara dan debu Al-Azhar. Di Mesir, kita menemui Syekh Bakhit, Syekh Musthafa Imran (guru Syekh Azhar Ahmad Thayyib, Syekh Hasan Syafi’i dan Syekh Muallim Syekh Husam). Di Syiria, kita menemukan Syekh Hassan Hanabakeh, Syekh Buthi, Syekh Wahbah Zuhail, Syekh Nurudin ‘Ithr. Di Tunisia, kita temukan Syekh Kimtir, Syekh Jami’ Zaitunah sekarang. Di Indonesia, Syekh Nawawi al-Bantani al-Azhary, Syekh Mahmud Yunus, Syekh al-Habib Muhammad Quraish Shihab dan lain-lain.

Jika ditelusuri lagi, akan banyak kita temukan. Namun, sebagaimana bintang-gemintang di langit sulit dihitung, demikian pula para ulama Al-Azhar.

وامدح بأمدح ما في الشعرِ أَزهَــرَنَا

فأمدح الشعر عن أوصـافه عــجــزا!

[الشيباني الإندونيسي]

Pujilah Al-Azhar kita dengan pujian yang maha memuji yang terdapat dalam sebuah syair

Paling memujinya syair telah lemah dalam menyifati Al-Azhar!

Paling terpenting bukan bagaimana kita hanya membanggakan al-Azhar, tapi yang jauh lebih penting dari itu, bagaimana Al-Azhar bisa bangga kepada kita. Dengan apa? Menjaga turast-turats yang mereka tinggalkan kepada kita dengan memahaminya dan menyelam dalam samudera rahasia-rahasianya.

Hari ini ulang tahun Al-Azhar yang ke 1082 tahun. Tepatnya pada 7 Ramadhan. Selamat ulang tahun, Sayyidina Al-Azhar!

(Syihab Syaibani-Beben/ Mahasiswa Universitas Al-Azhar Jurusan Dirasat Islamiyah wal Arabiyah)

Sumber:

Al-Azhar Fi Alfi ‘Am

Al-Azhar Wa Dauruh Fi Nasyr Tsaqafah

Read more
06Apr

Al Azhar dan Wakafnya

April 6, 2022 buutsfpib Artikel 56

(Edisi Spesial Ramadhan: Milad Al-Azhar ke-1082 Vol. 03)

Memasuki 1082 tahun sebagai kiblat ilmu pengetahuan, Al-Azhar tetap eksis mengawal perkembangan zaman dalam bidang kelimuan. Selain sebagai kiblat ilmu pengetahuan, al-Azhar juga terkenal dengan wakafnya. Karena wakafnya itulah, Al-Azhar dijadikan tonggak perwakafan dalam bidang pendidikan.

Sistem perwakafan menjadi salah satu faktor dari maju dan bertahannya suatu lembaga. Untuk itu, mengetahui bagaimana Al-Azhar dalam sistem perwakafan dan penerapannya adalah sesuatu yang perlu dikaji. Di sini penulis akan mencoba membahas secara singkat bagaimana Al-Azhar dan wakafnya dalam bidang pendidikan dan pengajaran.

Perekonomian Al-Azhar menuju ke sistem perwakafan dialami secara bertahap. Saat berdirinya, pemasukan keuangan masjid Al-Azhar didapatkan dari Daulah Fathimiyah, seperti halnya masjid-masjid lainnya. Ketika masuk kepemimpinan khalifah kedua Daulah Fathimiyah, Al-Aziz Billah, halaqah keilmuan diadakan dengan saran dari Ibnu Kilis. Adapun keuangan Al-Azhar saat itu didapatkan dari infaq pribadi Khalifah dan Perdana Menteri, baik untuk para muridnya, tempat tinggal, sandang pangan, serta hal-hal lain yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pengajar dan murid.

Masuk ke pemerintahan Khalifah ketiga -Hakim bi Amrillah- sistem perwakafan mulai diterapkan agar keuangan yang masuk ke Al-Azhar bisa terus menerus berputar dan tidak tergantung dengan seorang khalifah. Sejak itulah Al-Azhar menganut sistem perwakafan sebagai masjid dan tempat belajar-mengajar di Daulah Fathimiyah.

Terkait wakaf pertama al-Azhar, Dr. Abdul Aziz Muhammad al-Sinawy dalam bukunya Al-Azhar Jami’ wa Jami’ah, mengutip dari Maqrizi dalam bukunya Al-Khothoth, menjelaskan mengenai piagam wakaf bahwa Hakim bi Amrillah memberikan sebagian hartanya sebagai wakaf –tertulis di pembukaan piagam-. Yaitu diwakafkan untuk tiga masjid: pertama Al-Azhar, yang kedua Masjid Rasyidah, dan yang ketiga Masjid Muqish, kemudian disusul dengan Dar Hikmah. Piagam tersebut dikeluarkan ketika bulan Ramadhan tahun 400 H (sekitar 18 April – 17 Mei 1010 M).

Wakaf tersebut berupa harta yang tetap, seperti tanah pertanian, pasar, dan lain sebagainya. Harta yang telah diwakafkan tersebut tidak diperjualbelikan, namun dikelola agar terus berputar dan hasilnya kembali ke Al-Azhar sendiri. Dari Al-Azhar untuk Al-Azhar dan umat Islam. Akhirnya keuangan berputar secara terus-menerus tanpa bergantung pada seseorang yang menginfakkan hartanya.

Sistem tersebut diterapkan Al-Azhar sepanjang perjalanannya hingga saat ini kecuali ketika Daulah Ayyubiyyah, yaitu ketika Al-Azhar ditutup dan menghentikan wakafnya untuk menepis penyebaran madzhab Syiah. Sejak saat itulah sistem keuangan dan perputaran ekonomi Al-Azhar tidak terbatas dari seorang Khalifah atau perdana menteri yang menyokong keuangannya. Melainkan dari pemilik harta tetap yang mewakafkan pada Al-Azhar secara umum untuk dikelola, atau secara khusus diberikan kepada para pengajar, murid, atau halaqah dan ruwaq tertentu.

Sistem perwakafan tersebut dikelola oleh para qudhat, atau sekarang ini dikenal sebagai menteri. Tak lain seperti Al-Azhar saat ini yang telah dikelola oleh Kementerian Wakaf Mesir. Wakaf berkembang pesat, tak hanya diterapkan oleh Al-Azhar, melainkan Mesir pun mengembangkan dan mengelola wakaf secara produktif. Wakaf berkembang pesat ketika pemerintah Mesir menerbitkan Undang-undang No. 80 Tahun 1971 yang mengatur pembentukan Badan Wakaf Mesir yang khusus menangani masalah wakaf dan pengembangannya, berserta struktur, tugas, tanggung jawab dan wewenangnya. (ZISWAF, Vol. 4 No. 1, Juni 2017).

Setelah dipaparkan bagaimana sejarah dan permulaan sistem perekonomian dan wakaf al-Azhar secara singkat, kita bisa melihat sekilas gambaran sistem perwakafan dalam bidang pendidikan dan pengajaran sebagai penunjang keduanya.

Eksistensi Al-Azhar dalam bidang perwakafan dan keilmuannya tidak disempitkan dalam bentuk harta yang tetap seperti tanah pertanian, pasar atau toko dan lain-lainnya. Melainkan wakaf dimaknai secara luas sebagai gaya hidup dalam segala lini pendidikan. Selain perputaran keuangan yang mandiri atau ekonomi proteksi, wakaf tercerminkan hampir di setiap lini Al-Azhar, baik wakaf harta, tenaga, ide atau gagasan.

Harta tetap yang merupakan wakaf tersebut –seperti tanah dll- dikelola hingga berputar terus menerus hingga memiliki perekonomian yang mandiri. Hasilnya dikelola dan kembali pada lembaga itu sendiri, bahkan kembali kepada umat Islam. Begitupula seorang guru, telah mengajar dengan ikhlas, ia telah mewakafkan tenaga, ilmu atau ide untuk kesejahteraan umat dengan ilmu yang ia sampaikan pada muridnya. Begitupula ide dan gagasan dari seseorang yang mengelola sistem pengajaran dan pendidikan tersebut pun termasuk wakaf, wakaf ide dan gagasan. Wakaf yang berasal dari diri umat tersebut akan kembali ke umat dan bahkan kebermanfaatannya akan menyebar lebih luas dan terus menerus. Begitulah sekiranya kita mampu mengambil pelajaran dari al-Azhar.

Tapi bukan berarti, belajar di Al-Azhar itu sesuatu yang murah dan bisa kita remehkan. Akan tetapi termasuk hal mahal, karena ukuran mahal dan murahnya suatu hal bukan hanya pada harta/ materil yang dibayarkan atau tidak. Disebut mahal karena kualitas kelimuan dengan guru yang mempunyai otoritas di bidangnya melimpah ruah dan tinggal kita memilihnya. Karena sesuatu yang berkualitas bukanlah hal yang murah. Itu hal Mahal. Itulah wakaf al-Azhar yang telah membantu kita belajar, melalui sistem perwakafan dalam bidang pendidikan dan pengajaran yang meringankan beban para penuntut ilmu, terlebih para mahasiswa rantau. Wallahu a’lam bi al-showwab. (Ummu Maghfiroh/ Mahasiswi Universitas Al-Azhar Jurusan Sastra Arab)

Read more
26Mar

‘Kutubun Sihhah’, Alasan FPIB Adakan ‘Rihlah Maktabah’

Maret 26, 2022 buutsfpib Artikel 62

Kairo, Fpib.web.id-Kamis (24/3) untuk petama kalinya, FPIB (Forum Pelajar Indonesia Bu’uts) mengadakan rihlah maktabah yang berada di kawasan Darrasah, khususnya maktabah belakang kampus Al Azhar. Rihlah ini diwajibkan bagi para calon mahasiswa/i Al Azhar kedatangan di tahun 2022, dan dibolehkan untuk siapa saja yang ingin berpartisipasi. PSDM (Pemberdayaan Sumber Daya Manusia), sebuah bagian dari FPIB yang mempelopori kegiatan ini, menyiapkan 6 pembimbing untuk 6 kelompok yang sudah dibagi khusus anak baru. Di antaranya, Ustadz Roisul, Ustadz Probo, Ustadz Kamil, Ustadz Irfan Wahid, Ustadz Wildan Edi, dan Ustadz Aqil Palembang.

Abdul Ghofur Musthofa, sebagai ketua koordinasi bagian PSDM, mengatakan,

“Dengan rihlah maktabah ini, kami semua berharap agar anak-anak baru mampu untuk memilih buku secara benar. Sehingga mereka mampu mendapatkan ilmu yang sesuai dengan metode Azhar nantinya.”

Ghofur menjelaskan, bahwa dalam menuntut ilmu, setiap tholib harus memilliki empat macam ini, yaitu:

Guru yang membuka pintu ilmu ( شيخ فتاح ), akal yang mampu menerima secara baik ( عقل رجاح ), buku yang benar dan sesuai ( كتب صحاح ), selalu mengulang apa yang dipelajari ( مداومة و إلحاح ).

Ustadz Roisul Amin, sebagai salah satu pembimbing, menjelaskan bahwa rihlah ini sangat penting bagi semua masisir, khususnya bagi anak-anak baru. Untuk menyadarkan, bahwasanya kita hidup di sebuah kota yang memiliki buku-buku yang tersebar ke seluruh penjuru dunia. Sebagaimana julukannya, ‘kota sejuta buku.’

“Rihlah ini untuk memperkenalkan kepada mereka, bagaimana cara memilih penerbit-penerbit buku dan muhaqqiq yang terbaik dan sesuai metode Azhar. Bahkan terhadap setiap maktabah yang sejalur dengan pemikiran Azhar, sehingga mereka tidak salah pilih di kemudian hari,”

Reporter : Muhammad Awwabinhafizh

Editor : Nusaibah Masyfu’ah

Read more
    12
Logo FPIB Kecil Web

FPIB (Forum Pelajar Indonesia Bu’uts) merupakan forum sosial yang mewadahi seluruh pelajar Indonesia yang terdaftar di Madinatul Bu’uts Al Islamiyyah.

FPIB © All rights reserved

Kategori

  • News
  • Info

Info

  • Ijroat Adventure Minhah Dakhili
  • Ijroat Adventure Minhah Khoriji
  • Taqdim Minhah

Tentang Kami

  • About FPIB
  • Kontak