
Sangat banyak rangkaian penjelasan tentang keistimewaan bulan Ramadhan yang berceceran dalam kitab-kitab maupun kata-kata motivasi, dan dari sekian banyaknya motivasi beramal dalam bulan Ramadhan itu sendiri terkadang jiwa manusia hanya merasakan lapar dan dahaga saja.
Seberuntungnya seseorang menjalani ketaatan untuk beribadah dalam bulan Ramadhan yang benar-benar mempengaruhi jiwanya tampaknya tidak semuanya mendapati dua kesegaran. Kesegaran berbuka, dan kesegaran ketika bertemu dengan Rabbnya kelak. Dalam konteks bulan Ramadhan dengan segala keistimewaannya, serta puasa yang langsung dikatakan oleh Allah dalam qudsi-Nya “Setiap amal anak manusia adalah untuknya, kecuali puasa, sesungguhnya itu adalah untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya.” Terkadang hanya menjadi sampingan motivasi berpuasa dan beramal di bulan Ramadhan.
Syaikhul Akbar dalam tafsirnya yang setiap pembaca akan digiring dengan pemahaman hakikat ihsan, beribadah dengan bermusyahadah langsung kepada Allah, menjelaskan bahwasanya bulan Ramadhan adalah momen terbakarnya jiwa oleh cahaya hakikat ilahi sebab diturunkannya Qur’an sebagai cakupan seluruh ilmu-Nya secara global yang disebut juga sebagai aqlul qur’aniy pengantar pada maqaamul jam’i (kedudukan di sisi Allah yang menggabungkan pilar iman, islam dan ihsan).
Berbicara tentang puasa yang banyak sekali manusia lalai untuk menjaga mulutnya dari kalam rafats sehingga menghilangkan keistimewaan pahala berpuasa itu sendiri sampai dikatakan oleh Rasulullah hanya mendapatkan lapar dan dahaga saja, pun tidak serta merta menjadikan setiap orang yang berpuasa itu mengekang jiwa nafsunya untuk diam dan lebih digunakan untuk bertilawah.
1{ٱلَّذِیۤ أُنزِلَ فِیهِ ٱلۡقُرۡءَانُ هُدࣰى لِّلنَّاسِ}
yang disebut sebagai aqlul qur’aniy yang mengantar ke maqaamul jam’i mungkin hanya bisa dicapai manusia-manusia dengan predikat khawashul khawash. Bagaimana dengan manusia awam seperti kita para thalibil ilmi assyarif?
Disebutkan oleh Syaikhul Akbar, bahwa
2{وَبَیِّنَـٰتࣲ مِّنَ ٱلۡهُدَىٰ وَٱلۡفُرۡقَانِۚ}
adalah bukti yang bersambung pada maqaamul jam’i tersebut, sebagai perincian ilmu-Nya dalam tiga pilar iman, islam, dan ihsan. Yakni aqlul furqaaniy. Bahkan beliau menjelaskan, sesiapa yang sampai pada aqlul furqaaniy, di dalam bulan Ramadhan itu sejatinya sudah sampai pada maqam syuhud adz-dzaat maka hendaklah berpuasa. Dengan kata lain, Syaikhul Akbar menjelaskan bahwa setiap muslim yang berpuasa pada bulan Ramadhan, sejatinya sedang bermusyahadah kepada Allah. Alangkah indahnya. Namun ketika dikembalikan arti dari berpuasa itu sendiri, nampaknya banyak dari kita yang tidak lolos dari mengekang perkataan, maupun perbuatan yang tidak ada faidahnya.
Jauh panggang dari api, ibarat yang pantas kita sandang jika berkaca pada penjelasan Syaikhul Akbar tentang setiap yang berpuasa pada hakikatnya sudah mencapai maqaam syuhud adz-dzaat, alih-alih menyadari atas penyaksian dzat Allah, hati kita masih banyak diuji oleh penyakit jiwa yang menghijab dari penyaksian (syuhud) terhadap dzat. Atau kita dalam pola masih berjalan untuk menggapai maqaam tersebut maka selayaknya bagi kita adalah terus berjalan dan menjalankan puasa tersebut sebagai tangga yang sudah diketahui puncaknya, yakni maqaam syuhud adz-dzat tersebut. Meskipun kering dan hanya terasa lapar dan dahaga saja.
Dalam lanjutan ayat tersebut, di mana Allah menghendaki kepada umat manusia akan kemudahan (yakni kemudahan untuk sampai pada maqaam tersebut dengan bantuan-Nya serta Kuasa-Nya) serta tahu akan kelemahan dan kealpaan umat manusia untuk mencapai maqaam tersebut, manusia tetap diperintahkan untuk menuntaskan kewajiban berpuasa itu agar benar-benar sampai, dengan tetap mengagungkan Allah serta mengenali keagungan-Nya agar umat manusia itu bisa merasakan keistiqomahan bersyukur yang ada dalam kewajiban berpuasa hingga ia berbuka. Barulah setelah benar-benar menuntaskan kewajiban berpuasa, yang mana puasa adalah undang-undang syariat yang diwajibkan dan mempunyai faidah menghilangkan nafsu hewani yang mendominasi pada jiwa manusia, manusia bisa berbuka dengan merasakan dua kesegaran. Kesegaran ketika hilangnya lapar dan dahaga, serta kesegaran bermusyahadah dengan Rabbnya. Serta mendapati jatah dalam ayat
3{وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِی عَنِّی فَإِنِّی قَرِیبٌۖ أُجِیبُ دَعۡوَةَ ٱلدَّاعِ إِذَا دَعَانِۖ فَلۡیَسۡتَجِیبُوا۟ لِی وَلۡیُؤۡمِنُوا۟ بِی لَعَلَّهُمۡ یَرۡشُدُونَ}
Belum selesai dengan legitimasi kedekatan Allah dengan hamba-Nya, serta prerogatif-Nya tentang puasa, Syaikhul Akbar berpesan “Jangan sampai kalian menyisipkan sebuah dosa sementara kalian berpuasa, karena dosa sekecil apapun membatalkan (pahala) puasa kalian, sebab puasa itu untuk Allah, bukan untuk kalian, jangan berasumsi tentang sebuah amalan yang itu milik-Nya tetapi kalian justru tidak ridha jika itu tidak untuk kalian. Jadikan puasa kalian adalah sebaik-baiknya keadaan untuk bertemu dengan-Nya”Wallahu yatawallal jaami’a wa ri’aayatih”
Penulis : MH. Khodir
Editor : Dimas Dwi Gustanto