(Edisi Spesial Ramadhan: Milad Al-Azhar ke-1082 Vol. 03)
Memasuki 1082 tahun sebagai kiblat ilmu pengetahuan, Al-Azhar tetap eksis mengawal perkembangan zaman dalam bidang kelimuan. Selain sebagai kiblat ilmu pengetahuan, al-Azhar juga terkenal dengan wakafnya. Karena wakafnya itulah, Al-Azhar dijadikan tonggak perwakafan dalam bidang pendidikan.
Sistem perwakafan menjadi salah satu faktor dari maju dan bertahannya suatu lembaga. Untuk itu, mengetahui bagaimana Al-Azhar dalam sistem perwakafan dan penerapannya adalah sesuatu yang perlu dikaji. Di sini penulis akan mencoba membahas secara singkat bagaimana Al-Azhar dan wakafnya dalam bidang pendidikan dan pengajaran.
Perekonomian Al-Azhar menuju ke sistem perwakafan dialami secara bertahap. Saat berdirinya, pemasukan keuangan masjid Al-Azhar didapatkan dari Daulah Fathimiyah, seperti halnya masjid-masjid lainnya. Ketika masuk kepemimpinan khalifah kedua Daulah Fathimiyah, Al-Aziz Billah, halaqah keilmuan diadakan dengan saran dari Ibnu Kilis. Adapun keuangan Al-Azhar saat itu didapatkan dari infaq pribadi Khalifah dan Perdana Menteri, baik untuk para muridnya, tempat tinggal, sandang pangan, serta hal-hal lain yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pengajar dan murid.
Masuk ke pemerintahan Khalifah ketiga -Hakim bi Amrillah- sistem perwakafan mulai diterapkan agar keuangan yang masuk ke Al-Azhar bisa terus menerus berputar dan tidak tergantung dengan seorang khalifah. Sejak itulah Al-Azhar menganut sistem perwakafan sebagai masjid dan tempat belajar-mengajar di Daulah Fathimiyah.
Terkait wakaf pertama al-Azhar, Dr. Abdul Aziz Muhammad al-Sinawy dalam bukunya Al-Azhar Jami’ wa Jami’ah, mengutip dari Maqrizi dalam bukunya Al-Khothoth, menjelaskan mengenai piagam wakaf bahwa Hakim bi Amrillah memberikan sebagian hartanya sebagai wakaf –tertulis di pembukaan piagam-. Yaitu diwakafkan untuk tiga masjid: pertama Al-Azhar, yang kedua Masjid Rasyidah, dan yang ketiga Masjid Muqish, kemudian disusul dengan Dar Hikmah. Piagam tersebut dikeluarkan ketika bulan Ramadhan tahun 400 H (sekitar 18 April – 17 Mei 1010 M).
Wakaf tersebut berupa harta yang tetap, seperti tanah pertanian, pasar, dan lain sebagainya. Harta yang telah diwakafkan tersebut tidak diperjualbelikan, namun dikelola agar terus berputar dan hasilnya kembali ke Al-Azhar sendiri. Dari Al-Azhar untuk Al-Azhar dan umat Islam. Akhirnya keuangan berputar secara terus-menerus tanpa bergantung pada seseorang yang menginfakkan hartanya.
Sistem tersebut diterapkan Al-Azhar sepanjang perjalanannya hingga saat ini kecuali ketika Daulah Ayyubiyyah, yaitu ketika Al-Azhar ditutup dan menghentikan wakafnya untuk menepis penyebaran madzhab Syiah. Sejak saat itulah sistem keuangan dan perputaran ekonomi Al-Azhar tidak terbatas dari seorang Khalifah atau perdana menteri yang menyokong keuangannya. Melainkan dari pemilik harta tetap yang mewakafkan pada Al-Azhar secara umum untuk dikelola, atau secara khusus diberikan kepada para pengajar, murid, atau halaqah dan ruwaq tertentu.
Sistem perwakafan tersebut dikelola oleh para qudhat, atau sekarang ini dikenal sebagai menteri. Tak lain seperti Al-Azhar saat ini yang telah dikelola oleh Kementerian Wakaf Mesir. Wakaf berkembang pesat, tak hanya diterapkan oleh Al-Azhar, melainkan Mesir pun mengembangkan dan mengelola wakaf secara produktif. Wakaf berkembang pesat ketika pemerintah Mesir menerbitkan Undang-undang No. 80 Tahun 1971 yang mengatur pembentukan Badan Wakaf Mesir yang khusus menangani masalah wakaf dan pengembangannya, berserta struktur, tugas, tanggung jawab dan wewenangnya. (ZISWAF, Vol. 4 No. 1, Juni 2017).
Setelah dipaparkan bagaimana sejarah dan permulaan sistem perekonomian dan wakaf al-Azhar secara singkat, kita bisa melihat sekilas gambaran sistem perwakafan dalam bidang pendidikan dan pengajaran sebagai penunjang keduanya.
Eksistensi Al-Azhar dalam bidang perwakafan dan keilmuannya tidak disempitkan dalam bentuk harta yang tetap seperti tanah pertanian, pasar atau toko dan lain-lainnya. Melainkan wakaf dimaknai secara luas sebagai gaya hidup dalam segala lini pendidikan. Selain perputaran keuangan yang mandiri atau ekonomi proteksi, wakaf tercerminkan hampir di setiap lini Al-Azhar, baik wakaf harta, tenaga, ide atau gagasan.
Harta tetap yang merupakan wakaf tersebut –seperti tanah dll- dikelola hingga berputar terus menerus hingga memiliki perekonomian yang mandiri. Hasilnya dikelola dan kembali pada lembaga itu sendiri, bahkan kembali kepada umat Islam. Begitupula seorang guru, telah mengajar dengan ikhlas, ia telah mewakafkan tenaga, ilmu atau ide untuk kesejahteraan umat dengan ilmu yang ia sampaikan pada muridnya. Begitupula ide dan gagasan dari seseorang yang mengelola sistem pengajaran dan pendidikan tersebut pun termasuk wakaf, wakaf ide dan gagasan. Wakaf yang berasal dari diri umat tersebut akan kembali ke umat dan bahkan kebermanfaatannya akan menyebar lebih luas dan terus menerus. Begitulah sekiranya kita mampu mengambil pelajaran dari al-Azhar.
Tapi bukan berarti, belajar di Al-Azhar itu sesuatu yang murah dan bisa kita remehkan. Akan tetapi termasuk hal mahal, karena ukuran mahal dan murahnya suatu hal bukan hanya pada harta/ materil yang dibayarkan atau tidak. Disebut mahal karena kualitas kelimuan dengan guru yang mempunyai otoritas di bidangnya melimpah ruah dan tinggal kita memilihnya. Karena sesuatu yang berkualitas bukanlah hal yang murah. Itu hal Mahal. Itulah wakaf al-Azhar yang telah membantu kita belajar, melalui sistem perwakafan dalam bidang pendidikan dan pengajaran yang meringankan beban para penuntut ilmu, terlebih para mahasiswa rantau. Wallahu a’lam bi al-showwab. (Ummu Maghfiroh/ Mahasiswi Universitas Al-Azhar Jurusan Sastra Arab)