Oleh : Muhammad Awwabinhafizh
Di penghujung bulan Ramadhan tentunya kita harus memiliki sikap sedih sebagai orang muslim. Bagaimana tidak? Bulan ini disebutkan sebagai bulan yang penuh rahmat, pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, para setan diikat, serta terdapat di dalamnya satu malam yang nilainya lebih baik daripada seribu bulan, seperti yang diriwayatkan dalam sebuah hadits. Maka, bulan ini dijadikan oleh mayoritas umat islam sebagai ajang untuk taqarrub kepada Allah SWT.
Selanjutnya, para ulama sepakat, agar setiap muslim memiliki sifat roja’ dan khouf dalam menjalankan syari’at Islam. Meskipun, dalam pemakaiannya ada perbedaan, madzhab Imam Malik menganjurkan supaya lebih memperbesar sifat khouf daripada roja’ saat dalam keadaan sehat. Dan sebaliknya, jika dalam keadaan sakit ataupun keadaan sakaratul maut, maka dianjurkan untuk memperbesar sikap roja’nya. Sedangkan menurut madzhab Imam Syafi’I, menjadikan keduanya seimbang layaknya dua sayap dalam keadaan sehat ataupun sakit.
Setelah kita semua melakukan berbagai macam usaha untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT, maka di akhir bulan Ramadhan kita sebaiknya memiliki sifat roja’. Apa itu roja’? Yaitu, mengharapkan sesuatu yang ia sukai di masa yang akan datang dengan melakukan usaha untuk mengambil sebab-sebab terwjudnya keinginan tersebut. Usaha untuk mengambil sebab inilah, yang membedakan antara roja’ dan toma’.
Kembali lagi, berbicara tentang roja’, penulis ingin menyertakan dua bait Burdah karangan Imam Bushiri yang dapat kita ambil pelajaran bersama. Seperti yang kita ketahui, bahwa Imam Bushiri menuliskan qasidah Burdah saat terkena penyakit lumpuh yang tidak ada dokter pada zaman itu bisa menyembuhkan. Kemudian, dalam fasl-nya yang terakhir (fasl 10) Imam Bushiri menuliskan:
يا نفس لا تقنطي من زلّة عظمت
إنّ الكبائر في الغفران كاللمم
لعلّ رحمة ربّي حين يقسمها
تأتي على حسب العصيان في القسم
“Wahai Jiwa, janganlah putus asa karena dosa besar. Sesungguhnya dosa besar seperti halnya dosa kecil dalam kemungkinan diampuni oleh Allah.”
“Semoga rahmat Allah ketika dibagi-bagikan (pada hari akhirat), dibagikan sesuai ukuran kemaksiatan yang ia lakukan“
Bait pertama mengajarkan kepada kita, agar tidak pernah putus asa dalam mengharapkan rahmat Allah, mengingat rahmat-Nya yang begitu luas. Di sini juga dijelaskan, bahwa Allah dengan rahmat-Nya, memungkinkan untuk mengampuni dosa-dosa besar yang dilakukan oleh seorang muslim. Bait ini sekaligus menentang pendapat madzhab Mu’tazilah yang mengatakan bahwa, seorang muslim yang melakukan dosa besar akan kekal di dalam neraka, meskipun azabnya lebih ringan daripada seorang kafir (manzilah baina manzilatain).
Sedangkan bait kedua, menjelaskan harapan dari Imam Bushiri dalam mendapatkan rahmat-Nya di hari akhir nanti. Barang siapa yang mendapatkan dirinya kemaksiatan yang besar, akan mendapatkan rahmat (rahmat untuk menututpi kemaksiatan) dari-Nya yang besar pula. Begitu pula, jika ia melakukan kemaksiatan yang kecil. Atau dengan kata lain, rahmat yang didapatkan sebanding dengan kemaksiatan yang diperbuat.
Bagaimana Imam Bushiri berharap demikian, bukan lain karena rahmat Allah begitu luas dan tidak ada batasnya. Sebaliknya, kemaksiatan hanyalah bersifat sementara, ia akan berhenti setelah tidak adanya kehidupan di dunia. Juga, harapan besar Imam Bushiri ini sesuai dengan hadits Rasulullah SAW;
قال رسول الله صلّ الله عليه وسلّم : إنّ لله مئة رحمة يرحم بها عباده، وضع منها رحمة واحدة في الدنيا فبها يتراحمون و يتعاطفون حتّى إنّ البهيمة لترفع حافرها عن ولدها خشية أنْ تطأه و أخّر سبحانه و تعالى تسعا و تسعين رحمة يرحم عباده يوم القيامة (رواه مسلم)
editor: Muhammad Aulia Rozaq