
Apakah Bangsa Mesir Kuno Mengenal Puasa?
Oleh: Fajar Ilman Nafi’
Mendengar kata puasa sama halnya mendengar kata Ramadhan; salah satu bulan berkah, penuh rahmat serta ampunan bagi umat Islam di seluruh dunia. Syariat ini sendiri turun dua tahun setelah Rasulullah Saw. imigrasi dari Mekkah ke Yathrib, berdekatan sebelum meletusnya perang Badar Kubra. Dengan demikian, semenjak saat itu diwajibkan bagi seluruh umat muslim untuk berpuasa menahan lapar dahaga dari waktu fajar hingga tenggelamnya sang surya dan masuk salah satu rukun dari rukun-rukun Islam yang lima.
Jikalau kita berpendapat bahwasanya praktik puasa hanya rangkaian ibadah umat Islam saja, maka argumen tersebut kemungkinan perlu kita kembangkan. Karena sejatinya banyak dari agama-agama terdahulu sebelum Islam maupun agama lain yang sezaman dengannya pun melakukan ritual yang serupa. Karena bisa dikatakan puasa merupakan pelaksanaan praktik dalam keagamaan yang paling ampuh untuk mengolah spiritual bathin yaitu melatih disiplin dan kesabaran. Katakanlah agama Buddha, mereka menyebutnya dengan uposatha, namun bedanya mereka masih diperbolehkan minum tapi tidak boleh makan. Kemudian ada agama Katholik, dimana mereka baru diwajibkan puasa ketika sudah mencapai usia 18 tahun dengan durasi waktu 40 hari. Lalu ada agama Yahudi, pelaksanaannya hampir sama seperti ajaran Islam, tapi ada beberapa pengkhususan hari-harinya, seperti dilarang puasa pada hari Sabtu.
Kembali ke pertanyaan awal, apakah bangsa Mesir kuno juga mengenal praktik puasa? Kita sebagai para mahasiswa yang sedang belajar di Kairo pastilah tidak asing dengan terminologi Firaun, Mishra Qadimah, Mumifikasi, dst. Tapi pertanyaan di atas sepertinya cukup membuat penasaran hebat yang mungkin belum terpikirkan di benak kita.
Sejak disatukannya antara wilayah shaid dan delta pada tahun 3200 SM. oleh Raja Nermer, bangsa Mesir Kuno sudah banyak mengenal para dewa. Ketika sudah mengenal dewa maka otomatis tidak jauh-jauh akidah atau agama yang mereka yakini, dan bab agama tidak akan terlepas dari tradisi maupun ritual-ritual kegamaan yang mereka jalani sepanjang hidup mereka.
Kita tahu bahwa bangsa Mesir Kuno sangat mengagungkan matahari. Mereka menganggap seluruh aktifitas peredaran matahari adalah wujud muraqabah dari tuhan kepada para hambanya. Di waktu terbitnya dianggap sebagai awal kehidupan baru, sedangkan tenggelamnya di barat merupakan wujud dari akhir kehidupan manusia, dan mereka menyebutnya sebagai dewa Amun – Ra. Maka, tak heran jika para rezim phraonic membagi antara wilayah timur Sungai Nil sebagai pemukiman penduduk, dan baratnya sebagai lembah kematian atau pekuburan para raja.
Maka, terbit dan tenggelamnya matahari menjadi patokan utama para penduduk Mesir Kuno untuk melaksanakan kegiatannya dari sisi spiritual maupun sosial. Adapun dari sisi spiritual, mereka (bangsa Mesir Kuno) menjadikan peredaran matahari menjadi batas waktu praktik keagamaan mereka yaitu puasa. Dr. Wasim Rusydi Sisi mengatakan bahwa para penduduk Mesir melakukan puasa dari terbitnya gugusan cahaya awal matahari (fajar) hingga terbenamnya matahari. Dengan demikian, hal itu mampu membuat mereka lebih dekat dengan para tuhan/dewa dan melatih kesabaran dan tahdzibu-l-nufus.
Adapaun puasa dalam bahasa Mesir Kuno yang tercatat pada tulisan hieroglif adalah “Sh-w” yang berarti al-imtina’. Tentu ini menjadi rambu atas adanya ritual tersebut di masa itu. Salah seorang akademisi dan peneliti arkeologi bernama Husein Daqiel mengatakan bahwa Bangsa Mesir Kuno memang sudah mengenal praktik puasa dengan penetapan hukum yang beragam – wajib dan mustahabb. Dari segi durasi waktu puasa pun, mereka memiliki perbedaan antara tiga hari sebulan sekali sebagai pengembangan metabolisme tubuh, serta ada yang berpuasa 70 hari.
Sekarang saatnya para pembaca harus bersiap menerima fakta dari semua argumen di atas, bahwa tidak pernah ada praktik puasa dalam al-diyanah al-mishriyyah al-qadimah (agama Mesir Kuno). Merujuk pada pendapat Dr. Wasim Sisi dan Husein Daqiel, bahwa terdapat ritual puasa di zaman Mesir Kuno dengan segala hal yang berkaitan dengannya, ternyata mampu diruntuhkan dengan argumen salah satu Pakar Egyptologi/Mesir Kuno dan menjadi salah satu dosen Universitas Al-Azhar Kairo prodi Sejarah dan Peradaban yang bernama Dr. Ahmad Rif’at Abdul Jawwad. Beliau mengatakan, untuk perihal puasa hingga berhari-hari yang dilaksanakan bangsa Mesir Kuno tidaklah benar. Meskipun memiliki makna mencegah/menahan makan dan minum, tapi konteks yang tepat adalah mencegah diri dari makanan-makanan yang diharamkan di masing-masing wilayah, contoh ada istilah qudsu-l-samak (sakralitas ikan) di wilayah Mandis, provinsi Daqahlia, mereka pun mengharamkan makan ikan karena dianggap sebagai hewan yang suci.
Kesimpulan dari semua kesimpulan, bahwa makna al-imtina’ di sini bukanlah mencegah diri dari makan dan minum dari terbit fajar hingga tenggelamnya matahari, tapi mencegah memakan bahan konsumsi yang dilarang dan diharamkan, wallahu a’lam.
Sumber:
Mishra allati La Ta’rufuuha – Dr. Wasim Rusydi al-Sisi.
Diyanatu Qudama’i-l-Mishriyyin – George Staindruff (terjemah Dr. Salim Hasan).
Diskusi di Bangku Perkuliahan dengan Dr. Ahmad Rif’at Abdul Jawwad – Darrasaah, 24 Februari 2024.
Penulis : Fajar Ilman Nafi’
Editor : Dimas Dwi Gustanto