Sebagai seorang muslim, bulan puasa atau bulan Ramadhan adalah tamu tahunan yang lazim kita temui di paruh akhir tahun hijriyah. Kita biasa menyambutnya dengan spanduk-spanduk bertuliskan Ramadhan Kareem, Marhaban ya Ramadhan, Marhaban ya Syahrassiyam, dan slogan-slogan lain yang menunjukkan antusiasme dan rasa rindu kita akan bulan yang mulia ini. Namun dari sana timbul pertanyaan skeptis yang perlu kita sadari betul: seberapa sadar kita menjalani puasa?
Mungkin kebanyakan dari kita sudah menjalani puasa di bulan Ramadhan, belasan atau puluhan kali. Ada dari kita yang masa kecilnya diawali dengan berpuasa setengah hari (puasa bedug kalau dalam budaya Jawa), hingga bisa menjalaninya seharian penuh, dari awal hingga akhir bulan Ramadhan. Ada pula yang sejak kecil sudah bisa menjalaninya sehari penuh, dari terbitnya fajar hingga maghrib. Namun, saya sebagai bagian dari umat muslim yang menjalani ibadah puasa ini kadang belum sadar betul, apa yang sebenarnya saya puasai? Apa itu puasa? Bagaimana seharusnya saya menjalani puasa? Apa dampak puasa bagi diri saya dalam kehidupan sehari-hari?
Untuk menjawab pertanyaan itu, kiranya kita harus bisa memahami dulu, bahwa puasa itu adalah ibadah yang terbatas dalam waktu tertentu. Dalam kitab Fathul Qarib, puasa adalah menahan diri dan hal-hal yang membatalkan puasa (makan, minum, dan lainnya), yang dilakukan sepanjang siang (dari terbitnya fajar sadiq hingga terbenamnya matahari pada waktu maghrib), yang dilakukan oleh muslim dan muslimah berakal, yang suci dari haid dan nifas. Lebih dari itu, di kala kita tidak berpuasa pada malam harinya, banyak ibadah yang bisa kita lakukan, seperti membaca Al-Qur’an, beri’tikaf, mendirikan salat malam, bersedekah, dan amal kebaikan lain, karena ibarat ‘event tahunan’, Allah memberi kita banyak bonus pahala di waktu yang terbatas ini. Tidak hanya pada siang harinya di saat berpuasa, tapi juga pada malam harinya.
Dari pengertian tersebut, saya ingin memaknai puasa Ramadhan dari perspektif waktu: bahwa Allah membatasi ibadah puasa ini dalam waktu yang relatif singkat dan terbatas, dan jika kita berusaha pahami lebih jauh, Allah menginginkan kita untuk bisa menghargai dan menghayati waktu yang singkat ini secara penuh. Jika kita sedikit saja mencoba menghayati puasa yang sedang dijalani, kita akan melupakan makan, minum, dan hal-hal yang bisa membangkitkan syahwat. Kita akan berusaha menghindari hal-hal yang tidak berguna, dan beralih pada hal yang memberi manfaat. Dengan demikian, secara tidak langsung, kita akan merasakan penghayatan dan konsentrasi yang lebih atas waktu yang sedang dijalani, atau mengalami ‘augenblick’¬,—meminjam istilah Martin Heidegger.
Dalam Sein und Zeit (Being and Time), Heidegger menjadikan waktu sebagai salah satu objek penelitiannya. Manusia sebagai dasein, adalah ‘subjek’ yang, alih-alih sekadar pasif ‘ada’ di dalam waktu, ia justru aktif mewaktu. Dasein yang eksis adalah ia yang menghayati waktu yang dijalaninya tanpa terbuang sia-sia. Walaupun ia sedang menunggu sesuatu, hendaknya ia menunggu dengan menikmati tiap-tiap detiknya dengan penuh kesadaran.
Seorang muslim pun hendaknya begitu; tidak seharusnya sekedar menunggu matahari terbenam untuk mengakhiri puasanya. Ia sebagai manusia yang eksis dan aktif, bisa memaknai puasa lebih dari sekadar menahan lapar dan haus; yakni bisa menjadikan waktu yang terbatas ini lebih bermakna dan otentik. Singkat kata, untuk meraih puasa yang otentik, kita perlu menyadari betul tiap waktu yang kita jalani di bulan puasa ini, dengan melakukan kebaikan dan sesuatu yang bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain.
Saya ingat betul, saya pernah menjalani puasa tanpa kesadaran penuh. Pada tahun 2021 misalnya, saya menjalani puasa di bulan Ramadhan kebanyakan dengan tidur. Musim pandemi yang baru saja lewat pada saat itu membuat saya terbiasa untuk tidak melakukan apa-apa. Hidup saya pada saat itu hanya berkutat pada tidur, buka puasa, begadang, dan sahur. Saya tidak berusaha menentukan ibadah atau kebaikan apa yang berusaha saya raih. Saya hanya menjadi dasein yang das gegenwartigen; hanya ‘hadir’ secara pasif, sehingga waktu di bulan yang lebih berharga dari apapun itu terlewat sia-sia. Mungkin yang saya dapat pada bulan itu hanya lapar dan haus belaka.
Ramadhan yang telah berlalu itu menjadi semacam refleksi bagi saya di Ramadhan kali ini sebagai die eigentliche gewesenheit; bahwa pada kenyataannya, cuma saya sendiri yang bisa melakukannya: tetap di sana sebagai manusia pasif yang larut dalam keseharian, atau manusia aktif, yaitu yang bisa mewaktu dengan penuh kesadaran. Alih-alih melupakannya dan membuang ia sebagai das Vergessen atau ‘keterlupaan’, lebih baik saya menggunakannya sebagai peranti untuk evaluasi. Dengan demikian, saya menggunakan kesadaran akan masa lalu saya sebagai refleksi untuk lebih menghayati masa kini, dan menentukan apa yang akan saya lakukan di kemudian hari.
Saya jadi teringat kata-kata dosen Filsafat Islam saya, Dr. Suhair, tentang penghayatan penuh atas suatu ibadah. Beliau pernah mengemukakan pertanyaan yang membuat saya, dan teman-teman sekelas termenung: “Mengapa Allah menggunakan diksi ‘wa aqomu ash-shalah’?” seisi kelas tak bisa menjawab. Beliau pun menjawab, ”Karena iqamah atau mendirikan itu sejatinya betul-betul berbeda dengan ada’ atau menjalankan belaka. Ada’ hanyalah sekadar menjalankan gerakan dan doa yang membuat salatmu sah secara hukum. Sampai situ saja. Berbeda dengan iqamah ash-shalah. Mendirikan salat melebihi sekedar gerakan dan doa: ia berupa pemaknaan yang membentuk akhlakmu, menghindarkanmu dari perbuatan yang buruk dan menjagamu dari perbuatan yang mungkar. Makanya, “inna ash-shalata tanha ‘an al-fahsya’ wal munkar”, salat itu menjagamu dari perbuatan buruk dan keji. Jika selama ini kamu rutin menjalani salat, tapi akhlak dan perbuatan burukmu lebih banyak daripada perbuatan baikmu, maka sebaiknya perlu direnungkan lagi, mungkin ada yang salah dari salatmu.”
Yang ingin saya garisbawahi dari perkataan beliau adalah nilai dan efek yang ditimbulkan dari penghayatan penuh atas ibadah. Jika mengambil dari perspektif Dr. Suhair yang menyatakan bahwa salat yang ‘otentik’ adalah salat yang bisa mempengaruhi perangai kita dalam kehidupan kita yang menyehari, seharusnya puasa Ramadhan juga bisa seperti itu. Penghayatan penuh atas Puasa di bulan Ramadhan lebih dari sekadar menahan haus dan lapar, dan seterusnya, dan seterusnya: ia seharusnya menjadi sarana penggemblengan jiwa untuk menghadapi hari-hari yang bergulir setelahnya, selepas bulan Ramadhan berlalu.
Sepeninggal bulan Ramadhan, kita hendaknya bisa menetapkan esensi puasa yang otentik itu dalam diri kita; mampu menundukkan hawa nafsu, memperbaiki akhlak dan perangai kita dengan menjaga lisan dan badan dari perkataan dan perbuatan yang sia-sia, dan lebih dari itu: menjalani kehidupan dengan penuh kesadaran dan penghayatan dalam tiap detik waktu yang bergulir dalam keseharian, sehingga kita bisa menjalani kehidupan yang lebih otentik, alih-alih hanya terlempar dan tenggelam dalam aliran waktu yang fana.
Allah SWT berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَلۡتَنظُرۡ نَفۡسٞ مَّا قَدَّمَتۡ لِغَدٖۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرُۢ بِمَا تَعۡمَلُونَ (الحشر : ١٨)
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Hasyr 59:18)
*Penulis adalah mahasiswa pascasarjana di Fakultas Ulum Al-Islamiyyah, Jurusan Aqidah dan Filsafat, Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Bercita-cita jadi seniman dan pemikir.
Penulis : M. Khairuman Wahhada
Editor : Dimas Dwi Gustanto