
(Edisi Spesial Ramadhan Vol.13)
Bulan Ramadhan memiliki sekian banyak keistimewaan salah satu diantaranya adalah lailatul qadar—satu malam yang dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa “lebih baik daripada seribu bulan.” Tetapi, apa dan bagaimana malam itu? Apakah ia terjadi sekali saja yakni pada malam ketika turunnya Al-Qur’an sekitar lima belas abad yang lalu atau terjadi setiap bulan Ramadhan sepanjang sejarah? Bagaimana kedatangannya, apakah setiap orang yang menantinya pasti akan mendapatkannya? Benarkah ada tanda-tanda fisik material yang menyertai kehadirannya (seperti membekunya air, heningnya malam, menunduknya pepohonan dan sebagainya)? Masih banyak lagi pertannyaan yang sering muncul berkaitan dengan malam al-Qadr itu.
Terlepas dari pertanyaan-pertanyaan di atas, yang pasti hal ini harus diimani oleh setiap muslim berdasarkan pernyataan al-Quran, bahwa “Ada suatu malam yang bernama lailatul qadar” (QS 97:1) dan bahwa malam itu adalah “Malam yang penuh berkah dimana dijelaskan segala urusan besar dengan penuh kebijaksanaan” (QS 44:3). Malam tersebut terjadi pada bulan Ramadhan, karena kitab suci al-Quran diturunkkan oleh Allah Swt. pada bulan Ramadhan serta pada malam al-Qadr.
Malam tersebut adalah malam mulia yang tidak mudah diketahui betapa besarnya kemuliaannya. Ini diisyaratkan oleh adanya pertanyaan dalam bentuk pengagungan, yaitu wa ma adraka ma laylat al-Qadr. Kalimat ma adraka dalam Al-Quran menjadi sebuah objek yang digunakan untuk menjelaskan hal-hal yang sangat hebat dan sulit dijangkau hakikatnya secara sempurna oleh akal pikiran manusia. Oleh sebab itu, persoalan malam lailatul qadar harus dirujuk kepada Al-Quran dan sunah Rasulullah Saw.
Kembali kepada pertanyaan semula, bagaimana tentang malam itu? Apa arti malam al-Qadr dan mengapa malam itu dinamai demikian?
Kata qadr sendiri memiliki tiga makna: pertama, penetapan dan pengaturan. Sehingga lailatul qadr dipahami sebagai malam penetapan Allah bagi perjalanan hidup manusia, pendapat ini dikuatkan oleh firman Allah surah al-Dukhan: ayat 3. Akan tetapi ada ulama yang memahami penetapan itu dalam batas setahun. Al-Quran yang turun pada malam lailatul qadr diartikan bahwa malam itu Allah SWT mengatur dan menetapkan khiththah dan strategi bagi Nabi-Nya, Muhammad Saw., guna mengajak manusia kepada agama yang benar, yang pada akhirnya akan menetapkan perjalanan sejarah umat manusia, baik secara individu maupun kelompok.
Kedua, kemuliaan. Malam tersebut adalah malam mulia yang tiada bandingnya. Ia mulia karena terpilih sebagai malam turunnya al-Quran serta karena menjadi titik tolak dari segala kemuliaan yang dapat diraih. Kata qadr yang berarti mulia terdapat dalam surah al-An’am: ayat 91, yang berbicara tentang kaum musyrik; Ma qadaru Allaha haqqa qadrihi idz qalu ma anzala Allahu ‘ala basyarin min syay’i (mereka itu tidak memuliakan Allah sebagaimana kemuliaan yang semestinya, tatkala mereka berkata bahwa Allah tidak menurunkan sesuatu pun kepada manusia).
Ketiga, sempit. Malam tersebut adalah malam yang sempit, karena banyaknya malaikat yang turun ke bumi, seperti yang ditegaskan dalam surah al-Qadr, pada malam itu turun malaikat-malaikat dan ruh (jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Kata qadr yang berarti sempit digunakan dalam al-Quran dalam surah al-Ra’d: ayat 26. Allah yabsuthu al-rizqa liman yasya’ wa yaqdiru (Allah melapangkan rezeki bagi yang dikehendaki dan mempersempitnya [bagi yang dikehendaki-Nya]).
Ketiga makna tersebut, pada hakikatnya dapat menjadi benar, karena bukankah malam tersebut adalah malam mulia, yang bila dapat diraih maka ia menetapkan masa depan manusia, dan bahwa pada malam itu malaikat-malaikat turun ke bumi membawa kedamaian dan ketenangan. Lantas, apakah malam mulia tersebut datang setiap tahun atau hanya sekali, yakni ketika turunnya al-Quran sekitar lima belas abad yang lalu?.
Memang, turunnya al-Qur’an sekitar lima belas abad yang lalu terjadi pada lailatul qadar, tetapi bukan berarti bahwa malam mulia itu hadir pada saat itu saja. Ini juga menunjukkan bahwa kemuliaannya bukan hanya disebabkan al-Quran ketika itu turun, tetapi karena ada faktor intern pada malam itu sendiri. Hal ini dikuatkan dengan penggunaan bentuk kata kerja mudhari’ pada ayat, Tanazzal al-mala’ikat wa al-ruh, kata Tanazzal adalah bentuk yang mengandung arti kesinambungan, atau terjadinya sesuatu pada masa kini dan masa datang.
Dengan hadirnya malam mulia tersebut di setiap tahun, maka umat muslim selalu menunggu kehadirannya, akan tetapi tak sedikit umat islam yang menganggap bahwa malam mulia itu akan menemui setiap orang yang terjaga (tidak tidur) pada malam kehadirannya. Namun, anggapan itu—hemat penulis—keliru, karena itu dapat berarti bahwa yang memperoleh keistimewaan adalah yang ‘terjaga’ untuk menyambutnya maupun tidak. Di sisi lain ini berarti bahwa kehadirannya ditandai oleh hal-hal yang bersifat fisik material, sedangkan riwayat-riwayat demikian tidak dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya.
Pun seandainya, ada tanda-tanda fisik material, maka itu pun tidak akan ditemui oleh orang-orang yang tidak mempersiapkan diri dan menyucikan jiwa guna menyambutnya. Air dan minyak tidak mungkin akan menyatu dan bertemu. Kebaikan dan kemuliaan yang dihadirkan oleh lailatul qadar tidak akan diraih kecuali oleh orang-orang tertentu saja. Tamu agung yang berkunjug di suatu tempat, tidak akan datang menemui setiap orang di lokasi itu, walaupun setiap orang di tempat itu mendambakannya.
Demikian juga dengan lailatul qadar, itu sebabnya bulan Ramadhan menjadi bulan kehadirannya, karena bulan ini adalah bulan penyucian jiwa, dan itu pula sebabnya Rasulullah mengatakan bahwa malam mulia itu datang pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan. Tersebab, ketika malam itu, diharapkan jiwa manusia yang berpuasa selama dua puluh hari sebelumnya telah mencapai satu tingkat kesadaran dan kesucian yang memungkinkan malam mulia itu berkenan mampir menemuinya. Dan itu pula sebabnya Rasulullah menganjurkan sekaligus mempraktikkan i’tikaf (berdiam diri dan merenung di masjid) pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan.
Di atas telah dikemukakan bahwa dalam rangka menyambut lailatul qadar, Rasulullah menganjurkan umat muslim untuk melakukan i’tikaf di masjid sebagai bentuk perenungan dan penyucian jiwa. Di masjid, seseorang diharapkan merenung tentang dirinya serta di sana seseorang dapat menghindar dari hiruk-pikuk yang menyesatkan jiwa dan pikiran, guna memperoleh tambahan pengetahuan dan iman. Itulah sebabnya, ketika melakukan i’tikaf seseorang dianjurkan untuk memperbanyak doa dan bacaan al-Quran, atau bahkan bacaan-bacaan lain yang dapat meningkatkan keimanan dan ketakwaan.
Adapun doa yang sering Rasulullah baca dan hayati maknanya di sepuluh hari terakhir Ramadhan yaitu: Rabbana atina fiddunya hasanah wa fil akhirati hasanah waqina adzabannar (Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami kebajikan di dunia dan kebajikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka).
Doa ini bukan sekedar berarti permohonan untuk memperoleh kebajikan dunia dan akhirat, tetapi lebih-lebih lagi bertujuan untuk memantapkan langkah dalam berupaya meraih kebajikan yang dimaksud, karena doa mengandung arti permohonan yang disertai usaha. Permohonan itu juga berarti upaya untuk menjadikan kebajikan dan kebahagiaan yang diperoleh dalam kehidupan dunia ini, tidak hanya terbatas dampaknya di dunia, tetapi berlanjut hingga hari kemudian. Semoga pada Ramadhan kali ini kita bisa mendapatkan serta merasakan kehadiran lailatul qadar. (Ainul Mamnuah/ Mahasiswi Universitas Al-Azhar Jurusan Sastra Arab).