
Menjalani keseharian sebagai mahasiswa Universitas Al-Azhar Kairo tentu membuat kita turut menikmati segala hal yang ada pada Mesir.
Pancaindra yang ada pada diri kita pun tidak terlewatkan ikut merasakannya, Telinga kita barangkali tidak lagi asing dengan suara dan bunyi keramaian kota Kairo, bunyi klakson yang menemani tiap perjalanan, bahkan siulan khas ‘Zagrudah” yang disenandungkan penduduk Mesir sebagai bentuk kegembiraan dan sukacita. Hidung kita barangkali tidak lagi asing dengan aroma kota Kairo, termasuk harum wewangi yang menguar dari dupa yang dibakar. Lidah kita barangkali tidak lagi asing dengan kuliner kota Kairo, berbagai sajian murah yang disajikan pedagang ramah, dan kusyari yang oleh mahasiswa seperti saya seringkali dicari-cari. Kulit kita barangkali tidak lagi asing dengan tekstur Kairo, pasir yang sering menyelinap di sandal kita, juga debu yang kerap kali menempel di kulit wajah kita, lembut kasarnya kita cukup mengenalnya. Dan, mata kita pun barangkali tidak lagi asing dengan pemandangan warna-warni Kairo, warna-warni yang barangkali tidak seindah pelangi, tapi cukup membuat kita merindukan Kairo berkali-kali.
Warna Kairo dan Buuts
Di Kairo kita melihat bagaimana warna yang mendominasi Kairo adalah warna coklat muda, tentu yang paling kentara adalah bangunannya –meskipun tidak jarang mobil-mobil yang terparkir lelap di pinggiran jalan Kairo juga berwarna coklat– pertama kali menyadari hal itu, saya bertanya kepada diri sendiri, “eh, kok coklat semua ya?”
Selanjutnya muncul beberapa asumsi pribadi yang barangkali berusaha menjawab pertanyaan tadi, barangkali memang ada peraturan dari pemerintah setempat untuk kompak serempak mewarnai seluruh bangunan dengan warna coklat muda, barangkali cat warna coklat muda adalah yang paling murah harganya sekaligus paling mudah dijangkau pengelola bangunan di Kairo, hingga asumsi kalau sebenarnya tidak semua bangunan awalnya berwarna coklat, namun karena badai pasir yang rutin mampir, warna-warna dasar itu kini tertutup warna pasir, coklat muda. Sehingga berbagai asumsi terus bermunculan, tapi rasa-rasanya belum ada yang cukup untuk menjadi jawaban.
Namun untuk semua warna-warna di Kairo, saya belakangan menyadari warna-warni Madinatul Buuts memiliki perbedaan. Bangunan-bangunan di Madinatul Buuts mayoritas berwarna senada yakni warna dominan coklat muda plus dengan sentuhan krem di beberapa bagian, juga di beberapa sudut di antara bangunan-bangunan tersebut, mudah mata kita temukan kaligrafi yang menghias, ditambah dengan warna-warni alami yang diberikan oleh tumbuhan-tumbuhan di taman-taman dan pepohonan yang turut mewarnai Madinatul Buuts, seolah memiliki energi, energi yang menular begitu saya merasakannya. Rasanya mirip dorongan energi yang anda dapatkan dari meminum soda dingin di tengah musim panas Mesir.
Kekuatan Warna
Pernahkah kalian merasa betapa lebih mudahnya bangun di pagi hari yang cerah dibanding bangun pagi di hari yang mendung?
Pernahkah kalian terpikirkan sesuatu yang sesederhana warna bisa mendatangkan perubahan yang barangkali tidak pernah kita pikirkan sebelumnya?
Edi Rama memenangkan penghargaan sebagai Wali Kota Terbaik tahun 2004 atas keberhasilannya yang menakjubkan dalam merestorasi Tirana, ibu kota Albania, hanya dalam empat tahun setelah ia terpilih. Tirana yang diwariskan ketika Edi Rama mulai menjabat adalah kota yang hancur akibat puluhan tahun kediktatoran yang menekan, dan kehabisan sumber daya akibat puluhan tahun kekacauan, Tirana telah menjadi surga bagi kriminalitas dan korupsi yang terorganisir sejak 1900-an. Edi Rama ketika itu adalah seorang pejabat yang berpendidikan seniman, dia menggambar sendiri desain pertamanya, memilih warna-warna cerah serta mencolok sebagai pemutus kemurungan dari pemandangan kota. Sebenarnya tidak ada yang berubah di Tirana, kecuali di permukaannya saja, seperti sentuhan warna merah dan kuning, hijau zamrud di sana-sini. Namun hanya dengan itu segalanya berubah, kota itu jadi hidup, bersemangat. Berenergi. Bersukacita.
Ketika pertama kali membaca cerita tentang Tirana, saya terkesima dengan keajaibannya. Ternyata sesuatu sesederhana warna mampu mendatangkan perubahan yang begitu dramatis. Setelah itu, saya menyadari cerita tersebut selaras dengan pengalaman yang saya alami selama hidup di Kairo dan tinggal di Madinatul Buuts. Kemudian saya memikirikan cerita itu dengan sudut pandang yang saya bagikan di bagian akhir artikel ini.
Kita sering memikirkan energi sebagai sesuatu yang datang dari apa yang kita konsumsi, seperti suntikan tenaga dari kopi atau lapisan gula pada kue. Namun, terkadang energi di sekeliling kita memang memengaruhi energi di dalam kita. Seperti yang dikatakan pelukis jerman, Johannes Itten, “warna adalah bagian kehidupan, karena dunia tanpa warna tampak mati bagi kita.” Inti dari estetika energi adalah getaran yang membuat kita tahu bahwa lingkungan sekitar kita ini hidup dan dapat membantu kita untuk tetap tumbuh.
Meski kita jarang memikirkan hubungan antara warna dan perasaan, rasanya mustahil untuk memisahkan keduanya. Bahkan tidak jarang bahasa kita mempertemukan keduanya. Kita menggambarkan suasana hati kita cerah atau sebaliknya, mendung. Di hari yang sedih, mungkin awan yang gelap menyelubungi kita, atau kita hanya merasa agak kelabu. Dan ketika semuanya berjalan baik-baik saja, kita mengatakan hari kita secerah sinar matahari pagi di permulaan hari. Kita bisa “melihat segala sesuatu dalam cahaya gelap” atau “melihat sisi terangnya”. Meski makna berbagai warna bisa berbeda tergantung budaya, tapi warna cerah adalah sebuah dimensi yang dipahami secara universal sebagai sukacita.
Jika warna-warna terang mengangkat energi kita, tidak mengejutkan bahwa orang-orang bersedia mengeluarkan banyak usaha demi mendapatkan warna cerah yang mereka inginkan. Suku Diyari dari Aborigin Australia dikenal melakukan ziarah tahunan dengan berjalan kaki untuk mengumpulkan pigmen tanah kuning kemerahan dari sebuah tambang di Bookartoo, suatu perjalanan pulang-pergi yang ditempuh barangkali melewati ratusan kilometer. Ada banyak tambang tanah kuning kemerahan di sepanjang area itu, tetapi Suku Diyari menginginkan warna yang paling terang berkilau, untuk digunakan dalam ritual mewarnai tubuh mereka.
Bahkan sekarang ini, warna masih terus menginspirasi perjalanan-perjalanan manusia. Seperti orang-orang melakukan perjalanan puluhan bahkan ratusan kilometer dari Kairo untuk menemukan warna biru laut dan sepaket pemandangan warna-warna suasana pantai yang mereka dambakan. Baru-baru ini saya turut belajar bahwa energi dapat berasal dari hal sesederhana warna-warni yang menghidupkan benda mati, warna-warni yang hangat seolah memancarkan sinar matahari yang kita sukai, dan –mungkin hanya perasaan saya saja—juga sedikit optimisme untuk menjalani hari.(Hilmi Ghifaria/Syariah wal Qonun tk.3)