Jika kita melewati lorong yang memisahkan jalan ke Masjid Sayyidina Husein dan Maidan Al-Azhar kita akan dibawa ke deretan toko-toko yang melekat pada sebuah bangunan. Toko-toko ini menjual beberapa pernak-pernik, rempah-rempah, buku-buku, mushaf Al-Quran, pakaian, bahkan daging hewan. Tapi jika kita mau melihat ke atas dan keseluruhan bangunan itu, sebenarnya bangunan itu bukan hanya deretan toko-toko.
Bangunan yang berseberangan dengan gerbang Utara Masjid Azhar ini merupakan kumpulan dari Masjid Abu Dzahab Bek. Dibangun oleh Muhammad Bek Abu al-Dzahab, seorang sultan Mamluk yang memerintah Mesir dari 1772 sampai 1775, yaitu di antara pemerintahan tuannya Ali Bek al-Kabir dan dua sultan Mamluk yang memerintah secara bersamaan, yaitu Murad Bek al-Qazdughli and Ibrahim Bek.
Menurut sejarawan, al-Jabarti, Muhammad Bek dikenal dengan Abu al-Dzahab karena dia membagi emas secara gratis tanpa menghitungnya kepada orang-orang miskin sepanjang jalan dimana berkendara sampai memasuki rumahnya. Muhammad Bek dikenal dengan nama ini, karena belum ada satu pun sultan sebelumnya yang membagikan emas secara suka rela.
Hingga ia dikenal sebagai orang yang tidak menaruh sesuatu di kantongnya kecuali emas, tidak memberi kecuali emas, tidak menggengam kecuali emas, dan dia berkata, “Aku Abu Dzahab.” Dari sinilah masjid ini dikenal dengan nama Masjid Abu al-Dzahab. Dzahab dalam Bahasa Indonesia berarti emas.
Masjid yang dibangun pada tahun 1774 ini dikenal sebagai pusat kegiatan keagamaan. Selain itu Masjid Abu Dzahab juga membantu Masjid Al-Azhar dalam menyebarkan ilmu pengetahuan pada masa itu. Al-Azhar sangatlah sibuk dan dipenuhi dengan jumlah murid yang terus bertambah dari penjuru dunia. Sehingga kekurangan tempat untuk menjalankan kegiatan ilmiah. Terlebih pada masa pemerintahan Dinasti Utsmaniyyah, khususnya setelah runtuhnya Baghdad di tangan Mongol, jatuhnya Andalusia, serta mundurnya Universitas Zaitunah di Tunisia dan Universitas Karaouiyn di Maroko setelah datangnya kolonialisme barat.
Hal ini dibuktikan dengan adanya madrasah di dalam Masjid Abu Al-Dzahab, serta beberapa syekh yang mengajar di Al-Azhar juga mengajar di sini. Seperti Syekh Ali Al-Sha’idi. Syekh Ahmad Al-Dardir, Syekh Hasan Kafrawi, Syekh Abdurrahman Al-‘Arisyi, dan masih banyak lagi.
Selain madrasah juga terdapat perpustakaan dengan 650 buku dari berbagai ilmu, dan takiya atau tempat tinggal orang-orang sufi dari Turki. Di selatan masjid juga terdapat sabil, yaitu tempat untuk minum bagi para musafir, pelajar, maupun binatang.
Sesuatu yang sangat menarik, masjid ini menggantung dan melekat dengan beberapa toko-toko di bawahnya dari sisi timur dan utara masjid. Di pintu timur terdapat tangga melingkar, sedangkan terdapat tangga dari marmer warna-warni untuk naik ke pintu Utara dengan tulisan di atasnya.
أمير اللواء أنشأت لله مسجدًا عليه بهاء العز جل الذي وهب
لك الفوز فيه بالثواب مؤرج لقد حاز الطاف القبول أبو الذهب
Sayangnya sekarang masjid ini sudah tidak digunakan lagi untuk shalat maupun tempat belajar dikarenakan mengikuti berubahnya sistem Al-Azhar dari masjid untuk kuliah, banyaknya pelajar yang dahulu tinggal di ruwaq kini pindah ke asrama dan rumah-rumah di sekitar Al-Azhar.
Bangunan ini kini hanya menjadi saksi bisu bahwa sedari dulu Al-Azhar membludak dengan banyaknya pelajar dari seluruh dunia. Masjid Abu Dzahab telah banyak digunakan membantu Masjid Al-Azhar dalam mencetak ulama-ulama hebat di masa lalu. (Tri Wi Farma/ Mahasiswa Universitas Al-Azhar Jurusan Peradaban)
Sumber:
Abdurrahman Al-Jabarti. ’Ajaibu al-Atsar fii al-Tarajim wa al-Akhbar. Bulaq: 1938.
Ali Mubarak. Al-Khuthath al-Taufiqiyyah. Bulaq: 1305.
Caroline Williams. Islamic Monuments in Cairo. Kairo: The American University in Cairo Press. 2018.
Su’aad Mahir Muhammad. Masajidu Misr wa Auliya`aha al-Shalihuun, Jilid 5. Kairo: Majlis al-A’la li al-Syuun al-Islamiyyah 2014.