Mengapa Kami Berbuka dengan Darah?
Mengapa Kami Berbuka dengan Darah?
Oleh: Mohammad Ghibran Alwi
Sinar pagi jatuh lembut dalam pelukan reruntuhan bangunan Rafah. Darah yang mengering kian terlihat di ujung puing-puing. Hari demi hari, matahari kian merasa bersalah untuk kembali terbit di langit Rafah, sebab, sinarnyalah yang justru membuat raut-raut penderitaan semakin jelas. “Salahkah aku?” pikir matahari, mungkin.
Terdengar alunan merdu Al-Qur’an dari depan tenda yang menenangkan, suara gadis itu menerbangkan jiwa menuju dimensi yang berbeda dari dunia ini, tenang dan damai. Jangan kasihani kami, kami tak butuh belas kasihanmu! Kami adalah pejuang yang tangguh. Jika memang tak ada yang bisa kau lakukan, setidaknya, tengadahkan doa kepada Sang Pemilik Tanah ini dan berbaiksangkalah bahwa kami akan merdeka, suatu saat nanti, meskipun entah kapan.
Matahari mulai meninggi. “Yoseph, oper bolanya ke sini!” seruku sambil berlari ke arah depan gawang mencari celah. Hamparan tanah di samping reruntuhan dekat tenda itu cukup luas, hingga bisa kami jadikan tempat bermain bola untuk 5 lawan 5.
Yoseph adalah teman sebayaku, di umur yang masih 12 tahun dia harus kehilangan kedua orang tuanya. Hal yang memilukan mungkin untuk orang-orang di belahan bumi yang lain. Namun, entahlah, kami sudah sangat terbiasa dengan keadaan seperti ini. Tentu saja kami sedih, tiada hari yang kami lewati tanpa kesedihan. Namun, dunia tetap bergerak, kami harus terus kuat bertahan, setidaknya untuk hidup sampai esok hari, hari dimana kami menyambut bulan suci penuh berkah.
“Goooll!!” teriak Yoseph setelah melihat umpan darinya berhasil kukonversikan menjadi gol.
Kedua orang tuanya meninggal saat mengantre dalam pembagian tepung. Para warga yang bertarung dengan kelaparan dipaksa untuk mengantre kantong-kantong tepung, saat semuanya berkumpul di satu titik, mereka diledakkan.
Apa yang salah dari mencari tepung? Apakah dengan kami memakan roti dari tepung-tepung itu lantas membuat bala tentara mereka tewas? Tidak kan. Kami hanya lapar. Itu saja.
Barangkali, itu adalah tepung termahal yang pernah ada dalam sejarah umat manusia, di mana satu tepung seharga setidaknya 150 orang tewas dan 1000 orang luka-luka.
“Tentara-tentara!” teriak salah satu bapak di depan tenda.
Belum selesai aku berselebrasi atas gol yang membalikkan kedudukan timku pada kemenangan, segerombolan tentara menggunakan mobil tentaranya melintas. Formasi tim berantakan, semuanya kembali ke tenda. “Ah sialan, mengganggu orang main bola saja!” ujarku dalam hati, tentu dengan perasaan panik, karena siapa yang tahu kapan mereka akan menembak?
Suasana mencekam seperti ini sudah berlangsung sejak 155 hari yang lalu. Sudah lebih dari 30 ribu orang syahid dalam pembantaian ini. Tujuan kami saat ini hanyalah bertahan hidup. Kami sudah berpuasa sejak dua bulan yang lalu. Dengan datangnya bulan Ramadhan, setidaknya kelaparan kami menjadi lebih berarti.
Juga, tak akan pernah aku lupakan seumur hidupku, bagaimana adik dari Husein, teman sebayaku, yang mati dalam keadaan kelaparan dan kurang gizi. Bayangkan, mati karena kelaparan! Sesuatu yang pasti tak pernah terbesit di pikiranmu tentang keadaan kau meninggal. Rahangnya tinggal tengkorak dan terbujur kaku. Mirisnya, aku melihatnya dalam keadaan seperti itu saat aku ingin mengambil jatah roti yang terbuat dari adonan yang dicampur dengan pakan ternak. Alhamdulillah aku masih hidup hingga saat ini dari serangan musuh, kelaparan dan kedinginan.
Namaku Ahmad. Aku asli Gaza dan tumbuh di sana, sebelum tanah kami dirampas dan kami dipaksa untuk mengungsi di Rafah sekarang. Pengungsi yang berada di Rafah kini lebih dari 1,2 Juta. Tinggal di tenda-tenda berbahan plastik di tengah reruntuhan bangunan. Bahkan adonan roti yang dicampur dengan makanan ternak menjadi barang mewah hanya untuk melanjutkan hidup. Listrik tak ada, air hanya dua botol minum sehari, itupun kami bagi-bagi untuk wudhu, minum dan mandi. Sekedar main bola pun tak bisa.
Aku cukup beruntung karena bisa selamat dalam perjalanan ke Rafah bersama kedua orang tuaku dan satu adik perempuanku. Berbeda dengan Yoseph yang kini hanya hidup berdua dengan kakak laki-lakinya. Oh iya, Yoseph adalah seorang kristiani. Aku sering diajak ke gereja, karena pastur di tempat dia biasa beribadah sering membagi-bagikan jajanan untuk anak kecil. Hidup senasib menjadikan persaudaraan kami terasa tanpa sekat, saling bahu-membahu untuk bisa bertahan hidup.
“Ahmad! Ke sini, ada makanan!” Teriak ibuku dari tenda sebelah sambil melambai-lambaikan tangannya bersemangat. “Ajak Yoseph sekalian,” tambahnya.
Tak terasa langit kian meredup. Senja yang berkilau mulai pamit undur diri. Ramadhan telah ditentukan, besok kami puasa, yang artinya malam ini kami akan melaksanakan sholat tarawih berjamaah.
“Thola’al badru alaina…” Anak-anak seusiaku berkumpul dan merayakan datangnya bulan Ramadhan. Pemuda yang memakai topi khas Turki itu memandu kami melantunkan nasyid sembari membagi-bagikan permen. Bendera-bendera Palestina dengan ukuran kecil-kecil dipasang. Semuanya bergembira, seolah lupa bahwa kami sedang bergembira di atas reruntuhan.
Dengan penerangan seadanya dan satu pengeras suara, kami melaksanakan shalat tarawih. Ayahku yang menjadi imam. Suaranya lembut, membacakan ayat “Syahru ramadhanalladzi unzila fiihil qur’an….” Beberapa terisak saat memasuki ayat “wa idza saalaka ‘ibãdi ‘annii fainnii qoriib, ujiibu da’watad-daa’i idza da’aan, falyastajiibuu lii wal yu’minuu bii la’allahum yarsyuduun.”
Aku hanya berdoa untuk bebasnya tanah kelahiranku dari penjajahan. Aku tak tahu sama sekali soal politik maupun perang, yang aku tahu, aku tak bisa lagi melanjutkan sekolah. Sekolahku telah dihancurkan. Sebagian teman-teman kecilku telah tiada. Sebagian tertimpa reruntuhan, sebagian langsung mati di tempat saat dilepaskan rudal-rudal mereka.
Meskipun hidup dalam suasana yang sangat mencekam, tapi setidaknya kami masih memiliki iman yang bisa kami pegang hingga nafas ini berhenti nanti.
***
“Ahmad, Ahmad, bangun, yuk sahur.” Ayahku membangunkanku. Perapian kecil untuk merebus air dengan punggung ayahku adalah pemandangan pertama setelah aku keluar dari tenda pengungsian.
“Ini, minum air hangat dulu, dingin kan?” kata Ayah sambil memberikan segelas air putih hangat. Aku mengangguk sambil meraihnya.
Kami bertahan di musim dingin tanpa jaket-jaket tebal yang mahal, apalagi penghangat ruangan, bahkan ruangan saja kami tak punya. Angin yang berhembus sangat menusuk hingga ke tulang-tulang. Beberapa hari yang lalu aku bertanya ke salah satu jurnalis di sini yang aku sudah akrab dengannya, namanya Kak Sherin, tentang berapa derajat suhu waktu itu dan kenapa dingin sekali? Dia menjawab 10 derajat. Pantas saja dingin sekali.
Tapi kabar baiknya kami masih memiliki iman yang kokoh, sebaik-baiknya pelindung. Dan air hangat adalah pelindungku kali ini.
“Yah, kenapa kita harus hidup seperti ini?” tanyaku memecah keheningan. Ayahku menghampiriku setelah mematikan perapian itu.
“Seperti ini bagaimana yang kamu maksudkan?” Tanyanya balik.
Aku membiarkan suasana lengang sejenak, sambil memikirkan diksi paling baik yang bisa aku ucapkan. “Kaya, aku main bola saja harus takut sama tentara, kita kedinginan karena tidak punya dinding yang kokoh, aku melihat sendiri adik Husein meninggal dalam keadaan seperti itu. Padahal sekarang adalah bulan di mana umat Islam bergembira, tapi kenapa kita bergembira saja tidak boleh?” Sial, mataku tiba-tiba basah. Pandanganku mengabur.
Ayahku mengelus pundakku, lalu mencium keningku, memberiku kekuatan. Entah, mungkin sisa kekuatannya yang ditransfer ke dalam diriku, semoga kekuatannya tak habis.
“Ini makan dulu, Ahmad,” ibuku tiba-tiba menghampiri kami sambil membopong beberapa roti dan sayuran untuk sahur. Ia lalu duduk di sampingku. Dua manusia yang sangat aku cintai duduk menghimpitku.
“Semoga Allah selalu memberikan kita kekuatan untuk menghadapi ini, Nak. Dialah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong.”
Alih-alih menjawab pertanyaanku, ia justru berdoa, menyerahkan pertanyaanku kepada Sang Maha Pelindung. Kini giliran ibu yang mencium keningku dan memelukku. “Allahummarhamhuma,” batinku.
***
Setelah sholat ashar, tiba-tiba di depan tenda ramai dengan jurnalis-jurnalis yang sedang meliput keadaan Rafah saat ini. Ada Kak Sherin juga disana. Anak-anak dikumpulkan untuk diajak bermain bersama mereka, tak terkecuali aku bersama Yoseph dan Husein juga.
Setelah beberapa game yang dipandu oleh para jurnalis itu, lalu Kak Sherin bersama satu jurnalis yang membawa kamera menanyai kami tentang cita-cita kami. Sebuah pertanyaan yang mungkin sangat sering ditanyakan kepada anak-anak. “tapi memangnya kami boleh untuk memiliki cita-cita?” pikirku spontan.
“Apa cita-cita kamu?” tanya Kak Sherin kepada Yoseph.
“Aku ingin menjadi pemain sepak bola profesional seperti Ronaldo!” Jawabnya antusias sambil ‘tos’ dengan kakak kameramen.
“Kenapa pemain sepak bola?”
“Karena aku suka sepak bola,” jawabnya polos. Kak Sherin hanya geleng-geleng melihat tingkahnya.
Lalu ada gadis kecil yang menghampiri Kak Sherin yang langsung disambutnya dengan pelukan. Aku perkirakan dia masih 5 tahunan.
“Dimana ayahmu?” tanya Kak Sherin.
Gadis itu terdiam sejenak. Matanya tiba-tiba berlinang, tak bisa ditahan lagi.
“Ayahku di surga,” jawabnya sambil tersenyum kecil, tentu masih dengan mata yang berlinang.
“Ayahmu di surga? Lalu bagaimana kamu menjalani harimu? Cerita ke Kakak.” Kak Sherin mengelus kepala gadis itu.
“Aku tinggal dengan adik laki-lakiku.” Jawabnya sambil menunjuk ke arah tenda.
“Kenapa kamu bersedih? Kamu pengen apa?”
“Aku ingin semuanya,”
“Bilang lagi coba?”
“Aku rindu roti putih, aku rindu semuanya. Mainanku di rumah sudah tertimbun reruntuhan,”
Kini giliran Kak Sherin yang terisak. Ia peluk erat-erat gadis itu. Tangan gadis itu menggenggam erat tangan Kak Sherin, sepertinya ia ketakutan, mengharap kekuatan.
Gadis itu lalu menarik tangan Kak Sherin menuju tenda adiknya. Bahkan ia meninggalkanku yang belum ditanya tentang cita-citaku.
Sinar senja menyelimuti bumi. Mungkin 15 menit lagi adzan maghrib. Meja-meja kecil di depan tenda-tenda pengungsian disiapkan untuk berbuka. “Ayah sama ibu mau mengantre makanan untuk buka puasa dulu ya, kamu di sini saja tunggu.” Kata ayahku sambil mengelus kepalaku lalu meninggalkanku.
Aku dan anak-anak lainnya sedang mengulang hafalan juz 30 didampingi orang-orang dewasa yang rata-rata mereka hafal Al-Qur’an.
“Yaa ayyatuhannafsul muthmainnah, irji’ii ila rabbiki radhiyatan mardhiyyah, fadkhulii fii ‘ibaadi, fadkhulii jannatii” (Al-Fajr 89: 27-30)
Buuummmmm
Tanah yang kuinjak bergetar. Semuanya panik keluar dari tenda. Namun, dari tenda kami asal suara rudal itu.
Buuumm buumm
Tiga kali suara rudal jatuh dan ledakan itu memekakkan telinga. Orang-orang berbondong-bondong memeriksa asal suara yang ternyata berasal dari titik dimana orang-orang berkumpul untuk mengantre makanan.
Naluriku bergemuruh, hatiku tak kuasa untuk melihat para korban, tapi otakku mencundangiku untuk tetap mencari yang barangkali di antara korban itu ada yang aku kenal.
Dadaku berdegup kencang sekali, air mataku tak terbendung lagi melihat darah dan jasad para korban yang tergeletak akibat ledakan itu, hingga pandanganku tertuju pada satu arah. Jasad orang sangat aku kenal, sangat aku cintai, ayah dan ibuku.
“Ibuuu!! Ayaaahh!!” Teriakku yang keluar begitu saja tanpa kuperintah.
Aku berlari sekuat tenaga menghampiri, tapi tiba-tiba orang-orang dewasa mencegahku dan membopong jasad mereka berdua. Ketakutanku selama ini akhirnya menjadi kenyataan juga. Padahal kalau boleh, aku berharap kalau aku saja yang lebih dulu meninggalkan mereka. Kak Sherin yang menemukanku langsung memelukku dengan isakannya.
“Allahuakbar allaahuakbar.” Suara adzan berkumandang. Buka puasa pertama kami yang sudah ditunggu-tunggu justru penuh dengan darah.
Malam itu, kami sholat maghrib berjamaah, diteruskan dengan sholat jenazah di hadapan para syuhada’. Pemandangan inilah yang kulihat setiap hari. Kepada siapa kami mengadu jika bukan kepadamu ya Rabb?
Aku akan tetap melanjutkan hidupku, meski tanpa kedua orang tuaku, seperti anak-anak Palestina yang lainnya. Kalau kebanyakan orang berpikiran tentang nanti berbuka dengan apa, pikiran kami setiap hari hanyalah, “Apakah aku bisa berbuka puasa nanti?”
Aku menceritakan ini semua bukan untuk dikasihani. Aku tak butuh itu, karena aku yakin aku berada di jalan yang benar dan suatu hari nanti bangsaku pasti akan terbebas dan merayakan hari raya idul fitri dengan megah di Masjid Al-Aqsa. Justru imanmulah yang harusnya kamu kasihani. Dengan segala kemewahan, kemudahan, kebebasan dan segalanya, justru tak ada ruang untukmu bersyukur. Lupa caranya sujud dan bahkan berdoa untuk saudaramu pun tak sempat. Apa yang akan kau jawab jika ditanya oleh Allah tentang saudaramu yang sedang dibantai? Apakah setidaknya mereka ada di setiap doa di lima waktumu? Atau bahkan untuk berdoa saja kamu tak sempat?
Aku akan tetap hidup, di antara hidup dan matiku, dengan iman yang akan kubawa sampai ke hadapan Tuhan meskipun nyawa sebagai taruhan. Kami pasti akan menang.
Dari saudaramu, di tanah Palestina, tanah yang segera merdeka.
Editor: Gaza Satria Lutfi