(Edisi Spesial Ramadhan: Milad Al-Azhar ke-1082 Vol. 06)
Akhir-akhir ini dunia digemparkan dengan publikasi media terkait invasi Rusia terhadap Ukraina. Yang bahkan diperkirakan bisa mendorong terjadinya perang dunia ke-3. Ini bukan kali pertama dunia dihadapkan dengan permasalahan yang demikian. Problematika perdamaian seakan tak pernah usai.
Hal ini relavan dengan data yang ada. Menurut Global Index Peace 2020 tingkat rata-rata kedamaian negara global telah memburuk dengan 0,07%, ini merupakan penurunan kesembilan dalam 13 tahun terakhir. Tedapat 73 Negara yang mengalami penurunan perdamaian. Penurunan didorong oleh perubahan yang terjadi dalam: militerisasi, pengeluaran militer, serta keselamatan dan keamanan.
Tidak hanya itu, pergerakan-pergerakan yang bersifat radikalis serta ekstrimis masih sering kali pula terdeteksi. Pergerakannya memiliki kontinuitas yang bisa dikatakan stabil, baik secara terang-terangan ataupun sebaliknya. Paham-paham mereka mulai tersebar luas di masyarakat baik melalui media, seperti situs web, surat kabar, ataupun acara televisi. Bahkan mereka tidak segan untuk merambah ranah pendidikan, baik menyusup dalam kurikulum sekolah atau dari seorang oknum radikalis yang menyamar menjadi kontributor dalam dunia pendidikan. Ancaman teror pun juga gencar mereka gaungkan. Serangan di berbagai daerah tidak dapat dihindari. Korban-korban berjatuhan, serta kerugian menyeluruh dalam segala aspek.
Hal-hal semacam ini tidak bisa dianggap angin lalu begitu saja. Satu-persatu lembaga mulai menaruh perhatiannya pada masalah ini. Berbagai upaya di usahakan demi mencapai perdamaian dunia.
Begitupula yang dilakukan oleh Al-Azhar, sebuah lembaga yang eksistensinya tidak lekang oleh zaman. Berdiri lebih dari 1080 tahun yang lalu menjadikan usianya sudah lebih dari dewasa. Kiprahnya terhadap dunia sudah tidak diragukan lagi. Wujud-wujud kontribusi nyata baik dalam bidang pendidikan atau apapun itu semua berjalan selaras dengan kearifannya sebagai kiblat ilmu.
Dengan diresmikannya Observatorium Al-Azhar pada 3 Juni 2015 silam, menjadi salah satu pilar modernitas Al-Azhar dalam kontribusinya terhadap perdamaian dunia khususnya dalam penanganan radikalisme dan ekstrimisme. Dilansir dari laman al-ain.com, dalam acara peresmiannya Grand Syekh Al-Azhar, Ahmad Thayeb, menyampaikan tujuan didirikan observatorium tersebut bahwa Al-Azhar ingin mengadopsi visi modern baru serta ingin mendorong kader-kader muda yang mampu merespon budaya dan peradaban yang berbeda. Orang-orang yang bertanggung jawab atas pekerjaan ini dipilih dari mereka yang fasih berbahasa asing, peneliti di bidang ilmu forensik, dan mampu memahami permasalahan dari perspektif Islam. Sehingga mampu membedakan yang buruk dari yang baik dalam pondasi sesuai pilar-pilar yang ada dalam agama yang murni ini.
Beliau juga menyampaikan bahwa ide pendirian observatorium ini sebagai mata Al-Azhar untuk melihat apa yang terjadi di dunia serta untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang datang mengenai pendapat Al-Azhar terhadap isu-isu kontemporer dan perkembangan yang terjadi di berbagai tempat khususnya dalam Islam dan Muslim.
Sejak didirikannya, observatorium sendiri telah menerima lebih dari 200 kunjungan pejabat tinggi, kepala negara, menteri, delegasi lokal maupun asing, dan juga peneliti yang peduli dengan bidang ekstrimisme dan terorisme dari berbagai negara di dunia. Selain itu observatorium juga telah mengeluarkan lebih dari 25.000 laporan berkala baik harian, mingguan, dan bulanan. 2.100 diantaranya di laman media sosial dan 2.350 di portal elektronik Al-Azhar. Sedangkan jumlah publikasi dalam bahasa asing mencapai sekitar 3.300 berupa media cetak dan 2.625 diunggah melalui portal elektronik sebagaimana dilansir dari alwafd.news.
Mekanisme kerja dalam observatorium ini terbagi menjadi 13 unit yang bekerja dalam bahasa Arab dan asing. Diantara tugas para peneliti adalah mengoreksi kesalahpahaman, menghilangkan kecurigaan yang disebarkan oleh kelompok teroris, serta menghadapi fenomena “Islamophobia”. Pusat penelitian ini sendiri bekerja dalam 12 bahasa yang mana dari setiap unit mengeluarkan artikel, tindak lanjut, berita, ataupun pesan kesadaran untuk dipublikasikan dalam bahasa masing-masing. Bahasa-bahasa tersebut adalah Inggris, Prancis, Jerman, Spanyol, Urdu, Persia, Swahili, Cina, Italia, Ibrani, dan tentunya yang terakhir adalah bahasa Arab.
Perlu menjadi catatan bahwa Observatorium Al-Azhar juga turut berpartisipasi dalam Pameran Buku Internasional Kairo ke-53 dengan sejumlah publikasi yang dicetak dalam bahasa Arab dan asing, Mengutip gate.ahram.org.eg buku-buku yang diterbitkan tersebut diantaranya: “Pelanggaran Terhadap Rakyat dan Kesucian Palestina”, “Realitas Jihad dalam Islam, Ekstrimisme, dan Ciri-ciri Kepribadian Ekstrimis”, “Kilasan Terang Sejarah Islam di Cina”, “Bangkitnya Islamofobia di Eropa”, “Dokumen Persaudaraan Kemanusiaan”, dan “Ujaran Kebencian di Media Global”.
Berbanding lurus dengan misinya untuk menegakkan wasatiyatul ummah Al-Azhar mengambil jalan tengah terbaik yang dapat kita lihat secara gamblang. Contohnya saja dalam menghadapi hal-hal yang berkaitan dengan intelektual atau hukum, Al-Azhar khususnya obeservatorium berusaha menjawab dengan proporsi yang tepat agar dapat dipahami berbagai kalangan. Tidak hanya intelektual, namun juga umat non-muslim dan masyarakat awam. Pemaparan tersebut tidak hanya berhenti dalam pemaparan ayat-ayat Al-Qur’an, hadis nabi, ataupun narasi-narasi keagamaan lainnya, namun juga memaparkan bagaimana cara memahaminya dengan baik, menghadapinya, juga memproyeksikan dalam kejadian nyata sehari-hari. Termasuk dalam realitas perubahan dan lingkungan serta budaya yang berbeda-beda. Hal-hal tersebut yang menjadi cermin kemoderatan Al-Azhar sendiri dengan pembaharuan yang logis dan seimbang memberikan kita kejelasan tujuan dalam gaya yang lebih sederhana serta lebih mudah diterima oleh khalayak. Seperti tujuan didirikannya, observatorium hadir tidak hanya ditujukan kepada orang Islam, tetapi untuk manusia seluruhnya dari berbagai daerah dan budaya yang berbeda. Oleh karena itu, dirasa sangat perlu merangkum segala sesuatunya dalam diksi yang lebih sederhana dengan tetap berlandaskan ilmu syariah dan akal yang seimbang.
Berangkat dari kontirbusi dan upaya Al-Azhar di atas, sudah cukup menjadi bukti akan kemoderatan Al-Azhar tanpa mengecilkan nilai-nilai keagamaan. Melainkan sebaliknya, justru nilai-nilai keagamaan inilah yang melandasi Al-Azhar dalam segala misinya. Dari sini pula kita bisa melihat bahwa bukan hanya dunia yang memandang Al-Azhar. Tetapi juga Al-Azhar memandang dunia. Perhatian Al-Azhar begitu besar dalam segala aspek kehidupan manusia. Kasih Al-Azhar kepada dunia abadi sepanjang masa. (Atina Husna/ Mahasiswi Universitas Al-Azhar Jurusan Psikologi)