(Edisi Spesial Ramadhan: Milad Al-Azhar ke-1082 Vol. 05)
Budaya perdamaian merupakan pilar peradaban yang harus senantiasa dijaga dari masa ke masa. Lenyapnya perdamaian menandakan lenyapnya rahmat di atas muka bumi, dan hilangnya rahmat menandakan bahwa umat Islam sedang kehilangan kendali akan substansi ajaran Islam itu sendiri. Mengapa demikian? Karena Nabi Muhammad SAW diutus untuk membawa rahmat bagi alam semesta. Bahkan, Islam tidak hanya melarang aksi terorisme dan kekerasan, sekedar menukut-nakuti yang dilakukan untuk bergurau dan bercanda pun dilarang.
Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ أَشَارَ إِلَى أَخِيْهِ بِحَدِيْدَةٍ فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَلْعَنُهُ حَتَّى يَدَعَهُ وَإِنْ كَانَ أَخَاهُ لِأَبِيْهِ وَأُمِّهِ (رواه مسلم)
“Barang siapa yang mengacungkan besi kepada saudaranya, sesungguhnya malaikat melaknatnya hingga ia meninggalkannya,meskipun itu kepada saudara seayah dan seibunya” (H.R. Muslim) [1].
Dalam hadits lain disebutkan:
لاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يُرَوِّعَ مُسْلِمًا (رواه أبو داود)
“Tidak dihalalkan bagi seorang muslim untuk menakut-nakuti muslim lainnya” (H.R. Abu Daud) [2].
Al-Azhar sebagai benteng keilmuan dan mercusuar peradaban yang telah mengawal umat dari masa ke masa tentu memiliki beban moral untuk mengambil sikap dan tindakan yang mampu memadamkan kobaran kebencian dan permusuhan di Barat dan Timur. Harus diakui bahwa saat ini kita sedang berada dalam situasi yang banyak mengorbankan umat Islam. Hal ini dikarenakan hilangnya pandangan maqashid yang tentu saja menggelisahkan dunia ijtihad. Di samping itu, krisis ini juga disebabkan munculnya fatwa impor dalam bentuk kemasan lintas negara tanpa memperhatikan kondisi masyarakat yang memiliki perbedaan adat-istiadat, budaya, dan bahasa.
Dengan demikian, Al-Azhar telah menyiapkan kader-kader yang kredibel dengan membentuk para imam di luar negeri dengan memberikan penyuluhan kepada mereka tentang permasalahan yang bersinggungan dengan kebutuhan kaum muslim dalam berbagai bidang. Mereka juga telah diberikan pelatihan melalui seminar-seminar yang diselenggarakan oleh Ikatan Alumni Al-Azhar Internasional di Kairo, yaitu sebanyak 538 imam dari Afghanistan, Pakistan, Kurdistan, Iraq, Cina, Indonesia, Inggris, Yaman, juga negara-negara Afrika dan Amerika Selatan [3].
Teror yang dalam banyak kesempatan menggunakan topeng agama serta datangnya dukungan dari politik-politik gelap internasional dengan jumlah uang yang berlimpah, telah mendorong Dewan Cendekiawan Muslim untuk bekerja sama dengan Al-Azhar dengan mengirimkan delegasi perdamaian ke berbagai negara dunia [4]. Hal ini bertujuan untuk mengenali kondisi kaum muslimin di negara-negara tersebut dan menyebarkan Fikih Perdamaian di antara mereka, serta berkontribusi dalam menjaga mereka dari teror yang sama sekali tidak mempedulikan perlindungan, dan kasih sayang.
Misi menghidupkan Fikih Perdamaian telah menjadi pintu pertolongan untuk menyelamatkan umat manusia secara umum, dan umat islam pada khususnya dari bahaya teror dan bencana ekstrimisme bersenjata.
Ketetapan hakikat secara teoritis yang bersumber dari berbagai referensi dalam akidah Ahlussunnah wal Jama’ah, merupakan metode yang dianut Al-Azhar dalam penyelenggaraan pendidikan dan pembentukan pengajaran di institut yang berusia tua ini. Lembaga ini diwarnai dengan corak pemikiran yang seimbang, serta perpaduan intelektualitas yang komprehensif guna mewujudkan persatuan umat islam selama mereka bersatu menghadap satu kiblat.
Prof. Dr. Ahmad At-Thayyeb selaku Syaikhul Azhar senantiasa memperhatikan kurikulum diktat fakultas-fakultas di Universitas Al-Azhar, agar para mahasiswa terbiasa berinteraksi dengan berbagai teks para imam dari berbagai madrasah pemikiran dan aliran ijtihad [5]. Oleh karena itu, spirit moderatisme telah tertanam teguh dalam diri mereka guna membendung kecenderungan fanatisme, ekstrimisme, dan sempitnya pandangan yang dapat menggerogoti tubuh umat.
Hal ini berdasarkan peringatan Rasulullah SAW melalui sabdanya:
يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِيْ الدِّيْنِ ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ الْغُلُوَّ فِيْ الدِّيْنِ (رواه ابن ماجه)
“Wahai Manusia! Jauhilah sikap berlebih-lebihan (ekstrem) dalam beragama, karena kaum sebelum kalian telah musnah disebabkan sikap berlebih-lebihan dalam beragama” (HR. Ibnu Majah) [6].
Pemahaman terhadap upaya-upaya yang dilakukan Al-Azhar dalam membangun hubungan kemanusiaan, tidak akan terwujud dalam bentuk yang benar kecuali jika ia telah berdamai dengan dirinya sendiri dan dengan Allah SWT. Jika rasa damai ini telah sempurna, maka ia akan berpengaruh positif terhadap hubungannya dengan yang lain. Dengan kata lain, jika hati dan iman telah menyatu, maka buahnya adalah adanya interaksi yang baik dengan orang lain, karena Islam meminta pemeluknya agar mampu beradaptasi dengan baik [7].
Kehidupan yang harmonis dapat terwujud dengan cara memberikan pendidikan hati dan nilai-nilai agama. Bersatunya iman dan kasih sayang dalam diri seseorang, akan membentuk pribadi-pribadi tangguh yang menjadikan masyarakat seperti bangunan kokoh yang saling nenguatkan satu sama lain. (Fatias Risantara Akbar/ Mahasiswa Universitas Al-Azhar Jurusan Syariah Islamiyah)
[1] H.R. Muslim, No: 2616.
[2] H.R. Abu Daud No. 5004 dari sekelompok sahabat Nabi Saw., Al-Munawi berkata dalam “Al-Taysir bin Syarh Al-Jami’ As-Shaghir”: 2/504: “Sanadnya Hasan”.
[3] Pidato Grand Syaikh tentang Toleransi dan Peradaban, jilid 1, hal. 13.
[4] Ibid, hal. 89.
[5] Ibid, hal.19.
[6] H.R. Ibnu Majah, No: 3029.
[7] Prof. Dr. Mahmud Hamdi Zaqzuq, Manusia dan Norma dalam Perspektif Islam, hal. 62.