FPIB © All rights reserved
FPIB
  • Home
  • Blog
  • Info
    • Badal Rusum Iqomah
    • Contoh Surat-surat dan Agazah
    • Ijroat Adventure Minhah Khoriji
    • Ijroat Adventure Minhah Dakhili
    • Taqdim Minhah Bu’uts
  • About
Join Grup
FPIB
Join Grup

Khazanah Islam

Home / Blog / Khazanah Islam
25Mar

Memaksimalkan Amal Di Bulan Suci

Maret 25, 2023 buutsfpib Khazanah Islam 1

oleh: M. Fikri Hasan Abdullah

bismillahirrahmanirrahim, alhamdulillahil karimil l-manān munzilil Qur’an fī atammil l-bayān. As-Sholatu al-Mashubah bissalām ‘alal habīb al-‘adzomi sayyidina Muhammadin wa ‘ala ālihi washahbih.

Kedatangan bulan suci Ramadhan adalah hal yang sangat dinantikan oleh umat Islam sedunia karena penuh akan keberkahannya. Akan tetapi apakah kawan-kawan tahu bahwa tidak semua orang mendapatkan keuntungan dengan datangnya bulan Ramadhan.Ya, memang pada bulan suci ini syaithan-syaithan akan dibelenggu, namun tetap saja begitu banyak orang yang lalai dan tetap pada kebiasaan buruknya.

Di suatu saat Rasulullah SAW sedang menaiki mimbar, banyak di antara para sahabat mendengar Rasulullah SAW mengucapkan amin sebanyak tiga kali, sehingga membuat para sahabat yang kala itu hadir merasa heran akan hal itu, Rasulullah SAW menjawab bahwasannya malaikat Jibril AS mendoakan tiga hal dan Rasulullah SAW mengamininya, salah satu dari doa-doa tersebut ialah “celakalah serta merugilah orang yang mendapatkan bulan Ramadhan namun hingga bulan Ramadhan selesai ia tidak mendapatkan ampunan Allah”. Oleh karena itu, sudah semestinya setiap muslim memaksimalkan ibadahnya dan menjadi lebih produktif saat berada di bulan Ramadhan.

Banyak kisah para ulama terdahulu bagaimana mereka menggunakan waktu mereka di bulan Ramadhan, seperti Imam Syafi’i yang biasa mengkhatamkan Al-Qur’an setiap hari sebanyak dua kali, dan ada juga yang mengkhatamkannya di sholat malam, dan masih banyak lagi kisah para ulama terdahulu di bulan suci Ramadhan. Seringkali kita merasa malas atau merasa tidak mampu untuk memaksimalkan ibadah kita di bulan Ramadhan.

Maka untuk menyiasatinya Rasulullah SAW sudah memberikan resep yang tepat bahkan untuk yang merasa tidak sanggup beribadah seperti para ulama generasi terdahulu, Rasulullah SAW bersabda:

(أحب الأعمال إلى الله أدومها و إن قل (صحيح مسلم

Dari hadits tersebut kita memahami bahwa yang lebih penting untuk diprioritaskan dalam sebuah aktivitas produktif adalah kontinuitas. Dalam hal ini Syaikh Abdul Aziz Asy-Syahawi pernah menasihati bahwa seseorang akan mendapatkan hasil yang diinginkan dari wiridnya jika ia mendawamkannya. Hal serupa juga seringkali kita dengarkan dari para penghafal qur’an, motivator, atlit, pelaku bisnis, dan juga elemen masyarakat lainnya bahwa kontinuitas itu sangat penting untuk diperhatikan jika kita menginginkan goal tertentu.

Namun kita juga seringkali menginginkan untuk segera bisa beramal sebanyak amal para pendahulu umat. Hal ini dirasa wajar karena manusia diberikan jiwa berlomba serta ingin menjadi yang paling baik, namun kita perlu menyadari bahwa para ulama memperbanyak amalan mereka bukan hanya sekali atau dua kali tapi sudah menjadi kebiasaan dalam keseharian mereka.

Jadi akan lebih efektif jika meriyadhahi serta melatih diri untuk memperbanyak ibadah secara rutin dimulai dari memaksimalkan ibadah fardhu kemudian ditambah ibadah-ibadah sunnah yang bisa kita lakukan dengan berkesinambungan kemudian kita tambahkan porsi ibadah-ibadah sunnah secara berkala agar kita mampu mendawamkannya.

Para ulama terdahulu terbiasa mempersiapkan diri untuk memasuki bulan Ramadhan jauh-jauh hari sebelum datangnya bulan Ramadhan dengan tujuan mampu memaksimalkan ibadah di Bulan Ramadhan, yang mana amal ibadah wajib dilipatgandakan menjadi tujuh puluh kali ibadah wajib di luar Ramadhan dan amal ibadah sunnah dilipatgandakan seakan-akan ia adalah ibadah fardhu di luar Ramadhan sebagaimana riwayat yang dinukil imam Ibnu Syahin dalam Fadha’il Syahri Ramadhan.

Semua yang tertera diatas hanyalah bagaimana kita berikhtiar untuk memaksimalkan Ramadhan, Adapun hakikatnya siapapun yang mampu beribadah dengan baik adalah karena taufiq Allah semata.

Imam Ibrahim Al-Laqqani dalam jauharahnya mengatakan:

و خالق لعبده و ما عمل ۞ موفق لمن أراد أن يصلو خاذل لمن أراد بعده ۞ و منجز لمن أراد وعده

Allah SWT berfirman:

وَلَوْلَا فَضْلُ ٱللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُۥ مَا زَكَىٰ مِنكُم مِّنْ أَحَدٍ أَبَدًا وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ يُزَكِّى مَن يَشَآءُ ۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Juga Allah SWT berfirman:

وَقَالُوا۟ ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ ٱلَّذِى هَدَىٰنَا لِهَٰذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِىَ لَوْلَآ أَنْ هَدَىٰنَا ٱللَّهُ

Jadi di samping memaksimalkan ikhtiar kita sangat perlu bersyukur atas apa yang Allah berikan dari kemampuan untuk beramal serta memperbanyak doa, memperkuat keyakinan dan memperbaiki prasangka kepada Allah SWT.

editor: Muhammad Aulia Rozaq

Read more
23Mar

Tiga Derajat Orang Berpuasa, Begini Kata Imam Al-Ghazali

Maret 23, 2023 buutsfpib Khazanah Islam 3

Oleh: Muhammad Aulia Rozaq

Ramadhan merupakan bulan yang sangat dinantikan oleh umat Islam di seluruh belahan dunia. Bagaimana tidak? Di bulan tersebut pahala dilipatgandakan, pintu neraka ditutup rapat, pintu surga dibuka luas, dari orang yang biasa saja di bulan-bulan lainnya, tiba-tiba berubah menjadi orang yang rajin beribadah, yang paling ajib, ada sebagian orang yang berkelakuan bak Abu Jahal, tiba-tiba berubah menjadi orang yang paling rajin dan taat beribadah.

Kendati demikian, Ramadhan tidak boleh hanya dipandang sebagai euforia saja, ia harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Berbicara mengenai amal sholeh, hal yang harus diutamakan tentunya amal ibadah puasa itu sendiri, sebab banyak orang lalai dan tidak memperhatikan shaumnya, sehingga ibadahnya hanya menghasilkan lapar dan dahaga saja. Pahalanya digerogoti dosa-dosa, sejak terbit fajar diisi oleh ghibah, mencela, dan lain sebagainya. Hingga terbenamnya matahari yang tersisa hanyalah lelah, haus, dan lapar saja.

Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengetahui derajat orang yang berpuasa guna mengukur diri, sejauh mana kita berpuasa? Dan harus seperti apa kita berpuasa. Dalam hal ini, Imam Al-Ghazali menuliskan bab khusus dalam kitabnya Ihya ‘Ulumiddin dengan tajuk “Fi Asrāris s-Shaum wa Syurūthul l-Bāthinah” [Penjelasan mengenai Rahasia-rahasia Shaum dan Syarat-syarat Samarnya]. Beliau menyatakan bahwa orang yang berpuasa terbagi menjadi tiga derajat. Pertama, shaumul l-‘umūm (puasa orang pada umumnya), yakni menahan perut dan kemaluan dari melakukan perbuatan yang didasarkan pada syahwat.

Kedua, shaumul l-khusūs (puasa orang tertentu) yaitu menahan pendengaran, penglihatan, lisan, tangan, kaki dan seluruh anggota tubuh dari perbuatan-perbuatan dosa.

Ketiga, shaumu khusūsul l-khusūs (puasanya orang paling khusus dan tertentu), maka puasanya orang-orang ini adalah puasanya hati dari hasrat-hasrat yang hina dan pikiran-pikiran duniawi, mencegah hati dari selain Allah secara menyeluruh, dan puasanya orang-orang ini batal ketika memikirkan sesuatu selain Allah, dalam artian memikirkan sesuatu yang bukan karena Allah dan cenderung menyebabkan keterikatan hati seorang hamba pada selain dari-Nya. Jenis puasa ini adalah puasanya para Nabi, Shiddiqīn, dan para Muqorrobīn.

Adapun puasanya orang-orang shalih adalah jenis puasa yang kedua, yaitu puasanya orang tertentu, mengapa demikian? Sebab tidak semua orang berpuasa mampu mencapai derajat ini. Imam Ghazali kemudian melanjutkan bahwa kesempurnaan dalam derajat yang kedua ini terdiri dari enam perkara.

Pertama, ghadul l-bashar (menundukan pandangan) baik bagi laki-laki ataupun perempuan, serta mencegah meluasnya pandangan pada sesuatu yang tercela dan dibenci, dalam hal ini termasuk juga pandangan pada sesuatu yang menyebabkan hati sibuk dan berpaling dari mengingat Allah.

Kedua, menjaga lisan dari ocehan-ocehan, berbohong, ghibah, adu domba, perkataan keji, perkataan kasar, permusuhan dan debat kusir. Maka dalam hal ini diwajibkan diam, dan diwajibkan pula untuk menyibukkan diri dengan dzikir dan tilawah Al-Qur’an.

Ketiga, mencegah pendengaran dari menyimak sesuatu yang tidak bermanfaat dan tidak disukai Allah.

Keempat, mencegah sisa anggota tubuh dari perbuatan-perbuatan dosa, semisal tangan dan kaki dari perbuatan yang tidak disukai Allah, mencegah perut dari syubhat ketika berbuka puasa, sebab tidaklah bermakna puasa jika bersahur dengan yang halal namun berbuka dengan yang haram.

Kelima, memperbanyak makan makanan yang halal ketika berbuka puasa, sebab dengan memakan makanan yang halal, puasa orang tersebut akan menjadi berkah dan menjadi sebab tercapainya ridho Allah SWT.

Keenam, terakhir, agar hatinya selalu bergantung kepada Allah setelah berbuka puasa, – maksudnya – hendaknya dia menggantungkan hatinya kepada Allah dengan diisi dengan harapan dan ketakutan akan kebesaran Allah SWT, seraya berkata “Apakah puasaku ini diterima oleh Allah? Ataukah puasaku ini ditolak sebab aku tergolong pada golongan yang dimurkai?”

Demikian pembahasan Imam Al-Ghazali mengenai derajat orang yang berpuasa, dari sini kita bisa mengukur harus seperti apa kita berpuasa, Cukupkah hanya dengan menahan dahaga dan lapar? Atau kita berjuang dan berjihad pada hal yang melebihi kedua itu, yakni menjaga diri dari setiap perkara dosa agar dapat mencapai ridho-Nya semata.

editor: redaktur

Read more
01Okt

Kupas Tuntas Arsitektur dan Kisah di balik Qal’ah; Benteng Salahuddin Al Ayyubi/ Saladin Citadel

Oktober 1, 2022 buutsfpib Info, Khazanah Islam 19

Sebenarnya kita tak perlu jalan-jalan jauh untuk bisa menyaksikan situs-situs bersejarah Islam yang berada di Mesir ini, di dalam kota Kairo sendiri terdapat banyak sekali peninggalan yang mengandung unsur sejarah dari segi arsitektur maupun kisah di baliknya. Jika kalian berjalan ke arah Sayyida Aisyah atau makam Imam Syafi’i, tentu kita akan melihat sebuah benteng megah dan membentang di atas bukit Muqattam. Ya..tentu kalian pasti tak asing dengan sebuah benteng berbentuk kuil yang bernama Benteng Salahuddin atau Qal’ah Jabal.

Dilihat dari namanya, tentu kita tahu bahwa yang membangun benteng ini adalah Salahuddin Al-Ayyubi; Sultan sekaligus pendiri Dinasti Ayyubiyah. Benteng ini dibangun pada tahun 1176 M, guna untuk melindungi kota Kairo dari serangan Tentara Salib ketika itu. Begitu banyak peninggalan-peningalan dan situs-situs kuno yang terdapat di dalam benteng ini. Selain benteng itu sendiri, ada beberapa bangunan lain yang tak kalah menarik, yaitu Masjid Al-Nashir Muhammad bin Qalawoon, Masjid Muhammad Ali, Museum Tentara, Museum Polisi, dan Qashrul Jauhara. Namun, hanya beberapa dari destinasi di atas yang saat ini boleh dikunjungi. Dan artikel ini hanya akan lebih terfokus pada pendiri dan bentengnya saja.

  1. Salahuddin Al Ayyubi dari Irak menuju Mesir

Mempunyai nama asli Salahuddin Yusuf bin Najmuddin Ayyub bin Syadziy bin Marwan yang oleh keluarganya sering dipanggil dengan nama Yusuf. Dia lahir pada tahun 532 H dan tinggal bersama keluarganya di kota Tikrit (daerah utara Irak saat ini), dan berpindah ke kota Baghdad dan Moushul. Menurut Ibnu Washil seorang sejarawan di zaman Ayyubiyah, mengatakan bahwa nasab dari kakeknya adalah Syadziy bin Marwan bin Abi Ali bin Hasan salah satu keturunan Bani Umayyah. Tapi pendapat yang paling kuat mengatakan bahwa Salahuddin adalah bangsa Kurdi dan bukan bangsa Arab.

Dia tumbuh dan berkembang bersama ayah dan pamannya, Najmuddin Ayyub dan Asaduddin Syirkuh. Ia mendapatkan pendidikan kepemimpinan dan manajemen administrasi pemerintahan dari sang ayah yang di kala itu menjabat sebagai pemimpin Seljuk di Tikrit serta mendapat pendidikan strategi peperangan dan militer dari sang paman, Asaduddin Syirkuh. Saat itu, baik ayah maupun pamannya sama-sama mengabdi kepada Imaduddin Zanki, gubernur Seljuk untuk Irak. Saat Imaduddin wafat, Nuruddin Zanki putra dari Imaduddin Zanki-lah yang menggantikannya memimpin Suriah dan Mosuhul. Dari sinilah Salahuddin mulai tekun mempelajari politik, strategi, dan teknik perang, bahkan ia melanjutkan pendidikannya ke Damaskus untuk mempelajari theologi sunni selama 10 tahun dalam naungan kekuasaan Nuruddin.

Singkat cerita, Pada tahun 1169 M Salahuddin diangkat menjadi seorang  menteri di Mesir menggantikan Asaduddin Syirku yang telah wafat. Waktu terus berjalan, tidak ada yang menyangka bahwa peran Salahuddin membawa perubahan besar bagi pemerintahan Mesir yang sebelumnya bisa dibilang lemah. Pada saat Al-‘Adid Abu Muhammad Abdillah, Khalifah terakhir Dinasti Fathimiyyah wafat pada tahun 1171 M, Salahuddin menduduki pemerintahan tertinggi Mesir dan memecat garis keturunan Fathimiyyah, sehingga ia mengganti yang sebelumnya Dinasti Fathimiyyah menjadi Dinasti Ayyubiyah. Meski ia telah menguasai Mesir, secara resmi Salahuddin tetap berposisi sebagai wakil Nuruddin. Begitu banyak perkembangan dan perbaikan pemerintahan di zamannya, mulai dari segi ekonomi, militer, akademis dst. Dan salah satu peran Salahuddin Al Ayyubi yang paling fenomenal adalah perbaikan tembok kota Kairo yang sudah ada sejak zaman fathimiyyah dan membangun Benteng Salahuddin/Qal’ah Jabal di atas bukit Muqattam.

  • Benteng Pertahanan

Bangunan ini merupakan tembok yang menyerupai sebuah benteng yang dirancang dan didesain oleh Salahuddin Al Ayyubi dan dibangun pada tahun 1176 M – 1183 M dibawah direksi arsiteknya yang bernama Baha’uddin Qaraqusy Al-Asadiy dan disempurnakan lagi pada zaman saudaranya Sultan Al-Malik Al-Adil pada tahun 1208 M. Kecerdasan Salahuddin terlihat ketika penentuan letak benteng yang akan dibangun. Ia memilih bukit Muqattam karena akan mempermudah penyerangan dan pengintaian dalam satu waktu. Menurut Imam Al Maqriziy salah satu sejarawan yang hidup di Era Mamalik menyebutkan bahwa sebelum Salahuddin menentukan tempat, ia meletakkan sepotong daging di daerah tersebut (Kairo). kemudian daging itu membusuk dalam waktu satu hari satu malam, kemudian ia meletakkan sebuah daging lain di atas bukit tersebut dan bertahan selama dua hari dua malam, maka dibangunlah benteng di sana.

Benteng ini mempunyai tinggi 10 m, dan ketebalan 3 m, benteng ini dibangun khusus untuk melindungi kota Kairo dari serangan Pasukan Salib ketika itu. Benteng ini juga dilengkapi menara-menara kokoh yang menjulang dalam jarak setiap 100 m. Di menara yang dijadikan konsentrasi pertahanan dari serangan musuh itu terdapat banyak lubang jendela yang berguna bagi pasukan pemanah dalam membidik sasaran. Sedangkan bagian paling atas adalah dek terbuka untuk menempatkan meriam.

Dari sisi pertahanan, benteng ini memiliki fungsi arsitektur termaju pada zamannya, dengan tiga step pertahanan sebagai berikut:

  1. Pertahanan jarak jauh; menggunakan meriam dan senjata panah yang dilakukan lewat menara-menara.
  2. Jika pasukan musuh berhasil menembus dinding benteng, mereka akan disambut ruang terbuka yang dikelilingi tembok-tembok tinggi. Di area ini pasukan musuh tentu akan bersiap di atas benteng.
  3. Dan jika musuh berhasil melewati bagian tersebut, mereka akan melewati lorong-lorong bercabang yang panjangnya mencapai 2.100 m. Di situ pasukan musuh yang tidak mengenal medan menjadi lebih mudah ditumbangkan satu persatu.

Tadi sudah disebutkan, bahwa ada sebuah menara untuk mengintai serangan musuh, ada sekitar 13 menara di setiap sisi dari benteng tersebut.

Burj Al Shahra’ (Utara)
Burj Al-Muqottom
Burj Al Haddad & Burj Al-Ramlah
Burj Al Imam (Timur)
Burj Al Tharfah (Selatan)
Burj Kyrkilan (Selatan)
Burj Al Mathar (Selatan)
Burj Al Muqaushar (Timur)
Burj Al Muballath (Timur)
  • Dan, beberapa menara lainnya:
  • Burj Al ‘Ulwah (Selatan)
  • Burj Al Saffa (Selatan)
  • Bab Al Qullah (Barat daya)
  • Bab Al Mudarraj (Barat)

Konsep benteng ini jika kita lihat sekarang, terdapat dua bagian yang berbeda dari segi bentuk dan luas tanahnya, yaitu sisi Timur laut dan sisi Barat daya.

  1. Sisi Timur laut, memiliki bentuk persegi panjang cenderung lebih abstrak dengan panjang 560 m membentang dari Timur ke Barat, dan 317 m dari Utara ke Selatan.
  2. Sisi Barat daya, benteng ini lebih kecil dari bagian pertama dan memiliki bentuk tak beraturan juga. Dengan panjang 510 m dari Utara ke Selatan, dan 270 m dari Timur ke Barat. Pada bagian benteng ini memiliki bentuk tembok pagar yang berbeda dengan benteng bagian Timur laut. (Fajar Ilman Nafi’/ Mahasiswa Universitas Al-Azhar Jurusan Peradaban)

Referensi:

  1. Ahmad Abdul Razaq Ahmad. al-Imarah al-Islamiyyah fii Mishr Mundzu al-Fathi al-Arabiy Hatta Nihayat al-Ashri al-Mamlukiy, Kairo: Darul Fikri Al-Arabi. 2018.
  2. Manshur Abdul Hakim Muhammad. Salah al-Din al-Ayoubi al-Munqidz al-Muntadzar, Cetakan ke-7, Damaskus: Darul Kitab Al-Arabi. 2007.
  3. Khalid ‘Azb. Fiqh al-‘Umran al-Imarah wal Mujtama’ wal Dual fii al-Hadharah al-Islamiyyah, Kairo: Darul Mishriyah Al-Lubnaniyyah. 2013.
Read more
12Agu

Masjid Al-Azhar dari Syiah Fatimiyah hingga Ayubbiyyah

Agustus 12, 2022 buutsfpib Kabar Azhar, Khazanah Islam 27

Masjid Al-Azhar saat pertama kali dibangun hanya sebuah shahnul (pelataran) masjid terbuka yang berbentuk persegi panjang yang dikeliling 3 dzillah (bangunan dengan atap untuk berteduh), yang paling besar adalah dzillah kiblat yang terdapat mihrab di dalamnya.

Masjid Al-Azhar saat pertama kali dibangun.

Dzillah Kiblat terdiri dari 5 ruwaq (serambi) yang sejajar dengan dinding kiblat sehingga memotong membentuk koridor masjid. Di atas “Dzillah Kiblat” terdapat 3 kubah, satu di tengah tepat di atas mihrab dan dua di ujung koridor.

Pada awalnya masjid Al-Azhar hanya mempunyai 3 pintu, pintu utama di tengah sebelah Utara dan 2 pintu lainnya terdapat di samping yang berada di dzillah sisi kanan dan kiri.

Bentuk bangunan Al-Azhar tetap seperti itu hingga pada zaman Khalifah Al-Hafidz Li Dinillah dengan menambah satu dzillah, maka sejak saat itu Al-Azhar memiliki 4 dzillah yang mengeliling shahnul masjid.

Dzillah yang dibangun pada zaman Kekhalifahan Al-Hafidz Li Dinillah.

Selain itu Al-Hafidz Li Dinillah juga menambah kubah yang dikenal dengan “Kubah Fatimiyah”, kubah ini terletak di tengah-tengah ruwaq dengan dekorasi hiasan tanaman dan khat kufi dari dalam kubah, dan kubah ini merupakan kubah paling lama yang masih tersisa dengan hiasan dari dalam.

Kubah Fatimiyah

Masjid Al-Azhar pertama kali dibangun sebagai masjid resmi untuk Dinasti Fatimiyah yang baru memerintah Mesir. Selain itu juga sebagai pusat ruh dan penyebaran madzhab syiah di Mesir.

Pada zaman Khalifah Al-Aziz Billah, Al-Azhar digunakan pertama kali sebagai lembaga pendidikan ilmiah. Perdana Menteri Ya’qub bin Killis merupakan orang pertama yang mempunyai ide ini ketika meminta izin kepada khalifah pada tahun 378 H/ 988 M untuk menjadikan Al-Azhar tempat para ahli fiqih membuat majlis ilmu dengan mengaji buku dan belajar.

Selain menjadi kepala dan pengurus masjid kegiatan ilmiah di Al-Azhar, Ya’qub bin Killis juga memberikan gaji kepada para pengajar, membangun rumah tinggal untuk mereka di sekitar masjid Al-Azhar. Jumlah para pengajar mencapai 37. Mereka membuat halaqah ilmiah dari setelah Shalat Jumat hingga Shalat Ashar.

Pemberhentian Shalat Jumat di Masjid Al-Azhar di Zaman Dinasti Ayyubiyyah

Kegiatan keagamaan masih berlangsung hingga runtuhnya Fatimiyah oleh Sultan Shalahudin Al-Ayubbi yang sebelumnya adalah Menteri Khilafah Fatimiyah dengan bermadzab Sunni Syafi’i.

Pada zamannya semua kegiatan dan renovasi diberhentikan. Seperti juga menghentikan shalat dan khutbah Jumat di Masjid Al-Azhar dengan cukup memusatkannya di Masjid Hakim bi Amrillah; hal ini berdasarkan dengan madzhab syafi’iyyah yang melarang dua Khutbah Jum’at di dalam satu wilayah, dan juga karena luas Masjid Al-Azhar lebih kecil dari Masjid Hakim bi Amrillah. Apalagi setelah bertambahnya jumlah penduduk Kairo pada waktu saat ini.

Sebab lain yang sebenarnya dari pemindahan kegiatan agama dan politik dari Masjid Al-Azhar ke Masjid Hakim bi Amrillah adalah ide Sultan Shalahudin Al-Ayubbi dalam melemahkan pengaruh madzhab syiah di Mesir.

Sultan Shalahuddin juga membangun banyak madrasah baru, yang pertama kali di bangun adalah Madrasah An-Nashiriyyah yang dibangun pada tahun 566 H di samping Masjid Amru bin Ash untuk pengajaran Fiqih Syafi’i.

Begitu pula Madrasah Al-Qamhiyah (Fiqih Maliki) di Faiyum, yang terkenal bahwa Sejarawan Ibnu Khaldun mengajar di sana. Kemudian banyak para sultan, amir dan orang-orang tinggi yang berlomba-lomba membuat madrasah di Kairo dan Mesir hingga membuat Al-Azhar kehilangan pamornya sebagai kegiatan ilmiah pada masa Dinasti Ayyubiyyah.

Namun walaupun kegiatan agama sudah dipindah, dan kegiatan ilmiah di masjid Al-Azhar mengalami kemunduran selama 100 tahun di masa Dinasti Ayyubiyyah, Al-Azhar masih digunakan sebagai kegiatan ilmiah yang tidak berhubungan madzhab syiah seperti Bahasa Arab, Kedokteran, Matematika, Mantik, Filsafat, dsb. (Tri Wi Farma/Mahasiswa Jurusan Peradaban di Universitas Al-Azhar)

Referensi:

Muhammad Ali Abdul Hafidz, Al-Atsar Al-Arabiyyah Al Islamiyyah Hatta Muntashof Al-Qarni As-Sabi’ Al-Hijri, Mathba’at Al-Thayyib, Kairo: 2020. Hal 94-95.

Ibnu Abdul Dzahir, Ar-Raudhah Al-Bahiyah Az-Zahirah fii Khuthathi Al-Muizziyah Al-Qahirah, Tahqiq Aiman Fuad Said, Jilid 1, Kairo: 1996.

Su’aad Mahir Muhammad.  Masajidu Misr wa Auliya’aha al-Sahalihuun, jilid 1. Majlis al-A’la li al Syuun al- Islamiyyah. Kairo: 2014. Hal 165-168.

Read more
01Mei

Ramadan Selesai, Bahagia atau Sedih?

Mei 1, 2022 buutsfpib Khazanah Islam 11

Edisi Spesial Ramadhan Vol. 14

Semasa saya kecil, akhir Ramadan berarti perayaan. Makin dekat dengan hari raya, berarti baju baru, juga uang saku banyak. Semasa saya kecil, berakhirnya Ramadan adalah sebuah kebahagiaan. Bertemu kerabat-kerabat jauh yang dalam kurun waktu satu tahun tak pernah ditemui. Akhir Ramadan berarti kemenangan, apalagi saat berhasil berpuasa penuh tanpa bolong.

Namun, makna itu sedikit bergeser begitu saya beranjak remaja. Narasi bersedih karena berpisah dengan Ramadan mulai banyak saya jumpai. Ada yang sekadar menceritakan bagaimana kesedihan itu terjadi, tapi juga ada yang menambahinya dengan banyak bumbu retorika. Mengungkap ketakjuban terhadap orang-orang yang berbahagia di hari-hari terakhir bulan Ramadan. Membuat kebahagiaan dalam menyambut datangnya hari raya terkesan salah, dan praktis membuat saya—yang biasanya bahagia—juga merasa bersalah.

Kesedihan yang dirasakan saat hendak berpisah dengan bulan Ramadan adalah kesedihan alami. Siapa pun bisa merasakan itu, apalagi mereka yang sudah mengetahui keistemawannya, pembahasan yang saya kira tak payah diulas—lagi—di sini. Kesedihan ini adalah hal yang pasti, sebagaimana kesedihan yang terjadi karena berpisah dengan kekasih. Dalam kitab Lathaif al-Ma’arif, Ibnu Rajab mengatakan, “Bagaimana mungkin seorang mu’min tak menangis saat Ramadan berakhir? Sedangkan ia tak tahu apakah masih punya kesempatan menjumpainya lagi.”

Tidak ada yang salah dengan kesedihan yang dirasakan di akhir Ramadan. Sekali lagi, itu alami. Menjadi salah bila melazimkan kesedihan dengan larangan berbahagia, menempatkan rasa bahagia di posisi bersalah. Padahal, gembira dengan berakhirnya Ramadan juga merupakan hal yang dianjurkan. Purna Ramadan bermakna bahwa umat islam telah sempurna melaksanakan kewajibannya, berpuasa satu bulan penuh. Hal yang saya kira sangat patut untuk disyukuri. “Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur.” (QS al-Baqarah 2:185)

 Belum lagi, ada momen penting yang datang begitu bulan Ramadan benar-benar berakhir, Hari Raya Idul Fitri. Seperti namanya, Raya, momen ini memanglah sebuah perayaan. Perayaan karena sudah berhasil menjalani rukun Islam ke-4, perayaan karena sudah mencapai kemenangan, perayaan yang sudah sepantasnya dirayakan dengan bahagia. Ibnu al-‘Arabi dalam buku Syarh ‘Umdah al-Fiqh, juga menjabarkan alasan mengapa hari raya disebut ‘ied yang berarti kembali. Ia mengatakan, “Idul Fitri disebut ‘ied karena ia senantiasi kembali setiap tahun dengan kebahagian yang baru.”

Lebih lanjut, Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam Fath al-Bari mengatakan, “Manifestasi kebahagiaan di hari Raya merupakan syiar agama,” jelaslah, bahwa kebahagiaan yang dirasakan di hari Raya adalah sebuah anjuran dan kita diganjar untuk itu. Namun, bersedih akan berakhirnya waktu dimana kebajikan yang kita lakukan dilipatgandakan pahalanya juga bukan sebuah kesalahan. Kebahagiaan dan kesedihan yang umat Islam rasakan secara bersamaan bukanlah hal yang tidak mungkin dilakukan. Jeff Larsen, profesor psikologi di Universitas Tennessee, Knoxville pun mengatakan demikian, “Biasanya, kita merasakan emosi satu per satu. Namun, ada saat-saat dimana kita bisa merasakan keduanya, meskipun itu sangan jarang, tetapi cukup menarik.”

 Larsen yakin momen itu langka, tapi mungkin. Momen akhir bulan Ramadan menjelang Idul Fitri bisa jadi salah satunya. Ada kesedihan yang teramat karena harus berpisah dengan Ramadan, bulan dimana umat Islam sudah sangat menantikannya. Bulan yang begitu istimewa itu harus berakhir, bergantian dengan bulan lain yang sudah mulai tampak hilalnya. Namun, bebarengan dengan kesedihan itu, ada kebahagiaan yang merayap dalam hati. Kebahagian karena telah purna menyempurnakan kewajiban, kebahagiaan yang tumbuh dari rasa syukur pada-Nya, kebahagiaan menyambut kemenangan.

Bagaimana pun, Ramadan hanyalah satu bulan di antara bulan-bulan lain. Bedanya, ia diberi keistimewaan yang tidak dimiliki bulan lain. Namun, sudah menjadi hukum alam, bahwa waktu akan terus bergerak, berganti. Pun bulan Ramadan, sudah waktunya ia purna, digantikan dengan bulan Syawwal. Yang perlu digarisbawahi, berakhirnya Ramadan tidaklah bermakna bahwa ibadah kita juga purna. Ramadan pasti berlalu, tapi Tuhan yang kita sembah ajeg, tak berubah.

Bulan Ramadan memang telah menemui ujungnya, tapi Allah adalah Dzat Yang Maha Hidup. Ia kekal abadi, dan kepada-Nya lah kita menyembah dan berserah. Bukan karena Ramadan, tapi tumbuh dari keimanan dan ketakwaan yang kita miliki atas-Nya. Bulan Ramadan memang niscaya berakhir, tapi tidak dengan kesempatan untuk terus berbuat bajik, untuk terus beribadah. Allah menciptakan manusia tak lain untuk beribadah pada-Nya, bukan hanya pada bulan Ramadan, tapi sepanjang masih diberi kesempatan bernafas. Jangan sampai, alih-alih menjadi hamba Allah, kita justru menjadi hamba Ramadan, yang hanya menghamba saat bulan Ramadan dan berhenti saat Ramadan selesai.

Sebagai penutup, saya hanya bisa berdoa. Semoga Allah menerima semua amal baik yang kita lakukan selama bulan Ramadan. Semoga senantiasa diberi kekuatan dan keistikamahan untuk terus berbuat baik selepas Ramadan, hingga dipertemukan kembali pada edisi Ramadan tahun-tahun berikutnya. Taqabbala Allah minna wa minkum shaliha al-a’mal, wa ja’alana min al-‘aidin wa al-faizin. Selamat Hari Raya Idul Fitri dan sampai jumpa di edisi Ramadan berikutnya. (Tafri’ Itsbatul Hukmi/ Mahasiswi Universitas Al Azhar Jurusan Sastra Arab)

Read more
29Apr

Mengulik Keistimewaan Lailatul Qadar

April 29, 2022 buutsfpib Khazanah Islam 15

(Edisi Spesial Ramadhan Vol.13)

Bulan Ramadhan memiliki sekian banyak keistimewaan salah satu diantaranya adalah lailatul qadar—satu malam yang dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa “lebih baik daripada seribu bulan.” Tetapi, apa dan bagaimana malam itu? Apakah ia terjadi sekali saja yakni  pada malam ketika turunnya Al-Qur’an sekitar lima belas abad yang lalu atau terjadi setiap bulan Ramadhan sepanjang sejarah? Bagaimana kedatangannya, apakah setiap orang yang menantinya pasti akan mendapatkannya? Benarkah ada tanda-tanda fisik material yang menyertai kehadirannya (seperti membekunya air, heningnya malam, menunduknya pepohonan dan sebagainya)? Masih banyak lagi pertannyaan yang sering muncul berkaitan dengan malam al-Qadr itu.

Terlepas dari pertanyaan-pertanyaan di atas, yang pasti hal ini harus diimani oleh setiap muslim berdasarkan pernyataan al-Quran, bahwa “Ada suatu malam yang bernama lailatul qadar” (QS 97:1) dan bahwa malam itu adalah “Malam yang penuh berkah dimana dijelaskan segala urusan besar dengan penuh kebijaksanaan” (QS 44:3). Malam tersebut terjadi pada bulan Ramadhan, karena kitab suci al-Quran diturunkkan oleh Allah Swt. pada bulan Ramadhan serta pada malam al-Qadr.

Malam tersebut adalah malam mulia yang tidak mudah diketahui betapa besarnya kemuliaannya. Ini diisyaratkan oleh adanya pertanyaan dalam bentuk pengagungan, yaitu wa ma adraka ma laylat al-Qadr. Kalimat ma adraka dalam Al-Quran menjadi sebuah objek yang digunakan untuk menjelaskan hal-hal yang sangat hebat dan sulit dijangkau hakikatnya secara sempurna oleh akal pikiran manusia. Oleh sebab itu, persoalan malam lailatul qadar harus dirujuk kepada Al-Quran dan sunah Rasulullah Saw.

 Kembali kepada pertanyaan semula, bagaimana tentang malam itu? Apa arti malam al-Qadr dan mengapa malam itu dinamai demikian?

Kata qadr sendiri memiliki tiga makna: pertama, penetapan dan pengaturan. Sehingga lailatul qadr dipahami sebagai malam penetapan Allah bagi perjalanan hidup manusia, pendapat ini dikuatkan oleh firman Allah surah al-Dukhan: ayat 3. Akan tetapi ada ulama yang memahami penetapan itu dalam batas setahun. Al-Quran yang turun pada malam lailatul qadr diartikan bahwa malam itu Allah SWT mengatur dan menetapkan khiththah dan strategi bagi Nabi-Nya, Muhammad Saw., guna mengajak manusia kepada agama yang benar, yang pada akhirnya akan menetapkan perjalanan sejarah umat manusia, baik secara individu maupun kelompok.

Kedua, kemuliaan. Malam tersebut adalah malam mulia yang tiada bandingnya. Ia mulia karena terpilih sebagai malam turunnya al-Quran serta karena menjadi titik tolak dari segala kemuliaan yang dapat diraih. Kata qadr yang berarti mulia terdapat dalam surah al-An’am: ayat 91, yang berbicara tentang kaum musyrik; Ma qadaru Allaha haqqa qadrihi idz qalu ma anzala Allahu ‘ala basyarin min syay’i (mereka itu tidak memuliakan Allah sebagaimana kemuliaan yang semestinya, tatkala mereka berkata bahwa Allah tidak menurunkan sesuatu pun kepada manusia).

Ketiga, sempit. Malam tersebut adalah malam yang sempit, karena banyaknya malaikat yang turun ke bumi, seperti yang ditegaskan dalam surah al-Qadr, pada malam itu turun malaikat-malaikat dan ruh (jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Kata qadr yang berarti sempit digunakan dalam al-Quran dalam surah al-Ra’d: ayat 26. Allah yabsuthu al-rizqa liman yasya’ wa yaqdiru (Allah melapangkan rezeki bagi yang dikehendaki dan mempersempitnya [bagi yang dikehendaki-Nya]).

Ketiga makna tersebut, pada hakikatnya dapat menjadi benar, karena bukankah malam tersebut adalah malam mulia, yang bila dapat diraih maka ia menetapkan masa depan manusia, dan bahwa pada malam itu malaikat-malaikat turun ke bumi membawa kedamaian dan ketenangan. Lantas, apakah malam mulia tersebut datang setiap tahun atau hanya sekali, yakni ketika turunnya al-Quran sekitar lima belas abad yang lalu?.

 Memang, turunnya al-Qur’an sekitar lima belas abad yang lalu terjadi pada lailatul qadar, tetapi bukan berarti bahwa malam mulia itu hadir pada saat itu saja. Ini juga menunjukkan bahwa kemuliaannya bukan hanya disebabkan al-Quran ketika itu turun, tetapi karena ada faktor intern pada malam itu sendiri. Hal ini dikuatkan dengan penggunaan bentuk kata kerja mudhari’ pada ayat, Tanazzal al-mala’ikat wa al-ruh, kata Tanazzal adalah bentuk yang mengandung arti  kesinambungan, atau terjadinya sesuatu pada masa kini dan masa datang.

Dengan hadirnya malam mulia tersebut di setiap tahun, maka umat muslim selalu menunggu kehadirannya, akan tetapi tak sedikit umat islam yang menganggap bahwa malam mulia itu akan menemui setiap orang yang terjaga (tidak tidur) pada malam kehadirannya. Namun, anggapan itu—hemat penulis—keliru, karena itu dapat berarti bahwa yang memperoleh keistimewaan adalah yang ‘terjaga’ untuk menyambutnya maupun tidak. Di sisi lain ini berarti bahwa kehadirannya ditandai oleh hal-hal yang bersifat fisik material, sedangkan riwayat-riwayat demikian tidak dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya.

Pun seandainya, ada tanda-tanda fisik material, maka itu pun tidak akan ditemui oleh orang-orang yang tidak mempersiapkan diri dan menyucikan jiwa guna menyambutnya. Air dan minyak tidak mungkin akan menyatu dan bertemu. Kebaikan dan kemuliaan yang dihadirkan oleh lailatul qadar tidak akan diraih kecuali oleh orang-orang tertentu saja. Tamu agung yang berkunjug di suatu tempat, tidak akan datang menemui setiap orang di lokasi itu, walaupun setiap orang di tempat itu mendambakannya.

Demikian juga dengan lailatul qadar, itu sebabnya bulan Ramadhan menjadi bulan kehadirannya, karena bulan ini adalah bulan penyucian jiwa, dan itu pula sebabnya Rasulullah mengatakan bahwa malam mulia itu datang pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan. Tersebab, ketika malam itu, diharapkan jiwa manusia yang berpuasa selama dua puluh hari sebelumnya telah mencapai satu tingkat kesadaran dan kesucian yang memungkinkan malam mulia itu berkenan mampir menemuinya. Dan itu pula sebabnya Rasulullah menganjurkan sekaligus mempraktikkan i’tikaf (berdiam diri dan merenung di masjid) pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan.

Di atas telah dikemukakan bahwa dalam rangka menyambut lailatul qadar, Rasulullah menganjurkan umat muslim untuk melakukan i’tikaf  di masjid sebagai bentuk perenungan dan penyucian jiwa. Di masjid, seseorang diharapkan merenung tentang dirinya serta di sana seseorang dapat menghindar dari hiruk-pikuk yang menyesatkan jiwa dan pikiran, guna memperoleh tambahan pengetahuan dan iman. Itulah sebabnya, ketika melakukan i’tikaf  seseorang dianjurkan untuk memperbanyak doa dan bacaan al-Quran, atau bahkan bacaan-bacaan lain yang dapat meningkatkan keimanan dan ketakwaan.

Adapun doa yang sering Rasulullah baca dan hayati maknanya di sepuluh hari terakhir Ramadhan yaitu: Rabbana atina fiddunya hasanah wa fil akhirati hasanah waqina adzabannar (Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami kebajikan di dunia dan kebajikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka).

Doa ini bukan sekedar berarti permohonan untuk memperoleh kebajikan dunia dan akhirat, tetapi lebih-lebih lagi bertujuan untuk memantapkan langkah dalam berupaya meraih kebajikan yang dimaksud, karena doa mengandung arti permohonan yang disertai usaha. Permohonan itu juga berarti upaya untuk menjadikan kebajikan dan kebahagiaan yang diperoleh dalam kehidupan dunia ini, tidak hanya terbatas dampaknya di dunia, tetapi berlanjut hingga hari kemudian. Semoga pada Ramadhan kali ini kita bisa mendapatkan serta  merasakan kehadiran lailatul qadar. (Ainul Mamnuah/ Mahasiswi Universitas Al-Azhar Jurusan Sastra Arab).

Read more
26Apr

Urgensi Zakat Fitrah Dalam Menciptakan Kesejahteraan Umat Islam

April 26, 2022 buutsfpib Khazanah Islam 8

Edisi Spesial Ramadhan Vol. 12

Zakat menurut bahasa berarti membersihkan dan berkembang. Zakat secara istilah berarti kadar harta tertentu yang diberikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya dengan syarat-syarat tertentu. Sedangakan fitrah dapat diartikan dengan suci, dan bisa juga diartikan dengan asal kejadian manusia. Maka dari pengertian di atas dapat ditarik dua pengertian tentang zakat fitrah. Pertama, zakat fitrah merupakan zakat yang dikeluarkan untuk mensucikan orang yang berpuasa dari perkataan dan perilaku keji. Kedua, zakat fitrah adalah karena sebab ciptaan, yang berarti dwajibkan untuk semua orang yang lahir ke bumi selama mereka mereka mempunyai persediaan makanan di malam Idul Fitri, sebanyak satu sha atau 3,5 liter dari makanan yang menyenangkan di setiap negara.

Islam merupakan agama yang sangat sempurna, syariatnya merupakan hukum-hukum yang ditetapkan untuk ketertiban, kedamaian, hingga kemaslahatan hidup manusia. Maka dari itu kandungan al-Quran terbagi menjadi tiga bagian besar, yaitu aqidah, khuluqiyah, dan ‘amaliyah. Bagian ‘amaliyah dari kandungan al-Quran dalam sistematika hukum dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu ibadah dan muamalah. Hukum ibadah dan muamalah yang telah ada dalam al-Quran untuk menjaga hak manusia dari kezaliman manusia lainnya. Dalam hal kebutuhan hidup dengan harta misalnya, umat Islam dituntut untuk memenuhi kebutuhan primer dan sekundernya sendiri. Akan tetapi, bila tidak mampu maka saudaranya sesama muslimlah yang memiliki kewajiban untuk memenuhinya. Dengan ini, maka akan terwujud kesejahteraan masyarakat dan hilangnya kejahatan yang disebabkan oleh kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin.

Setiap hukum yang Allah tetepkan pasti ada hikmah dan tujuan yang sangat berkontribusi besar dalam kelancaran hidup manusia. Layaknya syahadat, shalat, puasa, dan pergi haji ke tanah suci, zakat fitrah merupakan perintah Allah yang urgensinya sangat tinggi hingga menjadi salah satu rukun Islam yang wajib dilaksanakan oleh seluruh umat Muslim di dunia yang mampu melakukannya. Zakat fitrah bukanlah sebuah tujuan, tapi merupakan alat untuk mencapai tujuan dalam mewujudkan keadilan sosial. Kewajiban zakat fitrah tidak hanya berhubungan dengan ibadah mahdhah saja melainkan merupakan amal sosial yang berkaitan dengan masyarakat luas. Seperti sabda Rasulullah Saw:

عن عبد الله بن عمر بن الخطاب رضي الله عنهما قال: «سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: بني الإسلام على خمس: شهادة أن لا إله إلا الله، وأن محمدا عبد ه ورسوله، وإقام الصلاة، وإيتاء الزكاة، وحج البيت، وصوم رمضان،» رواه البخاري ومسلم.

 Atas dasar inilah Abu Bakar Ash-Shidiq menindak tegas orang-orang yang tidak mau membayar zakat, bahkan memerangi mereka.

Zakat sering dikaitkan dengan shalat dalam al-Quran. Dimana sholat merupakan wujud hubungan seorang hamba dengan Tuhannya, dan zakat merupakan wujud hubungan antara hamba, Tuhannya, dan manusia lainnya. Seperti firman Allah dalam Qs. Al-Baqarah:43

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِين

Dari sini dapat terlihat bahwa hukum Islam sangat memperhatikan fitrah manusia sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain. Dengan ini hukum Islam membagi umat muslim menjadi dua kelompok; kelompok yang harus mengeluarkan zakat dan kelompok yang berhak menerima zakat. Adapun kelompok wajib mengeluarkan zakat adalah orang-orang muslim, merdeka, yang hartanya telah mencapai batas minimum untuk wajib mengeluarkan zakat. Adapun golongan yang berhak menerima zakat adalah fakir, miskin, amil zakat, muallaf, hamba sahaya, orang yang berhutang dan sama sekali tidak mampu melunasinya, orang yang berjuang di jalan Allah, dan musafir.

Dalam perspektif maqhasid al-syari’ah zakat jelas merupakan suatu kewajiban yang dapat memenuhi kesejahteraan umat manusia. Dimana dengan pendekatan tersebut  manusia dapat melihat nilai-nilai berupa kemaslahatan manusia dalam setiap taklif yang diturunkan Allah Swt. pada hamba-Nya. Tapi sayang, banyak umat muslim yang tidak menyadarinya dan menganggap taklif yang diturunkan Allah merupakan suatu beban yang hanya menyusahkan dirinya, bukan sesuatu yang mempermudah dirinya.

Dapat dianalogikan seperti manusia yang hidup di dalam pagar. Ada sebagian manusia yang menganggap pagar itu sebagai pelindung dirinya dari berbagai bahaya yang ada di luar, dengan mengetahui hikmah dipasangnya pagar dia menyadari bawa pagar itu mempermudah kehidupannya. Dan ada pula yang menganngap bahwa pagar itu merupakan kekangan karena ia tidak mengetahui hakikat sebenarnya, tujuan dipasangnya pagar di sekitarnya.

Idul Fitri merupakan hari raya seluruh umat Islam di dunia. Semua merasa bahagia, terasa seperti baru terlahir kembali di dunia. Semua telah berhasil menaklukkan kewajiban di bulan Ramadhan untuk berpuasa sebulan penuh, mensucikan diri, mendekatkan diri pada Allah, hingga mencapai puncaknya di Idul Fitri. Idul Fitri merupakan anugerah yang diberikan Allah kepada hamba-Nya. Di hari itu umat Islam tidak diperbolehkan berpuasa, menahan lapar di hari yang penuh dengan kemenangan. Setelah berlapar-lapar merasakan pahitnya kehidupan orang-orang yang tidak mampu. Di hari itu, semua orang tanpa terkecuali merasakan nikmatnya makanan dan kesenangan yang dirasakan oleh orang-orang kaya. Sungguh Allah Maha Adil. Bayangkan jika tidak ada kewajiban zakat fitrah bagi umat muslim, betapa sedihnya orang-orang yang kurang mampu, setelah berlapar-lapar sebulan penuh, mereka harus berlapar-lapar kembali di hari yang penuh dengan kemenangan. (Rizka Salzabila/ Mahasiswi Universitas Al-Azhar Jurusan Psikologi)

Read more
23Apr

Menjadi Hina atau Mulia Pasca Ramadhan

April 23, 2022 buutsfpib Khazanah Islam 14

Edisi Spesial Ramadhan Vol 11

Ramadhan berasal dari kata رَمَضَ yaitu panas yang sangat terik membakar. Jika ditambahkan alif dan nun di ujung katanya menjadi رَمَضَان  mengubah arti kata menjadi super latif atau shighah mubalagah yang berarti panas semakin terik hingga menghanguskan setiap benda di sekitarnya dan tidak menyisakan apapun bahkan debunya tidak tampak bekasnya. Bulan ini disebut dengan ramadhan karena menurut para ulama pada bulan ini Allah membakar dan menghapuskan dosa-dosa hamba-Nya. Pemaknaan ini disampaikan para ulama bukan berdasarkan kalimat biasa, tapi berdasarkan hadis Rasulullah Saw:

مَنْ صَامَ رَمَضَان إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ, وَمَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.

“Barangsiapa berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala, akan diampuni dosanya yang telah lalu, dan barangsiapa sholat di malam lailatul qodr diampuni dosanya yang telah lalu.”(HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu).

Maksud dari kalimat إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا yakni melakukan puasa karena Allah semata, وَاحْتِسَابًا seakar dengan kata muhasabah (haasaba-yuhaasibu-muhaasabtan) dan (ihtasaba-yahtasibu-ihtisaaban) yang mana keduanya berasal dari kata hisab. Yang artinya mengevaluasi dan menghitung. Setiap amalan yang dilakukan oleh anak Adam pasti akan digandakan dari sepuluh hingga tujuh ratus kali lipat. Sebagaimana firman Allah:

مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَثَرِهَا (الأنعام : 160)

“Barangsiapa mengerjakan satu kebaikan maka dia akan mendapatkan balasan sepuluh kali lipatnya”. (QS. Al-An’am : 160).

Allah memuliakan bulan Ramadhan dengan menurunkan ampunan, rahmat, hidayah, keutamaan-keutamaan yang tidak dijumpai selain pada bulan ini dan mengakhirinya dengan kemenangan pada bulan Syawwal. Syekh Abdul Aziz Syihawi menyatakan bahwa Baginda Nabi Muhammad Saw. sangat merindukan, mengenang dan mengistimewakan bulan Ramadhan. Kebiasaan Sang Baginda meningkat drastis di bulan Ramadhan dari bulan lainnya dengan memperbanyak ibadah dan menghidupkan malam-malamnya.

Kita Dalam Menyikapi Akhir Ramadhan

Menurut Zainudin Al-Malibari dalam Fathul Mu’in, diantara amalan yang dapat kita kerjakan dalam menyikapi akhir bulan Ramadhan seperti memperbanyak sedekah (tidak hanya diberikan kepada manusia dan berbentuk materi saja, melainkan makhluk Allah lainnya seperti hewan dan tumbuhan), memenuhi kebutuhan keluarga, berbuat baik kepada sesama dan tetangga, memperbanyak membaca Al-Qur’an dan beriktikaf.

Adapun amalan lainnya yang bisa kita lakukan dalam menyikapi akhir ramadhan dan mempersiapkan diri menemui lailatul qadar seperti meruntinkan qiyamul lail dan shalat tahajjud. Menurut Al-Ustadz Adi Hidayat, Lc. M.A terdapat perbedaan antara qiyamul lail dan shalat tahajjud. Dimana qiyamul lail merupakan shalat yang dilakukan tanpa didahului tidur sebelumnya dan waktunya dari setelah isya hingga pertengahan malam. Sedangkan shalat tahajjud yang berasal dari kata هَجَدَ  yang artinya adalah tidur berbaring, kemudian ditambah ت menjadi تَهَجَدَ  yang adanya usaha untuk bangkit dari tidur, kemudian ditambah ّ menjadi تَهَجَّدَ dengan adanya keseriusan dan perjuangan untuk mewujudkan bangkit secara serius dari tidur. Dan diubah menjadi sifat yaitu تَهَجُّدْ yaitu sholat yang dikerjakan setelah tidur terlebih dahulu, dan umumnya dikerjakan pada pertengahan malam. Amalan lain yang dapat dikerjakan adalah mendirikan shalat tasbih, mengerjakan amalan-amalan sunah, dan membaca do’a akhir Ramadhan sebagaimana yang disebutkan dalam hadis riwayat Jabir bin Abdillah:

اللهُمَّ لَاتَجْعَلْ آخِرَ الْعَهْدِ مِنْ صِيَامِنَا إِيَّاهُ, فَإِنْ جَعَلْتَهُ فَاجْعَلْنِيْ مَرْحُوْمًا وَلَا تَجْعَلْنِيْ مَحْرُوْمًا.

“Ya Allah, janganlah Engkau jadikan bulan Ramadhan ini sebagai bulan Ramadhan terakhir dalam hidupku. Jika Engkau menjadikannya sebagai Ramadhan terakhirku, maka jadikanlah aku sebagai orang yang Engkau sayangi”.

Betapa mulianya bulan Ramadhan dengan segala keutamaan yang terkandung di dalamnya. Sungguh disayangkan jika seorang muslim tidak memanfaatkan momen emas pada bulan suci Ramadhan dengan sebaik mungkin. Karena di dalamnya terdapat pahala yang berlipat dan kemuliaan yang tidak ada di bulan lainnya. Sedang kita tidak mengetahui apakah masih bisa menjumpai bulan ini di masa nanti atau justru kita yang mendahului. Maka hendaknya kita menikmati indahnya ibadah di bulan penuh berkah, berlomba-lomba dalam kebaikan sebagai bentuk ketaatan, bermuhasabah diri untuk menjadi lebih berarti dalam menggapai ridho Ilahi.

Jika orang yang buta tidak bisa melihat sinar matahari, begitupula orang yang buta mata hatinya tidak bisa melihat cahaya Ilahi. Jika cinta bisa membutakan seseorang akan segala hal, maka berbeda dengan kecintaan seorang hamba kepada Rabb-nya karena cinta itu tidak akan membuatnya buta akan segala hal. Justru apa yang ada dalam hati dan fikirannya akan terbuka, sehingga mampu untuk memilah haq dan bathil, membuka fikiran dan hatinya dengan Al-Qur’an, sunah dan iman, menyeru pada kebaikan dan ketaatan, tertanam dalam jiwanya Islam, iman dan ihsan. Bersih dari perilaku keji, kebencian dan kemungkaran, serta menjadikan Allah adalah alasan dalam setiap perbuatan.

Mengutip perkataan Dr. Ahmad Isa al-Mashry:

كيف أعرف هل قُبل عمل في رمضان أم لا؟ فعل الطاعة بعد الطاعة. مثلا : كان يغض بصره بصعوبة، أما الآن فيغض بصره بسهولة. كان في السابق يتثاقل عن القيام للصلاة، فأصبحت الصلاة عليه بعد رمضان سهلة.

Maknanya antara lain, diantara cara untuk kita mengetahui apakah ibadah yang kita lakukan ketika Ramadhan diterima atau tidak, bersungguh-sungguh karena Allah atau sebaliknya adalah kita bisa melihat bagaimana kerakter, kepribadian dan keseharian kita setelah Ramadhan, apakah menjadi lebih baik atau sebaliknya, apakah lebih hina atau mulia? Wallahu’alam. (Hanura Dewi Fadilah/ Mahasiswi Universitas Al-Azhar Jurusan Ushuluddin)

Read more
20Apr

Kumandang Senja Ramadhan Nadi Gamalia

April 20, 2022 buutsfpib Khazanah Islam 13

Edisi Spesial Ramadhan Vol. 10

Sebagaimana surya yang selalu menemani hangatnya pagi, senjapun memiliki caranya sendiri untuk turut menghidupkan hari-hari di bulan yang suci ini. Kawan, izinkan aku bercerita tentang kumandang senja Ramadhan di Nadi Gamalia yang berhasil menghanyutkan ratusan kaum Adam dan Hawa.

Kembali mengingat hari itu, deretan meja beserta bangkunya memenuhi pekarangan Nadi Gamalia. Satu, dua, tiga hamba Allah berangsur-angsur memenuhi tempat sepetak itu.

Tak terhitung hitungan jam, pekarangan Nadi Gamalia yang sebelumnya kosong sudah dipenuhi dengan ratusan kaum muslimin. Perbincangan diantara orang-orang yang saling bertukar sapa pada hari itu, lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an pun turut menemani waktu, menunggu datangnya kumandang senja Ramadhan.

“Maidaturrahman”, begitu orang menyebut tempat itu. “Maidah” yang berarti meja makan dan “Al-Rahman” yang berarti Maha Pengasih. Diambil dari Al-Quran surat Al-Maidah ayat 114-115 dimana Allah Swt menurunkan “maidah” kepada Nabi Isa As, sebagai bukti kebenaran untuk seluruh umat manusia. Di sisi lain, kata “Al-Rahman” yang berarti Maha Pengasih penuh dengan ajakan dan nuansa untuk menebar kasih sayang antar sesama umat manusia. Menjadi  salah satu ciri khas utama bulan Ramadhan yang diadakan hampir secara merata di seluruh penjuru Mesir. Tenda-tenda “maidaturrahman” yang menghiasi sebagian besar jalan-jalan utama Mesir dapat terlihat sepanjang bulan Ramadhan.

Senja Ramadhan yang ditunggu pun berkumandang, datangnya diiringi dengan naungan “Rahman” sebagaimana artinya. Nyaring suara doa kaum muslimin menyambut waktu berbuka, mengakhiri “imsak” pada hari itu. Para petugas pun berbondong-bondong mempersiapkan “maidah” yang sebagai judul utamanya.

Terlihat sederhana, sekotak nasi beserta lauknya, ditemani dengan sunah 3 biji kurma, dan minuman seadanya. Namun, hal itu tak sebanding dengan kegembiraan, kehangatan, bahkan perasaan tawakkal, berserah, menikmati indahnya bulan suci, Ramadhan, yang terasa, hadir, menyelimuti dinginnya senja, menyambut malam di atas pekarangan Nadi Gamalia.

Kawan, andaikan bisa kubagikan luapan emosi sore itu, perasaan yang tak terbendung ini bisa saja memenuhi perasaan kita bersama, tak habis dibagikan layaknya “Al-Rahman” yang menjadi asas hadirnya kebersamaan ini.

Kucukupkan kisahku pada tanda titik sebelum paragraf ini. Lain hari, luangkan waktumu. Mari sejenak kita nikmati kumandang senja Ramadhan di Nadi Gamalia. Salam hangat dari kawanmu. (Almas Shopia/ Mahasiswi Universitas Al-Azhar Jurusan Psikologi)

Read more
18Apr

Ada Apa di Malam Nuzulul Qur’an?

April 18, 2022 buutsfpib Khazanah Islam 14

Edisi Spesial Ramadhan: Milad Al Azhar ke-1082 Vol. 09

Nuzulul_Qur’an merupakan sebuah persitiwa yang bersejarah bagi umat Islam. Tentu kita sebagai seorang muslim sering memperingati persitiwa tersebut dengan berbagai macam kegiatan, seperti; membaca Al-qur’an, Shalawatan, qasidahan, pengajian, pentas seni, tasyakuran dan lain-lain. Hal ini merupakan salah satu bentuk penghormatan terhadap malam tersebut dengan esensi memperingati suatu hal yang menakjubkan dan sulit diterima akal pada zaman itu, serta mengajarkan kepada anak cucu kita betapa agungnya kitab suci yang selalu kita baca setiap saat yaitu Al-Quran. Juga, agar mereka lebih mengerti tentang sejarah umat Islam terkhusus pada malam Nuzulul Qur’an.

Adapun secara makna, Nuzulul Qur’an terdiri dari kata nuzul dan Al-qur’an yang berbentuk idhafah. Penggunaan kata nuzul dalam istilah nuzulul Qur’an (turunnya Al-Quran) tidaklah dapat kita pahami maknanya secara harfiah, yaitu menurunkan sesuatu dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah, sebab Al-Quran tidaklah berbentuk fisik atau materi, tetapi pengertian nuzulul qur’an yang dimaksud adalah pengertian majazy, yaitu penyampaian informasi langit (wahyu) kepada Nabi Muhammad Saw. dari alam gaib ke alam nyata melalui perantara malakikat Jibril As.

Jika dilihat dari sisi sejarahnya, Nuzulul Qur’an adalah fenomena langka yang dialami oleh baginda Rasulullah Saw. ketika awal perjalanan beliau menjadi seorang nabi dan rasul. Tentu sering sekali kita mendengar cerita tentang turunnya wahyu bukan? Yang di mana ketika Muhammad Saw. berumur 40 tahun dan keadaan kota Makkah saat itu mulai terkontaminasi kemaksiatan dan kebiasaan-kebiasaan jahiliyyah yang sangat melenceng dari millah nabi Ibrahim As. sehingga membuat Nabi Saw. merasa resah dan risau akan moral penduduk di sekitarnya. Maka, saat masa kekosongan nabi inilah (fatrah) Nabi Saw. mulai merenungi keagungan Tuhan yang telah menciptakan segala apa yang ada di langit dan di bumi, serta bertafakkur tentang segala moralitas dan kelakuan umat akhir zaman ini.

Nabi Saw. mulai menyendiri atau uzlah atau khalwat di gua Hira’ yang terletak di barat daya kota Makkah. Beliau terus bertafakkur, berteman dengan sunyi, mentadabburi ciptaan-Nya agar hati terus terhubung dengan Sang Illahi. Berhari-hari, bahkan Nabi Saw. membersihkan hati dan nurani di sana, hingga sang istri; sayyidah Khadijah hampir setiap hari membawakan bekal untuk suami tercinta. Meski pada akhirnya, tidak jarang pula beliau membagikan bekal makanannya kepada orang-orang di sekitar area tersebut.

Di suatu malam ketika Nabi Saw. bermunajat dan bertafakkur, muncullah suara dari langit yang dimana suara itu berasal dari pancaran cahaya putih terang bersinar di atas sebuah kursi singgahsana yang seketika membuat beliau bergetar dengan tetap menatap ke atas langit. Yang tak lain cahaya tersebut adalah malaikat Jibril As. yang diutus Allah Saw. untuk menyampaikan sebuah wahyu suci kepada Muhammad Saw.

Jibril pun berkata, “Bacalah…”

Nabi menjawab, “Aku tidak bisa membaca”,

Dialog tersebut terus berulang sampai turunlah surah Al-Alaq ayat 1 – 5, malaikat Jibril membacakan dan Muhammad Saw. mengikuti apa yang disampaikan.

Bergetarlah tubuh nabi dengan penuh keringat serta ketakutan, kemudian pulanglah beliau ke rumahnya dan menyuruh Khadijah ra. untuk menyelimutinya seraya berkata, “Selimuti aku, selimuti aku.”

Nabi Saw. berfikir bahwa akan ada malapetaka bagi dirinya, lalu Khadijah pun menenangkannya seraya mengakatan, “Sekali-kali tidak, Allah Saw. tidak akan pernah menghinakanmu selamanya.”

 Keesokan harinya, datanglah Waraqah bin Nauval bin Asad bin Abdul Uzza menemui Nabi Saw. dan memintanya untuk menceritakan apa saja yang dilihat. Sungguh suatu kejadian yang mulia, adalah benar bahwa yang datang itu adalah Jibril yang diutus Allah Swt. kepada setiap nabi-Nya seperti halnya Musa dan Isa.

Dari sinilah titik awal bermulanya ajaran Islam muncul dengan sesuci-suci kitab dan seagung-agung manusia. Di malam itulah diturunkan Al-Qur’an tepat pada 17 Ramadhan dan bertepatan pada malam Lailatul Qadar atau malam seribu bulan dimana pada malam itu, ribuan malaikat turun ke bumi memburu untuk manyampaikan doa orang-orang shalih yang bermunajat dan melontarkan doa ke langit. Maka, di dalam nuzulul qur’an terdapat banyak pelajaran yang dapat kita jadikan ibrah untuk direnungkan dan sirah untuk diambil hikmahnya, terutama di bulan yang suci yaitu bulan Ramadhan Mubarak (Fajar Ilman Nafi’/ Mahasiswa Universitas Al Azhar Jurusan Bahasa Arab)

Read more
    12
Logo FPIB Kecil Web

FPIB (Forum Pelajar Indonesia Bu’uts) merupakan forum sosial yang mewadahi seluruh pelajar Indonesia yang terdaftar di Madinatul Bu’uts Al Islamiyyah.

FPIB © All rights reserved

Kategori

  • News
  • Info

Info

  • Ijroat Adventure Minhah Dakhili
  • Ijroat Adventure Minhah Khoriji
  • Taqdim Minhah

Tentang Kami

  • About FPIB
  • Kontak