Edisi Spesial Ramadhan Vol 11
Ramadhan berasal dari kata رَمَضَ yaitu panas yang sangat terik membakar. Jika ditambahkan alif dan nun di ujung katanya menjadi رَمَضَان mengubah arti kata menjadi super latif atau shighah mubalagah yang berarti panas semakin terik hingga menghanguskan setiap benda di sekitarnya dan tidak menyisakan apapun bahkan debunya tidak tampak bekasnya. Bulan ini disebut dengan ramadhan karena menurut para ulama pada bulan ini Allah membakar dan menghapuskan dosa-dosa hamba-Nya. Pemaknaan ini disampaikan para ulama bukan berdasarkan kalimat biasa, tapi berdasarkan hadis Rasulullah Saw:
مَنْ صَامَ رَمَضَان إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ, وَمَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.
“Barangsiapa berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala, akan diampuni dosanya yang telah lalu, dan barangsiapa sholat di malam lailatul qodr diampuni dosanya yang telah lalu.”(HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu).
Maksud dari kalimat إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا yakni melakukan puasa karena Allah semata, وَاحْتِسَابًا seakar dengan kata muhasabah (haasaba-yuhaasibu-muhaasabtan) dan (ihtasaba-yahtasibu-ihtisaaban) yang mana keduanya berasal dari kata hisab. Yang artinya mengevaluasi dan menghitung. Setiap amalan yang dilakukan oleh anak Adam pasti akan digandakan dari sepuluh hingga tujuh ratus kali lipat. Sebagaimana firman Allah:
مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَثَرِهَا (الأنعام : 160)
“Barangsiapa mengerjakan satu kebaikan maka dia akan mendapatkan balasan sepuluh kali lipatnya”. (QS. Al-An’am : 160).
Allah memuliakan bulan Ramadhan dengan menurunkan ampunan, rahmat, hidayah, keutamaan-keutamaan yang tidak dijumpai selain pada bulan ini dan mengakhirinya dengan kemenangan pada bulan Syawwal. Syekh Abdul Aziz Syihawi menyatakan bahwa Baginda Nabi Muhammad Saw. sangat merindukan, mengenang dan mengistimewakan bulan Ramadhan. Kebiasaan Sang Baginda meningkat drastis di bulan Ramadhan dari bulan lainnya dengan memperbanyak ibadah dan menghidupkan malam-malamnya.
Kita Dalam Menyikapi Akhir Ramadhan
Menurut Zainudin Al-Malibari dalam Fathul Mu’in, diantara amalan yang dapat kita kerjakan dalam menyikapi akhir bulan Ramadhan seperti memperbanyak sedekah (tidak hanya diberikan kepada manusia dan berbentuk materi saja, melainkan makhluk Allah lainnya seperti hewan dan tumbuhan), memenuhi kebutuhan keluarga, berbuat baik kepada sesama dan tetangga, memperbanyak membaca Al-Qur’an dan beriktikaf.
Adapun amalan lainnya yang bisa kita lakukan dalam menyikapi akhir ramadhan dan mempersiapkan diri menemui lailatul qadar seperti meruntinkan qiyamul lail dan shalat tahajjud. Menurut Al-Ustadz Adi Hidayat, Lc. M.A terdapat perbedaan antara qiyamul lail dan shalat tahajjud. Dimana qiyamul lail merupakan shalat yang dilakukan tanpa didahului tidur sebelumnya dan waktunya dari setelah isya hingga pertengahan malam. Sedangkan shalat tahajjud yang berasal dari kata هَجَدَ yang artinya adalah tidur berbaring, kemudian ditambah ت menjadi تَهَجَدَ yang adanya usaha untuk bangkit dari tidur, kemudian ditambah ّ menjadi تَهَجَّدَ dengan adanya keseriusan dan perjuangan untuk mewujudkan bangkit secara serius dari tidur. Dan diubah menjadi sifat yaitu تَهَجُّدْ yaitu sholat yang dikerjakan setelah tidur terlebih dahulu, dan umumnya dikerjakan pada pertengahan malam. Amalan lain yang dapat dikerjakan adalah mendirikan shalat tasbih, mengerjakan amalan-amalan sunah, dan membaca do’a akhir Ramadhan sebagaimana yang disebutkan dalam hadis riwayat Jabir bin Abdillah:
اللهُمَّ لَاتَجْعَلْ آخِرَ الْعَهْدِ مِنْ صِيَامِنَا إِيَّاهُ, فَإِنْ جَعَلْتَهُ فَاجْعَلْنِيْ مَرْحُوْمًا وَلَا تَجْعَلْنِيْ مَحْرُوْمًا.
“Ya Allah, janganlah Engkau jadikan bulan Ramadhan ini sebagai bulan Ramadhan terakhir dalam hidupku. Jika Engkau menjadikannya sebagai Ramadhan terakhirku, maka jadikanlah aku sebagai orang yang Engkau sayangi”.
Betapa mulianya bulan Ramadhan dengan segala keutamaan yang terkandung di dalamnya. Sungguh disayangkan jika seorang muslim tidak memanfaatkan momen emas pada bulan suci Ramadhan dengan sebaik mungkin. Karena di dalamnya terdapat pahala yang berlipat dan kemuliaan yang tidak ada di bulan lainnya. Sedang kita tidak mengetahui apakah masih bisa menjumpai bulan ini di masa nanti atau justru kita yang mendahului. Maka hendaknya kita menikmati indahnya ibadah di bulan penuh berkah, berlomba-lomba dalam kebaikan sebagai bentuk ketaatan, bermuhasabah diri untuk menjadi lebih berarti dalam menggapai ridho Ilahi.
Jika orang yang buta tidak bisa melihat sinar matahari, begitupula orang yang buta mata hatinya tidak bisa melihat cahaya Ilahi. Jika cinta bisa membutakan seseorang akan segala hal, maka berbeda dengan kecintaan seorang hamba kepada Rabb-nya karena cinta itu tidak akan membuatnya buta akan segala hal. Justru apa yang ada dalam hati dan fikirannya akan terbuka, sehingga mampu untuk memilah haq dan bathil, membuka fikiran dan hatinya dengan Al-Qur’an, sunah dan iman, menyeru pada kebaikan dan ketaatan, tertanam dalam jiwanya Islam, iman dan ihsan. Bersih dari perilaku keji, kebencian dan kemungkaran, serta menjadikan Allah adalah alasan dalam setiap perbuatan.
Mengutip perkataan Dr. Ahmad Isa al-Mashry:
كيف أعرف هل قُبل عمل في رمضان أم لا؟ فعل الطاعة بعد الطاعة. مثلا : كان يغض بصره بصعوبة، أما الآن فيغض بصره بسهولة. كان في السابق يتثاقل عن القيام للصلاة، فأصبحت الصلاة عليه بعد رمضان سهلة.
Maknanya antara lain, diantara cara untuk kita mengetahui apakah ibadah yang kita lakukan ketika Ramadhan diterima atau tidak, bersungguh-sungguh karena Allah atau sebaliknya adalah kita bisa melihat bagaimana kerakter, kepribadian dan keseharian kita setelah Ramadhan, apakah menjadi lebih baik atau sebaliknya, apakah lebih hina atau mulia? Wallahu’alam. (Hanura Dewi Fadilah/ Mahasiswi Universitas Al-Azhar Jurusan Ushuluddin)