Edisi Spesial Ramadhan: Milad Al Azhar ke-1082 Vol. 08
Ramadhan tiba… Ramadhan tiba…
Marhaban yaa Ramadhan….
Segala macam gorengan tertata rapi di atas meja. Iklan sirup sesekali lewat di selingan acara tv saat sahur. Anak kecil sampai lansia bersemangat meramaikan masjid. Jadwal reuni berkedok buka puasa mulai meramaikan grup whatsapp. Jalan raya semakin ramai dan macet menjelang adzan maghrib oleh pedagang kaki lima. Bagaimana? Rindu tanah air? Membayangkan keluarga besar berkumpul mengelilingi meja makan? Keliling kota dan berbagi nasi kotak di pagi buta bersama teman dan rekan kerja?
Banyak cara untuk merayakan rasa syukur. Banyak pilihan untuk mengekspresikan cinta dan bahagia. Lampu hias menggantung berjejer di pinggiran jalan. Menghiasi malam-malam kota Kairo. Menambah suka cita warga Kairo merayakan datangnya bulan Ramadhan.
Jauh sebelum hilal terlihat, banyak pedagang yang mendirikan terop dan menata rapi lampu-lampu hias. Warnanya keemasan dengan beberapa hiasan menambah cantik dan menarik perhatian pembeli yang melewatinya. Lampu hias ini dikenal dengan bahasa arabnya, faanus dan fawanis dalam bentuk jama’nya.
Dari yang ukurannya kecil sampai besar, harganya pun beragam. Fanus selalu menjadi ciri khas warga Mesir khususnya Kairo dalam menyambut bulan Ramadhan. Seperti tamu istimewa yang langka untuk ditemui karena hanya datang sekali dalam setahun. Menjadi wujud perayaan mereka turut berbahagia dengan berkahnya Ramadhan.
Berawal pada 5 Ramadhan 362 H, ketika Mu’iz Lidiinillah Al-Fathimiy berhasil memasuki kota Kairo. Malam itu, banyak warga Mesir keluar dari rumah mereka dan menerima kedatangannya. Di antaranya ikut serta juga wanita dan anak-anak. Mereka membawa lampu-lampu fanus di tangannya untuk menerangi sekitar dan menyambut kedatangan Mu’iz. Lalu, mereka membiarkan menaruh fanus-fanus tersebut di pinggiran jalan dan bergantungan di pekarangan rumah-rumah selama satu bulan penuh Ramadhan. Sejak saat itulah, fanus menjadi adat Mesir dalam menyambut bulan suci Ramadhan.
Ada yang mengatakan, bahwa dulu, khalifah Mu’iz melarang perempuan Mesir agar tidak keluar rumah di malam hari kecuali di bulan Ramadhan. Dikarenakan Mu’iz memberi izin dan kesempatan bagi mereka untuk mengikuti shalat atau ziarah, juga turut merasa bahagia dengan bulan yang mulia. Dengan syarat, ada anak lelaki atau laki-laki dewasa yang membersamainya dengan membawa fanus untuk menerangi jalan dan sebagai tanda bagi pejalan kaki yang lewat agar memberi jarak kepada perempuan yang jalan melewatinya lantas menjaga pandangan mereka.
Beredar juga rumor lain tentang bagaimana warga Mesir yang menaruh perhatian lebih terhadap perayaan hari-hari besar mereka. Khususnya dengan bulan Ramadhan. Mereka mengadakan gotong royong untuk membersihkan kota dan jalanannya, rumah-rumah, mengecat ulang dinding-dinding agar terlihat baru. Para pedagang sibuk menata kembali dan membereskan toko dan barang dagangannya. Serta menghiasinya dengan fanus yang menerangi dan mempercantik toko, masjid, jalan raya, kantor dan beberapa market besar.
Tidak ada yang bisa memastikan bagaimana asal mula fanus ini menjadi adat dan budaya Mesir. Karena ini sudah menjadi hal turun temurun dari beberapa generasi dulunya. Yang awalnya hanya berfungsi sebagai sumber cahaya seperti lampu teplok di negara kita, Indonesia, obor, lilin, dsb.
Terlepas dari itu semua, fanus menjadi simbol bahagia dan syukur mereka atas keberkahan bulan suci Ramadhan. Sebagaimana Rasulullah SAW berbahagia menyambut Ramadhan, maka fanus menjadi salah satu cara warga Mesir untuk mengutarakan kebahagiaan mereka. (Wanda Muflihah/ Mahasiswi Al Azhar Jurusan Ushuluddin)
Referensi:
www.cairo.gov.eg
https://gate.ahram.org.eg
https://www.almasryalyoum.com/news/details/2314682