oleh: Atina Husna
Ramadhan, merupakan salah satu bulan yang senantiasa dirindukan oleh umat islam. Suasana yang hangat dan teduh menjadikan ramadhan dirasa tepat sebagai momentum untuk refleksi diri dari segala pelik duniawi. Tak hanya itu, pernak-pernik yang meriah pun turut menghiasi jalanan atau rumah-rumah bahkan sejak jauh-jauh hari. Dilengkapi juga dengan berbagai ciri khas lainnya seperti makanan, minuman atau tradisi unik yang menambah kentalnya nuansa ramadhan khususnya di negara mayoritas muslim. Contohnya Mesir, terhitung kurang lebih sejak satu bulan menjelang Ramadhan kita sudah dapat melihat jajaran lampu fanus yang ditawarkan oleh penjual dalam bermacam bentuk. Semakin dekat dengan ramadhan, semarak itu semakin terasa ketika segala pernak-pernik mulai terpasang di jalanan dan pintu-pintu rumah. Nuansa itu bertambah hangat, ketika melihat umat muslim yang saling berlomba-lomba berbagi makanan untuk buka puasa atau biasa disebut maidatur rohman.
Lain halnya dengan Ramadhan di negeri-negeri minoritas, tak terkecuali di Jepang. Tidak ada yang membedakan antara Ramadhan dengan hari-hari biasa. Rutinitas berjalan seperti biasa, tanpa ada hiasan atau makanan khas yang menyambut Ramadhan. Mungkin akan sedikit beruntung bagi mereka yang bertempat tinggal dekat dengan masjid atau komunitas muslim, sesekali dapat merasakan buka puasa dan tarawih bersama ataupun menghadiri kajian-kajian keislaman yang diadakan oleh komunitas muslim setempat. Inilah yang dirasakan oleh Ima seorang Animator muda asal Indonesia yang bekerja di salah satu perusahaan animasi Jepang.
Jepang yang terkenal dengan disiplin waktunya, ditambah lagi pekerjaannya di bidang animasi membuat ia menjalani hari-hari ramadhan sama seperti hari biasanya. Walau tanpa dispensasi waktu kerja, Ima tetap enjoy dalam menjalani puasa. Justru padatnya kesibukan lah yang membuatnya lupa dengan waktu, sehingga tak terasa telah datang waktu berbuka. Dalam sehari ia bisa bekerja kurang lebih 8-9 jam, namun dunia animasi yang padat oleh deadline seringkali juga menuntutnya untuk lembur bahkan hingga akhir pekan. Padahal jika bulan ramadhan jatuh pada musim panas, maka waktu berpuasa bisa mencapai 17 jam, karena waktu siang yang lebih lama. Tapi, itu sama sekali bukan halangan baginya untuk tetap menjalankan apa yang sudah disyariatkan oleh agama.
Tak hanya puasa, tentunya ia juga melaksanakan shalat tarawih. Namun, karena tempat tinggal yang jauh dari masjid maka ia memilih melaksanakannya sendirian. Hal ini juga yang menjadi pertimbangannya agar bisa mengikuti shalat Id berjamaah di masjid. Butuh waktu sekitar satu jam berkendara untuk sampai di sana, oleh karena itu Ima mempersiapkan izin cuti jauh-jauh hari sebelum Hari Raya tiba. “Jepang tidak mengenal sesuatu yang dadakan.” begitu ujarnya. Bahkan ia harus izin maksimal sebulan sebelum hari cuti.
Banyak suka duka yang telah ia lewati, menjadi anak rantau yang jauh dari keluarga saja rasanya sudah sulit. Belum lagi perbedaan kultur dan budaya antar negara yang memaksa seorang anak rantau untuk lekas beradaptasi. Begitu pula dalam hal ibadah, khususnya umat islam. Keberadaan masjid yang bisa dihitung jari di setiap provinsi, menjadikan hal-hal seperti berwudhu di westafel ataupun minimnya tempat khusus untuk shalat menjadi sesuatu yang lumrah. Belum lagi sebagai seorang Muslimah yang juga berkewajiban mempertahankan hijabnya, tentu menjadi cerita tersendiri baginya. Namun, hal-hal tersebut tidak membuat semangatnya surut untuk beribadah, “Aku beribadah karena merasa aku butuh, aku butuh buat beribadah itu.” Ucapnya tegas.
Ramadhan selalu meninggalkan hikmah bagi siapa saja, ini pula yang dirasakan olehnya. Bahkan sudah sejak bulan Sya’ban ia mencium harum sukacita Ramadhan. Menurutnya puasa merupakan ajang refleksi diri di tengah padatnya rutinitas, ada kebahagiaan tersendiri manakala menjalaninya, “Ketika berbuka dan melepas dahaga, aku merasa ada ketenangan sendiri dalam jiwa. Karena puasa pun bukan hanya seputar menahan nafsu dari makan minum saja, tapi juga terkait psikis dan mental.” Ujarnya.
Selain berbagi cerita, Ima juga turut menuturkan harapannya di bulan Ramadhan ini “Walaupun hari-hariku tidak berbeda, tapi bulan Ramadhan lebih menampar aku dibanding bulan-bulan lainnya. Seperti ada dorongan dan bisikan, I must be better, and I must be happier then before.”. Karena, ia tidak memungkiri kesyukuran inilah yang menjadi kunci kebahagiaan di tengah padatnya rutinitas, selayaknya orang Jepang yang bahkan terkenal rentan dengan kebiasaan bunuh diri. “Dan pastinya kebahagiaan ini turut berdampak ke sekitar, dengan lingkungan kantor yang setiap individunya sibuk dengan isi kepalanya sendiri menjadi lebih tenang, karena tersalurkan oleh kebahagiaan dan ketenangan dari diri kita.” Lanjutnya lagi. Ia juga berharap semoga apa yang dijalaninya dari seluruh rangkaian ibadah dapat menjadi dakwah baik bagi dirinya sendiri atau orang lain. Ima hanya ingin berbagi dan mengenalkan kepada dunia khususnya Jepang bahwa Islam itu Indah.
Yups, Islam itu indah. Selalu ada hikmah dalam setiap ibadah yang disyariatkan. Di mana pun kaki kita berpijak, bagaimana pun dan siapa pun diri kita sudah sepantasnya untuk tidak lupa tujuan kita diciptakan.
editor: Muhammad Aulia Rozaq