Mendedah Esensi Puasa Ramadan dalam Bingkai Medis
oleh: Ainul Mamnuah
Seperti yang kita ketahui bersama, bulan yang kita tunggu-tunggu kehadirannya telah tiba. Bulan mulia yang akan menaungi kita semua, bulan di mana Allah SWT akan menambah pahala dan karunia, serta di mana Allah SWT akan membukakan pintu-pintu kebaikan bagi manusia yang mendambakannya, yakni bulan Ramadhan. Bulan Ramadhan merupakan bulan yang mewajibkan umat muslim untuk berpuasa sebagai bentuk ketaatan hamba terhadap Tuhannya.
Sebagaimana yang kita pahami, bahwa diciptakannya manusia di bumi tidak lain ialah untuk beribadah kepada Allah SWT. Oleh karena itu, nilai dan martabat manusia sangat ditentukan oleh kapasitas peribadatannya. Setiap peribadatannya pun memiliki nilai pembentukan moral, dan moral inilah nilainya bagi manusia. Misalnya, berpuasa di bulan Ramadan. Puasa merupakan bentuk dari ibadah yang berguna untuk membina moral seorang hamba. Tersebab puasa yang dilakukan selama satu bulan penuh ini sangat efektif untuk pembinaan moral dan karakter manusia tersebut, apabila dilaksanakan secara ikhlas dan dengan niat semata-mata karena Allah SWT.
Selain sebagai pembinaan moral dan pembentukan karakter manusia, puasa juga memiliki banyak hikmah lain yang bisa kita temukan. Baik itu untuk kesehatan fisik, maupun untuk kesehatan mental spiritual (psikis). Maka, dari sini penulis akan mencoba mendedah bagaimana puasa itu bisa memberikan manfaat terhadap kedua hal tersebut—kesehatan fisik dan mental spiritual.
Tidak bisa dipungkiri jika puasa itu bisa membuat fisik menjadi lemah dan tidak berdaya. Namun, jika ditinjau secara mendalam dari segi kesehatan fisik, maka akan kita temukan banyak manfaat di dalamnya. Seperti halnya sabda Rasulullah SAW, ‘’Berpuasalah kamu, niscaya kamu akan sehat’’. Perihal manfaat puasa terhadap kesehatan fisik pun dapat dibuktikan secara ilmiah, walaupun harus menahan makan dan minum sekitar 12-24 jam.
Apabila seseorang lapar, perutnya akan memberikan refleks ke otak secara fisiologis. Dengan adanya pemberitahuan ke otak tersebut, otak akan merespon dan memerintahkan kelenjar perut untuk mengeluarkan enzim pencernaan. Zat inilah yang kemudian menimbulkan rasa nyeri, terkhusus bagi penderita mag. Sementara bagi orang yang berpuasa rasa sakit tersebut tidak muncul, tersebab otak tidak memberikan perintah kepada kelenjar perut untuk mengeluarkan enzim tersebut.
Meninjau dari penelitian medis, berpuasa terbukti dapat memberikan kesempatan bagi organ pencernaan untuk beristirahat, baik sistem enzim maupun hormon. Dalam keadaan tidak berpuasa, sistem pecernaan dalam perut akan terus aktif mencerna makanan, sehingga tidak sempat beristirahat, ampas yang tersisa pun menumpuk dan bisa menjadi racun bagi tubuh. Adapun ketika tubuh dalam kondisi berpuasa, sistem pencernaan akan beristirahat dan memberikan sel-sel tubuh untuk memperbaiki diri, terutama bagian pencernaan.
Dr. Muhammad Al-Jauhari seorang guru besar dari Universitas Kedokteran di Kairo mengatakan, bahwa puasa dapat menguatkan pertahanan kulit, sehingga dapat mencegah penyakit kulit yang disebabkan oleh kuman-kuman besar yang masuk dalam tubuh manusia. Dalam buku karya Imam Musbikin yang berjudul “Rahasia Puasa” dijelaskan, bahwa puasa juga bisa menghindarkan kita dari potensi terkena serangan jantung, karena kemampuan mengendalikan diri saat berpuasa akan memutus terjadinya peningkatan kadar hormon katekholamin dalam darah.
Dari sini kita dapat menyimpulkan, bahwa kondisi tubuh saat berpuasa itu merupakan keadaan pengistirahatan kinerja organ-organ tubuh, supaya tubuh manusia tersebut tetap stabil. Di lain sisi, kesehatan tidak hanya terkait tentang fisik namun juga bisa terkait dengan kesehatan mental spiritual. Puasa pun bisa berperan sebagai sarana efektif untuk memperbaiki jiwa-jiwa yang hampir terjerumus dalam lubang-lubang kemungkaran serta menyucikan diri dari segala dosa. Dalam artian, puasa dapat mengangkat seseorang yang telah berkubang dalam maksiat menuju fitrahnya sebagai manusia.
Selain itu, puasa dapat menjadi sarana untuk latihan, supaya seorang hamba mampu mengendalikan diri, menyesuaikan diri, serta sabar terhadap dorongan-dorongan atau rangsangan agresivitas yang mucul dari dalam diri manusia. Menurut Prof. Dr. H. Dadang Hawari seorang Psikiater Indonesia serta dosen di fakultas kedokteran Universitas Indonesia mengatakan, bahwa dalam setiap diri manusia terdapat naluri berupa dorongan agresivitas yang bentuknya bermacam-macam, seperti agresif dalam hal emosional, misalnya mengeluarkan kata-kata kasar, tidak senonoh, dan menyakitkan hati orang lain.
Oleh karena itu, salah satu ciri dari jiwa yang sehat yakni terletak pada kemampuan seseorang dalam mengendalikan diri. Pengendalian diri ini sangat penting terhadap kesehatan jiwa, sehingga daya tahan mental dalam menghadapi berbagai stres atau gangguan kehidupan meningkat karenanya. Tersebab saat berpuasa, kita banyak berlatih perihal kemampuan menyesuaikan diri terhadap tekanan tersebut dan hasilnya kita akan menjadi pribadi yang lebih sabar dan tahan terhadap berbagai tekanan kehidupan.
Walhasil, puasa Ramadan selama sebulan penuh ini memiliki banyak hikmah atau manfaat yang terkandung di dalamnya. Di mana hikmahnya tidak hanya berputar tentang hal-hal yang berbau tasawuf atau nilai-nilai agama, namun juga menjamah lingkar medis.
Editor: Muhammad Aulia Rozaq