FPIB © All rights reserved
FPIB
  • Home
  • Blog
  • Info
    • Badal Rusum Iqomah
    • Contoh Surat-surat dan Agazah
    • Ijroat Adventure Minhah Khoriji
    • Ijroat Adventure Minhah Dakhili
    • Taqdim Minhah Bu’uts
  • About
Join Grup
FPIB
Join Grup

Kabar Azhar

Home / Blog / Kabar Azhar
30Nov

Multaqo Tsaqofi di Madinatul Buuts: Syekh Ibrahim Al-Hudhud Bocorkan Cara Mengatur Waktu

November 30, 2022 buutsfpib Kabar Azhar, Madinatul Bu'uts, News 19

Kairo, FPIB- Selasa (29/11), Hai’ah Kibar Ulama Al-Azhar Al-Syarif (Dewan Senior Ulama Al-Azhar) mengadakan Multaqo Tsaqofi (cultural forum) di Masjid Madinatul Bu’uts. Multaqo tersebut merupakan acara ke-13 yang diadakan oleh Hai’ah Kibar Ulama di berbagai tempat.

Acara ini dihadiri oleh Syekh Ibrahim Al-Hudhud, mantan rektor Universitas Al-Azhar, Syekh Abdul Fattah Al-Awary, mantan dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Al Azhar, Syekh Hasan Sholah Al- Shagir, Sekjen Hai’ah Kibar Ulama, dan beberapa syekh lainnya.

Acara ini diawali dengan pembacaan ayat suci Al Qur’an oleh imam Masjid Madinatul Bu’uts dan Al-Azhar Asy-Syarif, Syekh Mahmud. Kemudian acara dilanjutkan dengan sambutan Syekh Hasan Al-Shagir.

Syekh Ibrahim Al-Hudhud dalam awal penyampaiannya, mengungkapkan kebahagiaannya dapat duduk di antara ulama faqih dan mufassir, Syekh Hasan Al-Shagir dan Syekh Abdul Fattah Al Awariy. Selanjutnya, beliau menasehati para thalibul ilmi untuk bertakwa dan belajar secara sungguh-sungguh. Sebab dengan ketakwaan itulah, Allah banyak memberikan jalan bagi para penuntut ilmu.

“Supaya kalian saling mengingatkan satu sama lain, bahwa kedatangan kalian di Al-Azhar Al-Syarif adalah sebagai penuntut ilmu,” nasehat beliau.

Kemudian beliau mengajarkan bagaimana cara mengatur waktu di setiap harinya. Dalam nasehatnya, beliau menganjurkan agar setiap penuntut ilmu menggunakan waktunya minimal 8 jam setiap hari untuk membaca buku. Dengan rincian, 6 jam buku diktat dan 2 jam untuk buku bacaan ilmiah. Sisanya, 16 jam, digunakan untuk aktivitas harian. Jika pelajar istiqomah melakukan seperti ini, maka ia akan menjadi mahasiswa serta alumni Al-Azhar yang bernilai saat kembali ke negara asalnya.

Syekh Abdul Fattah Al-Awariy membenarkan nasehat Syekh Ibrahim Al-Hudhud. Beliau menambahkan bahwasanya ilmu dan akhlak adalah dua hal yang tidak boleh terpisahkan. Sebab, ilmu yang menjadi warisan nabi, tidak pantas bagi mereka yang menuntut warisannya tanpa mengikuti kemuliaan akhlaknya.

Beliau juga menyampaikan kisah Imam Syafi’i ketika berada dalam masa kesulitan belajar. Hal itu tidak lain disebabkan karena dosa-dosa kecil yang dilakukannya. Selain itu, beliau menegaskan tentang pentingnya memiliki guru dalam belajar. Bahkan hendaknya seorang penuntut ilmu menjalin hubungan baik dengan para ulama dan jangan sampai ada niat untuk meninggalkan mereka.

Reporter: Fatias dan Awwabin

Editor: Nusaibah Masyfu’ah

Read more
30Sep

Hadiri Peringatan Maulid Nabi, Wakil Grand Syekh Al-Azhar Sampaikan Keutamaan Ilmu

September 30, 2022 buutsfpib Kabar Azhar, Madinatul Bu'uts, News 19

Kairo, FPIB- Wakil Grand Syekh Al-Azhar Prof. Dr. Muhammad Al-Dhuwaini menghadiri acara peringatan maulid Rasulullah Saw. yang diadakan pada hari Kamis (29/9) di Stadion Madinatul Bu’uts. Kedatangan beliau juga untuk menyampaikan salam dari Grand Syekh Al Azhar, Prof. Dr. Ahmad Muhammad Ahmad al-Thayeb yang ditujukan kepada seluruh pelajar dan mahasiswa Al Azhar umumnya, dan untuk seluruh wafidin yang tinggal di Madinatul Bu’uts khususnya.

Dalam sambutannya, beliau merasa bahagia bisa bertemu dengan seluruh pelajar dan mahasiswa Al Azhar dari berbagai daerah dan negara. Al-Azhar dan Mesir sangat mencintai para penuntut ilmu. Para penuntut ilmu memiliki kedudukan yang mulia di Al-Azhar dan Mesir. Maka dari itu, pihak Al-Azhar juga Madinatul Bu’uts memiliki tanggung jawab untuk mengayomi dan memberikan hak-hak yang perlu diberikan, khususnya kepada para pelajar asing.

Tak lupa, dalam sambutannya beliau mengingatkan tentang pentingnya ilmu. Sebab, kemajuan sebuah umat tidak didapatkan kecuali dengan ilmu.

“Kedatangan kalian ke Al-Azhar adalah kedatangan untuk menuntut ilmu. Maka, diwajibkan bagi mereka yang datang ke Al-Azhar untuk menggunakan waktunya guna mencari ilmu dan sebab-sebab dibukakannya pintu pemahaman. Dengannya, kalian akan berakhlak mulia sebagaimana agama Islam mengajarkan,” ucapnya.

Harapan beliau, supaya wafidin mampu untuk kembali ke negaranya masing-masing, menjadi guru, da’i, hakim bahkan mufti sepulangnya dari Al-Azhar. Menegakkan sebuah kebenaran dan keadilan guna melestarikan risalah Rasulullah Saw. yang benar. Dan semua itu, akan muncul dengan cara mencintai Rasulullah Saw. Tentunya, merayakan hari kelahirannya salah satu bukti kecintaan kepada Baginda Nabi.

Reporter: Muhammad Awwabinhafizh

Editor: Nusaibah Masyfu’ah

Read more
12Agu

Masjid Al-Azhar dari Syiah Fatimiyah hingga Ayubbiyyah

Agustus 12, 2022 buutsfpib Kabar Azhar, Khazanah Islam 27

Masjid Al-Azhar saat pertama kali dibangun hanya sebuah shahnul (pelataran) masjid terbuka yang berbentuk persegi panjang yang dikeliling 3 dzillah (bangunan dengan atap untuk berteduh), yang paling besar adalah dzillah kiblat yang terdapat mihrab di dalamnya.

Masjid Al-Azhar saat pertama kali dibangun.

Dzillah Kiblat terdiri dari 5 ruwaq (serambi) yang sejajar dengan dinding kiblat sehingga memotong membentuk koridor masjid. Di atas “Dzillah Kiblat” terdapat 3 kubah, satu di tengah tepat di atas mihrab dan dua di ujung koridor.

Pada awalnya masjid Al-Azhar hanya mempunyai 3 pintu, pintu utama di tengah sebelah Utara dan 2 pintu lainnya terdapat di samping yang berada di dzillah sisi kanan dan kiri.

Bentuk bangunan Al-Azhar tetap seperti itu hingga pada zaman Khalifah Al-Hafidz Li Dinillah dengan menambah satu dzillah, maka sejak saat itu Al-Azhar memiliki 4 dzillah yang mengeliling shahnul masjid.

Dzillah yang dibangun pada zaman Kekhalifahan Al-Hafidz Li Dinillah.

Selain itu Al-Hafidz Li Dinillah juga menambah kubah yang dikenal dengan “Kubah Fatimiyah”, kubah ini terletak di tengah-tengah ruwaq dengan dekorasi hiasan tanaman dan khat kufi dari dalam kubah, dan kubah ini merupakan kubah paling lama yang masih tersisa dengan hiasan dari dalam.

Kubah Fatimiyah

Masjid Al-Azhar pertama kali dibangun sebagai masjid resmi untuk Dinasti Fatimiyah yang baru memerintah Mesir. Selain itu juga sebagai pusat ruh dan penyebaran madzhab syiah di Mesir.

Pada zaman Khalifah Al-Aziz Billah, Al-Azhar digunakan pertama kali sebagai lembaga pendidikan ilmiah. Perdana Menteri Ya’qub bin Killis merupakan orang pertama yang mempunyai ide ini ketika meminta izin kepada khalifah pada tahun 378 H/ 988 M untuk menjadikan Al-Azhar tempat para ahli fiqih membuat majlis ilmu dengan mengaji buku dan belajar.

Selain menjadi kepala dan pengurus masjid kegiatan ilmiah di Al-Azhar, Ya’qub bin Killis juga memberikan gaji kepada para pengajar, membangun rumah tinggal untuk mereka di sekitar masjid Al-Azhar. Jumlah para pengajar mencapai 37. Mereka membuat halaqah ilmiah dari setelah Shalat Jumat hingga Shalat Ashar.

Pemberhentian Shalat Jumat di Masjid Al-Azhar di Zaman Dinasti Ayyubiyyah

Kegiatan keagamaan masih berlangsung hingga runtuhnya Fatimiyah oleh Sultan Shalahudin Al-Ayubbi yang sebelumnya adalah Menteri Khilafah Fatimiyah dengan bermadzab Sunni Syafi’i.

Pada zamannya semua kegiatan dan renovasi diberhentikan. Seperti juga menghentikan shalat dan khutbah Jumat di Masjid Al-Azhar dengan cukup memusatkannya di Masjid Hakim bi Amrillah; hal ini berdasarkan dengan madzhab syafi’iyyah yang melarang dua Khutbah Jum’at di dalam satu wilayah, dan juga karena luas Masjid Al-Azhar lebih kecil dari Masjid Hakim bi Amrillah. Apalagi setelah bertambahnya jumlah penduduk Kairo pada waktu saat ini.

Sebab lain yang sebenarnya dari pemindahan kegiatan agama dan politik dari Masjid Al-Azhar ke Masjid Hakim bi Amrillah adalah ide Sultan Shalahudin Al-Ayubbi dalam melemahkan pengaruh madzhab syiah di Mesir.

Sultan Shalahuddin juga membangun banyak madrasah baru, yang pertama kali di bangun adalah Madrasah An-Nashiriyyah yang dibangun pada tahun 566 H di samping Masjid Amru bin Ash untuk pengajaran Fiqih Syafi’i.

Begitu pula Madrasah Al-Qamhiyah (Fiqih Maliki) di Faiyum, yang terkenal bahwa Sejarawan Ibnu Khaldun mengajar di sana. Kemudian banyak para sultan, amir dan orang-orang tinggi yang berlomba-lomba membuat madrasah di Kairo dan Mesir hingga membuat Al-Azhar kehilangan pamornya sebagai kegiatan ilmiah pada masa Dinasti Ayyubiyyah.

Namun walaupun kegiatan agama sudah dipindah, dan kegiatan ilmiah di masjid Al-Azhar mengalami kemunduran selama 100 tahun di masa Dinasti Ayyubiyyah, Al-Azhar masih digunakan sebagai kegiatan ilmiah yang tidak berhubungan madzhab syiah seperti Bahasa Arab, Kedokteran, Matematika, Mantik, Filsafat, dsb. (Tri Wi Farma/Mahasiswa Jurusan Peradaban di Universitas Al-Azhar)

Referensi:

Muhammad Ali Abdul Hafidz, Al-Atsar Al-Arabiyyah Al Islamiyyah Hatta Muntashof Al-Qarni As-Sabi’ Al-Hijri, Mathba’at Al-Thayyib, Kairo: 2020. Hal 94-95.

Ibnu Abdul Dzahir, Ar-Raudhah Al-Bahiyah Az-Zahirah fii Khuthathi Al-Muizziyah Al-Qahirah, Tahqiq Aiman Fuad Said, Jilid 1, Kairo: 1996.

Su’aad Mahir Muhammad.  Masajidu Misr wa Auliya’aha al-Sahalihuun, jilid 1. Majlis al-A’la li al Syuun al- Islamiyyah. Kairo: 2014. Hal 165-168.

Read more
31Jul

Sebab Didirikan dan Sebab Penamaan Masjid Al-Azhar Kairo

Juli 31, 2022 buutsfpib Info, Kabar Azhar 17

Masjid Al-Azhar adalah masjid ke-4 di Mesir setelah Masjid Amru bin Ash, Masjid Kota Askar, dan Masjid Ibnu Tulun. Masjid pertama yang didirikan di Fatimiyah Kairo, serta termasuk salah satu peninggalan tertua yang tersisa dari Dinasti Fatimiyah di Kairo.

Panglima Jauhar Ash-Shiqily mulai membangun Masjid Al-Azhar dengan perintah dari Khalifah Fatimiyah, Al-Muiz Li Dinillah, pada hari Sabtu, 23 Jumadal Ula 359 H/ 4 April 970 M. Selesai pembangunan pada Tahun 361 H/972 M, dan dibuka pertama kali awal Jumat pada Bulan Ramadhan pada tahun yang sama.

Pembangunan Masjid ini dibangun setelah pembangunan kota Kairo beserta tembok, dan istananya di Timur Laut Kota Fustat di tempat yang sebenarnya hanya padang pasir dan bebatuan.

Sebab Awal Mengapa Didirikan Masjid Al-Azhar

Ada beberapa sebab mengapa Panglima Jauhar Ash-Shiqily membangun masjid jami’ untuk ibu kota baru Mesir, Kairo, berikut penjelasanya:

  1. Mengikuti apa yang sudah dilakukan Rasulullah Saw ketika merancang kota Madinah Munawarah dan apa yang telah dilakukan Khulafa’ al-Rasyiddin serta kaum muslim dalam merancang kota mereka, yaitu dengan membuat istana dan masjid sebagai pusat kota.
  2. Dari sisi lain Jauhar Ash-Shiqily dengan kepandaian dan pandangan siasatnya yang baik ingin menjadikan masjidnya sebagai tempat penyebaran dan pembelajaran ajaran syiah, hingga penduduk Mesir tidak lagi menggunakan masjid lainnya sebagai tempat untuk syiar sunni dan khutbah agama.

Sebab Penamaan Masjid Al-Azhar

Ada banyak perbedaaan pendapat tentang penamaan Al-Azhar untuk masjid ini:

  1. Sebagaian besar peneliti nama Al-Azhar diambil dari Sayyidah “Fatimah Az-Zahra Ra”, putri Rasulullah Saw, karena berdasarkan perkataan syiah bahwa Fatimiyah merupakan keturunannya.
  2. Pendapat lain mengatakan berdasarkan istana-istana yang penuh bunga yang dibangun berdekatan dengan masjid ii.
  3. Pemberian nama Al-Azhar sebagai optimisme Fatimiyah bawah suatu saat nanti masjid ini akan menjadi besar dalam “izdzihar” atau perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan di dalamnya.
  4. Pendapat terakhir mengatakan bahwa perberian nama Al-Azhar ((الأزهر merupakan kebiasaan orang-orang Fatimiyah dalam pemberian nama masjid-masjid mereka dalam bentuk Af’alu al-Tafdhil(أفعل التفضيل)  seperti masjid Fatimiyah lainnya, Masjid Hakim bi Amrillah (Al-Anwar), Masjid Al-Amru bi al-Ahkamillah (Al-Aqmar) yang keduanya berada di Syari’ Muiz Li ad-Dinillah.

Kesimpulannya, bahwa tidak ada pendapat yang jelas dalam penamaan masjid ini, tapi pendapat paling terkenal bahwa nama Al-Azhar berhubungan dengan nama Sayyidah Fatimah Az-Zahra Ra.

Referensi:

Muhammad Ali Abdul Hafidz. Al-Atsar Al-Arabiyyah Al Islamiyyah Hatta Muntashof Al-Qarni As-Sabi’ Al-Hijri, Kairo: Mathba’at Ath-Thayyib. 2020.

Ibnu Abdul Dzahir. Ar-Raudhah Al-Bahiyah Az-Zahirah fii Khuthathi Al-Muizziyah Al-Qahirah, Tahqiq Aiman Fuad Said, Jilid 1. Kairo: 1996.

Penulis: Tri Wi

Editor : Nusaibah Masyfu’ah

Read more
14Apr

Menilik Hubungan Universitas Al-Azhar Mesir dengan Indonesia

April 14, 2022 buutsfpib Kabar Azhar 12
Kisah Para Ulama Menghormati Kepakaran Satu Sama Lain – Basis 13

(Edisi Spesial Ramadhan: Milad Al-Azhar ke-1082 Vol. 07)

Tahukah kamu bahwa Al-Azhar menyebarkan risalah perdamaian ke penjuru dunia? Pada tahun 2018 Grand Syekh memberikan perhatian yang sangat besar bagi Organisasi Internasional Alumni Al-Azhar. Grand Syekh Al-Azhar, Ahmad Al-Thayyib melakukan pertemuan dengan alumninya di seluruh dunia demi menyambung tali antara Al-Azhar dengan alumni-alumninya yang tersebar penjuru dunia.

Al-Azhar juga mengadakan pelatihan imamah dan dai bagi pelajar luar negeri agar menjadi utusan Al-Azhar di negaranya, serta menyambung komunikasi antaralumni yang sudah ada dengan mengadakain festival budaya dan olahraga.

Dikutip dalam Al-Ahram, Muhyiyuddin Afify, Sekretaris Umum Majma’ Al-Buhust Al-Islamiyyah (Akademi Riset Islam), mengatakan bahwa Grand Syekh Al-Azhar, Ahmad Al-Thayyib melakukan tour ke Asia dengan mengunjungi negara-negara Islam seperti, Indonesia, Singapura dan Brunei untuk menyebarkan dan menekankan nilai-nilai kemanusian dan kemoderetan Islam.

Melihat 2 tahun sebelumnya, pada tahun 2016 Grand Syekh Al-Azhar, Ahmad Al-Thayyib sudah mengunjungi Indonesia beserta rombongan Majlis Hukama Al-Muslimin. Kunjungan ini untuk mempererat hubungan antara masyarakat muslim Indonesia dengan Al-Azhar. Beliau memberikan kuliah umum dengan para alumninya di Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Grand Syekh juga menerima penganugrahan gelar doktor kehormatan dari UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, serta mengadakan pertemuan dengan keluarga besar Pondok Modern Darussalam Gontor di Ponorogo, sekaligus pembukaan perayaan 90 tahun Pondok Gontor.

Dilansir dalam Website Sekretariat Kabinet RI, pada 30 April 2018 Presiden Indonesia, Jokowi menerima kunjungan Grand Syekh Al-Azhar, Ahmad Al-Thayyib di pintu Istana Merdeka, Jakarta. Kedatangan beliau merupakan  undangan langsung dari Presiden Jokowi.

Masih di Istana Merdeka, Grand Syekh bertemu dengan Anggota Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dan ketuanya, Megawati Soekarnoputri. Menurut Detik News dalam pertemuan ini, Grand Syekh memuji ideologi Pancasila, beliau berharap BPIP diadopsi di negara lain yang mengalami konflik akibat masalah ideologi. Karena Pancasila seperti Universitas Al-Azhar yang juga mengemban misi perdamain dunia yang mengembangkan sikap saling menghormati sesama umat manusia tanpa membedakan latar belakang SARA.

Sebenarnya kedatangan Grand Syekh Al-Azhar, Ahmad Al-Thayyib ke Indonesia untuk menghadiri KTT Ulama dan Cedikiawan Muslim Dunia atau High Level Consultation (HLC) of World Muslim Scholars on Wasatiyat Islam.

Acara yang digelar awal Mei 2018 di Bogor, Jawa Barat ini dihadiri 100 ulama dan tokoh-tokoh dari dalam dan luar negeri. Dalam acara ini Grand Syekh Al-Azhar mengatakan bahwa wasatiyah Al-Azhar Al-Syarif berdasarkan pada wasathiyah Islam yang mengimbau masyarakat akan bahaya pemikiran sempit yang menyeleweng dan mengatasnamakan agama dalam tindakannya yang bertentangan.

Perlu diketahui alumni Al-Azhar mencapai 30 ribu tersebar di Indonesia, dengan jumlah yang sangat besar ini Grand Syekh menginginkan komunikasi dengan alumni Al-Azhar di Indonesia. Selama kunjungan ini Grand Syekh juga menghadiri reuni alumni Universitas Al-Azhar di Solo, acara ini juga dihadiri oleh tokoh Indonesia, antara lain Menteri Agama Saat itu, Lukman Hakim Saifuddin, Muhammad Quraish Shihab, dan Gubenur NTB, Muhammad Zainul Majdi alias Tuan Guru Bajang (TGB) selaku Ketua Organisasi Internasional Alumni Al-Azhar (OIAA).

Selain mengikuti KTT, Grand Syekh juga mengisi kuliah umum di Universitas Muhammadiyah Surakarta dan Pondok Modern Darussalam Gontor Putri. Seperti apa yang dilasir NU Online, Grand Syekh juga membahas tentang Islam Moderat dan Islam Nusantara di PBNU.

Dalam Majalah Tazakka Edisi Khusus Kunjungan Syekh Al-Azhar ke Indonesia, sebenarnya sebelum dua kunjungan Grand Syekh Ahmad Al-Thayyib pada tahun 2016 dan 2018, kunjungan ke Indonesia sudah dilakukan oleh Para Syekh Al-Azhar sebelumnya, seperti, Syekh Mahmud Syaltut (1960), Syekh Abdul Halim Mahmud (1976), Syekh Jadul Haq Ali Jadul Haq (1995 M), Syekh Muhammad Sayyid Al-Thanthawi (2006). Dari kunjungan-kunjungan ini terbukti bahwa selama bertahun-tahun mempunyai hubungan yang sangat baik dengan Indonesia.

Selain Universitas Al-Azhar sendiri, Mesir sudah memiliki ikatan emosional dengan bangsa Indonesia sejak dahulu. Pada 22 Maret 1946, Mesir menjadi negara yang yang mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia pertama kalinya. Karena Indonesia dan Mesir memiliki banyak kesamaan, Indonesia termasuk negara yang banyak menganut Islam, sehingga Mesir bersama Liga Arab mendukung kemerdekaan Indonesia dengan ikatan saudara sesama muslim. Indonesia dan Mesir juga memiliki banyak kesamaan ideologi, terbukti dengan kedua negara ini menjadi negara anggota GNB (Gerakan No Blok) dan peserta dai KTT (Konferensi Tingkat Tinggi) Asia-Afrika.

Hubungan Indonesia dengan Al-azhar sudah dari zaman dahulu bahkan sebelum Indonesia merdeka, banyaknya pelajar Indonesia inilah yang membuat hubungan Indonesia, Mesir, dan Al-Azhar semakin kuat. Sebagai bukti banyaknya ulama-ulama Indonesia lulusan Al-Azhar dan adanya Ruwaq Jawi yang dikhususkan bagi masyarakat Nusantara di Masjid Al-Azhar.

Sampai sekarang setiap tahunnya ribuan pelajar Indonesia selalu datang ke Universitas Al-Azhar untuk menuntut ilmu, bukan hanya pelajar tingkat strata satu, mamun juga tingkat magister hingga pelatihan khusus imamah dan dai.

Risalah perdamaian Al-Azhar untuk penjuru dunia sangatlah penting di saat menyebarnya paham keras menyeleweng seperti radikalisasi dan takfirisasi dengan banyaknya umat yang saling mengkafirkan satu sama lain untuk membuat perpecahan. Mengkafir-kafirkan orang lain merupakan kebodohan terhadap memahami ruh dan substansi agama.

Islam adalah agama perdamaian yang disebarkan dengan kasih sayang dan menjalin hubungan baik dengan orang lain. Untuk itu hubungan baik Indonesia dan Al-Azhar merupakan secuil contoh risalah perdamaian, sebuah kebaikan yang harus tetap kita jaga dan lestarikan di mana saja. Untuk itu kita sebagai pelajar di Universitas maupun sudah alumni harus tetap menjaga hubungan baik ini dengan belajar lebih giat, berprestasi, serta selalu bertanggung jawab dengan seluruh kepercayaan Al-Azhar dalam memudahkan mahasiswa Indonesia belajar di Universitas Al-Azhar. (Wi Farma/Mahasiswa Jurusan Peradaban di Universitas Al-Azhar)

Referensi:

شيماء عبد الهادي، جولة الإمام الأكبر الآسيوية تؤكد عالمية الأزهر ودوره في ترسيخ دعائم السلام، تم إصدار في بوابة الأهرام 2 من مايو 2018.

Humas Sekretariat Kabinet RI, Terima Syekh Al-Azhar, Presiden Jokowi Bahas Kerja Sama Syiarkan Wasathiyah. www.setkab.go.id, dipublikasikan pada 30 April 2018.

Humas Sekretariat Kabinet RI, Terima Grand Syekh Al-Azhar, Ketua Dewan Pengarah BPIP Mengaku Bicara Soal Islam Moderat. www.setkab.go.id, dipublikasikan pada 3 Mei 2018.

Andhika Prasetia, Imam Temui Mega ddk, Puji Ideologi Pancasila. www.news.detik.com, dipublikasikan pada 3 Mei 2018.

Budi Ardi Isnanto, Grand Syekh, TGB, Menag Hadiri Reuni Alumni Al-Azhar Indonesia. www.news.detik.com, dipublikasikan pada 1 Mei 2018.

Fathoni, Poin Utama Grand Syekh Al-Azhar dengan PBNU. www.nu.or.id, dipubliksikan pada 3 Mei 2018.

مجلة تزكى، العدد الخاض زيارة الشيخ الأزهر لإندونيسيا عام 2018م.

Kementrian Luar Negeri RI, Sejarah Hubungan Indonesia Mesir, www.kemenlu.go.id

Read more
12Apr

Observatorium; Implementasi Kemodernan Al Azhar Dalam Misi Perdamaian

April 12, 2022 buutsfpib Kabar Azhar 13

(Edisi Spesial Ramadhan: Milad Al-Azhar ke-1082 Vol. 06)

Akhir-akhir ini dunia digemparkan dengan publikasi media terkait invasi Rusia terhadap Ukraina. Yang bahkan diperkirakan bisa mendorong terjadinya perang dunia ke-3. Ini bukan kali pertama dunia dihadapkan dengan permasalahan yang demikian. Problematika perdamaian seakan tak pernah usai.

Hal ini relavan dengan data yang ada. Menurut Global Index Peace 2020 tingkat rata-rata kedamaian negara global telah memburuk dengan 0,07%, ini merupakan penurunan kesembilan dalam 13 tahun terakhir. Tedapat 73 Negara yang mengalami penurunan perdamaian. Penurunan didorong oleh perubahan yang terjadi dalam: militerisasi, pengeluaran militer, serta keselamatan dan keamanan.

Tidak hanya itu, pergerakan-pergerakan yang bersifat radikalis serta ekstrimis masih sering kali pula terdeteksi. Pergerakannya memiliki kontinuitas yang bisa dikatakan stabil, baik secara terang-terangan ataupun sebaliknya. Paham-paham mereka mulai tersebar luas di masyarakat baik melalui media, seperti situs web, surat kabar, ataupun acara televisi. Bahkan mereka tidak segan untuk merambah ranah pendidikan, baik menyusup dalam kurikulum sekolah atau dari seorang oknum radikalis yang menyamar menjadi kontributor dalam dunia pendidikan. Ancaman teror pun juga gencar mereka gaungkan. Serangan di berbagai daerah tidak dapat dihindari. Korban-korban berjatuhan, serta kerugian menyeluruh dalam segala aspek.

Hal-hal semacam ini tidak bisa dianggap angin lalu begitu saja. Satu-persatu lembaga mulai menaruh perhatiannya pada masalah ini. Berbagai upaya di usahakan demi mencapai perdamaian dunia.

Begitupula yang dilakukan oleh Al-Azhar, sebuah lembaga yang eksistensinya tidak lekang oleh zaman. Berdiri lebih dari 1080 tahun yang lalu menjadikan usianya sudah lebih dari dewasa. Kiprahnya terhadap dunia sudah tidak diragukan lagi. Wujud-wujud kontribusi nyata baik dalam bidang pendidikan atau apapun itu semua berjalan selaras dengan kearifannya sebagai kiblat ilmu.

Dengan diresmikannya Observatorium Al-Azhar pada 3 Juni 2015 silam, menjadi salah satu pilar modernitas Al-Azhar dalam kontribusinya terhadap perdamaian dunia khususnya dalam penanganan radikalisme dan ekstrimisme. Dilansir dari laman al-ain.com, dalam acara peresmiannya Grand Syekh Al-Azhar, Ahmad Thayeb, menyampaikan tujuan didirikan observatorium tersebut bahwa Al-Azhar ingin mengadopsi visi modern baru serta ingin mendorong kader-kader muda yang mampu merespon budaya dan peradaban yang berbeda. Orang-orang yang bertanggung jawab atas pekerjaan ini dipilih dari mereka yang fasih berbahasa asing, peneliti di bidang ilmu forensik, dan mampu memahami permasalahan dari perspektif Islam. Sehingga mampu membedakan yang buruk dari yang baik dalam pondasi sesuai pilar-pilar yang ada dalam agama yang murni ini.

Beliau juga menyampaikan bahwa ide pendirian observatorium ini sebagai mata Al-Azhar untuk melihat apa yang terjadi di dunia serta untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang datang mengenai pendapat Al-Azhar terhadap isu-isu kontemporer dan perkembangan yang terjadi di berbagai tempat khususnya dalam Islam dan Muslim.

Sejak didirikannya, observatorium sendiri telah menerima lebih dari 200 kunjungan pejabat tinggi, kepala negara, menteri, delegasi lokal maupun asing, dan juga peneliti yang peduli dengan bidang ekstrimisme dan terorisme dari berbagai negara di dunia. Selain itu observatorium juga telah mengeluarkan lebih dari 25.000 laporan berkala baik harian, mingguan, dan bulanan. 2.100 diantaranya di laman media sosial dan 2.350 di portal elektronik Al-Azhar. Sedangkan jumlah publikasi dalam bahasa asing mencapai sekitar 3.300 berupa media cetak dan 2.625 diunggah melalui portal elektronik sebagaimana dilansir dari alwafd.news.

Mekanisme kerja dalam observatorium ini terbagi menjadi 13 unit yang bekerja dalam bahasa Arab dan asing. Diantara tugas para peneliti adalah mengoreksi kesalahpahaman, menghilangkan kecurigaan yang disebarkan oleh kelompok teroris, serta menghadapi fenomena “Islamophobia”. Pusat penelitian ini sendiri bekerja dalam 12 bahasa yang mana dari setiap unit mengeluarkan artikel, tindak lanjut, berita, ataupun pesan kesadaran untuk dipublikasikan dalam bahasa masing-masing. Bahasa-bahasa tersebut adalah Inggris, Prancis, Jerman, Spanyol, Urdu, Persia, Swahili, Cina, Italia, Ibrani, dan tentunya yang terakhir adalah bahasa Arab.

Perlu menjadi catatan bahwa Observatorium Al-Azhar juga turut berpartisipasi dalam Pameran Buku Internasional Kairo ke-53 dengan sejumlah publikasi yang dicetak dalam bahasa Arab dan asing, Mengutip gate.ahram.org.eg buku-buku yang diterbitkan tersebut diantaranya: “Pelanggaran Terhadap Rakyat dan Kesucian Palestina”, “Realitas Jihad dalam Islam, Ekstrimisme, dan Ciri-ciri Kepribadian Ekstrimis”, “Kilasan Terang Sejarah Islam di Cina”, “Bangkitnya Islamofobia di Eropa”, “Dokumen Persaudaraan Kemanusiaan”, dan “Ujaran Kebencian di Media Global”.

Berbanding lurus dengan misinya untuk menegakkan wasatiyatul ummah Al-Azhar mengambil jalan tengah terbaik yang dapat kita lihat secara gamblang. Contohnya saja dalam menghadapi hal-hal yang berkaitan dengan intelektual atau hukum, Al-Azhar khususnya obeservatorium berusaha menjawab dengan proporsi yang tepat agar dapat dipahami berbagai kalangan. Tidak hanya intelektual, namun juga umat non-muslim dan masyarakat awam. Pemaparan tersebut tidak hanya berhenti dalam pemaparan ayat-ayat Al-Qur’an, hadis nabi, ataupun narasi-narasi keagamaan lainnya, namun juga memaparkan bagaimana cara memahaminya dengan baik, menghadapinya, juga memproyeksikan dalam kejadian nyata sehari-hari. Termasuk dalam realitas perubahan dan lingkungan serta budaya yang berbeda-beda. Hal-hal tersebut yang menjadi cermin kemoderatan Al-Azhar sendiri dengan pembaharuan yang logis dan seimbang memberikan kita kejelasan tujuan dalam gaya yang lebih sederhana serta lebih mudah diterima oleh khalayak. Seperti tujuan didirikannya, observatorium hadir tidak hanya ditujukan kepada orang Islam, tetapi untuk manusia seluruhnya dari berbagai daerah dan budaya yang berbeda. Oleh karena itu, dirasa sangat perlu merangkum segala sesuatunya dalam diksi yang lebih sederhana dengan tetap berlandaskan ilmu syariah dan akal yang seimbang.

Berangkat dari kontirbusi dan upaya Al-Azhar di atas, sudah cukup menjadi bukti akan kemoderatan Al-Azhar tanpa mengecilkan nilai-nilai keagamaan. Melainkan sebaliknya, justru nilai-nilai keagamaan inilah yang melandasi Al-Azhar dalam segala misinya. Dari sini pula kita bisa melihat bahwa bukan hanya dunia yang memandang Al-Azhar. Tetapi juga Al-Azhar memandang dunia. Perhatian Al-Azhar begitu besar dalam segala aspek kehidupan manusia. Kasih Al-Azhar kepada dunia abadi sepanjang masa. (Atina Husna/ Mahasiswi Universitas Al-Azhar Jurusan Psikologi)

Read more
10Apr

Peran Al Azhar dalam Menjaga Perdamaian

April 10, 2022 buutsfpib Kabar Azhar 13

(Edisi Spesial Ramadhan: Milad Al-Azhar ke-1082 Vol. 05)

Budaya perdamaian merupakan pilar peradaban yang harus senantiasa dijaga dari masa ke masa. Lenyapnya perdamaian menandakan lenyapnya rahmat di atas muka bumi, dan hilangnya rahmat menandakan bahwa umat Islam sedang kehilangan kendali akan substansi ajaran Islam itu sendiri. Mengapa demikian? Karena Nabi Muhammad SAW diutus untuk membawa rahmat bagi alam semesta. Bahkan, Islam tidak hanya melarang aksi terorisme dan kekerasan, sekedar menukut-nakuti yang dilakukan untuk bergurau dan bercanda pun dilarang.

Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ أَشَارَ إِلَى أَخِيْهِ بِحَدِيْدَةٍ فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَلْعَنُهُ حَتَّى يَدَعَهُ وَإِنْ كَانَ أَخَاهُ لِأَبِيْهِ وَأُمِّهِ (رواه مسلم)

“Barang siapa yang mengacungkan besi kepada saudaranya, sesungguhnya malaikat melaknatnya hingga ia meninggalkannya,meskipun itu kepada saudara seayah dan seibunya” (H.R. Muslim) [1].

Dalam hadits lain disebutkan:

لاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يُرَوِّعَ مُسْلِمًا (رواه أبو داود)

“Tidak dihalalkan bagi seorang muslim untuk menakut-nakuti muslim lainnya” (H.R. Abu Daud) [2].

Al-Azhar sebagai benteng keilmuan dan mercusuar peradaban yang telah mengawal umat dari masa ke masa tentu memiliki beban moral untuk mengambil sikap dan tindakan yang mampu memadamkan kobaran kebencian dan permusuhan di Barat dan Timur. Harus diakui bahwa saat ini kita sedang berada dalam situasi yang banyak mengorbankan umat Islam. Hal ini dikarenakan hilangnya pandangan maqashid yang tentu saja menggelisahkan dunia ijtihad. Di samping itu, krisis ini juga disebabkan munculnya fatwa impor dalam bentuk kemasan lintas negara tanpa memperhatikan kondisi masyarakat yang memiliki perbedaan adat-istiadat, budaya, dan bahasa.

Dengan demikian, Al-Azhar telah menyiapkan kader-kader yang kredibel dengan membentuk para imam di luar negeri dengan memberikan penyuluhan kepada mereka tentang permasalahan yang bersinggungan dengan kebutuhan kaum muslim dalam berbagai bidang. Mereka juga telah diberikan pelatihan melalui seminar-seminar yang diselenggarakan oleh Ikatan Alumni Al-Azhar Internasional di Kairo, yaitu sebanyak 538 imam dari Afghanistan, Pakistan, Kurdistan, Iraq, Cina, Indonesia, Inggris, Yaman, juga negara-negara Afrika dan Amerika Selatan [3].

Teror yang dalam banyak kesempatan menggunakan topeng agama serta datangnya dukungan dari politik-politik gelap internasional dengan jumlah uang yang berlimpah, telah mendorong Dewan Cendekiawan Muslim untuk bekerja sama dengan Al-Azhar dengan mengirimkan delegasi perdamaian ke berbagai negara dunia [4]. Hal ini bertujuan untuk mengenali kondisi kaum muslimin di negara-negara tersebut dan menyebarkan Fikih Perdamaian di antara mereka, serta berkontribusi dalam menjaga mereka dari teror yang sama sekali tidak mempedulikan perlindungan, dan kasih sayang.

Misi menghidupkan Fikih Perdamaian telah menjadi pintu pertolongan untuk menyelamatkan umat manusia secara umum, dan umat islam pada khususnya dari bahaya teror dan bencana ekstrimisme bersenjata.

Ketetapan hakikat secara teoritis yang bersumber dari berbagai referensi dalam akidah Ahlussunnah wal Jama’ah, merupakan metode yang dianut Al-Azhar dalam penyelenggaraan pendidikan dan pembentukan pengajaran di institut yang berusia tua ini. Lembaga ini diwarnai dengan corak pemikiran yang seimbang, serta perpaduan intelektualitas yang komprehensif guna mewujudkan persatuan umat islam selama mereka bersatu menghadap satu kiblat.

Prof. Dr. Ahmad At-Thayyeb selaku Syaikhul Azhar senantiasa memperhatikan kurikulum diktat fakultas-fakultas di Universitas Al-Azhar, agar para mahasiswa terbiasa berinteraksi dengan berbagai teks para imam dari berbagai madrasah pemikiran dan aliran ijtihad [5]. Oleh karena itu, spirit moderatisme telah tertanam teguh dalam diri mereka guna membendung kecenderungan fanatisme, ekstrimisme, dan sempitnya pandangan yang dapat menggerogoti tubuh umat.

Hal ini berdasarkan peringatan Rasulullah SAW melalui sabdanya:

يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِيْ الدِّيْنِ ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ الْغُلُوَّ فِيْ الدِّيْنِ (رواه ابن ماجه)

“Wahai Manusia! Jauhilah sikap berlebih-lebihan (ekstrem) dalam beragama, karena kaum sebelum kalian telah musnah disebabkan sikap berlebih-lebihan dalam beragama” (HR. Ibnu Majah) [6].

Pemahaman terhadap upaya-upaya yang dilakukan Al-Azhar dalam membangun hubungan kemanusiaan, tidak akan terwujud dalam bentuk yang benar kecuali jika ia telah berdamai dengan dirinya sendiri dan dengan Allah SWT. Jika rasa damai ini telah sempurna, maka ia akan berpengaruh positif terhadap hubungannya dengan yang lain. Dengan kata lain, jika hati dan iman telah menyatu, maka buahnya adalah adanya interaksi yang baik dengan orang lain, karena Islam meminta pemeluknya agar mampu beradaptasi dengan baik [7].

Kehidupan yang harmonis dapat terwujud dengan cara memberikan pendidikan hati dan nilai-nilai agama. Bersatunya iman dan kasih sayang dalam diri seseorang, akan membentuk pribadi-pribadi tangguh yang menjadikan masyarakat seperti bangunan kokoh yang saling nenguatkan satu sama lain. (Fatias Risantara Akbar/ Mahasiswa Universitas Al-Azhar Jurusan Syariah Islamiyah)

[1] H.R. Muslim, No: 2616.

[2] H.R. Abu Daud No. 5004 dari sekelompok sahabat Nabi Saw., Al-Munawi berkata dalam “Al-Taysir bin Syarh Al-Jami’ As-Shaghir”: 2/504: “Sanadnya Hasan”.

[3] Pidato Grand Syaikh tentang Toleransi dan Peradaban, jilid 1, hal. 13.

[4] Ibid, hal. 89.

[5] Ibid, hal.19.

[6] H.R. Ibnu Majah, No: 3029.

[7] Prof. Dr. Mahmud Hamdi Zaqzuq, Manusia dan Norma dalam Perspektif Islam, hal. 62.

Read more
08Apr

Sejak Kapan Al Azhar Menjadi Kiblat Keilmuan Islam?

April 8, 2022 buutsfpib Kabar Azhar 12

(Edisi Spesial Ramadhan: Milad Al-Azhar ke-1082 Vol. 04)

Pertanyaan yang agak rumit. Sebab harus menoleh ke belakang; melihat sejak kapan Al-Azhar melahirkan bintang-gemintang ulama yang ilmunya diteguk oleh umat Islam sepanjang masa ke masa.

Muiz Lidinillah mulai membangun Al-Azhar pada hari sabtu bulan Jumadil Awal tahun 359 H (970 M) dan pembangunan itu selesai tanggal 7 Ramadhan 361 H atau 22 Juni 972 M. Ketika itu tentu Al-Azhar masih belum menjadi kiblat keilmuan Islam. Sebab pusat keilmuan Islam masih terpusat di Baghdad dengan mahligai keindahan Bayt al-Hikmah-nya dan Andalusia yang mempesona dengan ulamanya. Al-Azhar masih kanak-kanaknya untuk disebut sebagai kiblat keilmuan.

Meskipun demikian, Al-Azhar telah memulai halakah-halakah keilmuannya dengan mengajarkan kitab-kitab mazhab Syiah Imamiyah. Al-Maqrizi, murid kesayangan Ibnu Khaldun mengatakan bahwa kitab yang pertama kali diajarkan di Al-Azhar adalah kitab matan fikih syiah, al-Iqtishar.

Pengajian di Al-Azhar tidak hanya untuk laki-laki, tapi juga ada majelis khusus untuk para perempuan, baik perempuan kerajaan maupun perempuan umum.

Berabad kemudian, Baghdad dan Andalusia di ambang kehancuran perang. Para warga termasuk ulama banyak yang melarikan diri. Tentara Mongol menghancurkan dan meluluhlantakkan Baghdad beserta perpustakaan besarnya; Bayt al-Hikmah. Buku-buku yang ada di dalamnya dibuang ke sungai. Sayang sekali tidak ada PDF yang bisa menjaga kitab-kitab yang dibuang itu. Bahkan bukan cuma itu,  sekitar satu juta orang dibunuh oleh pasukan jahanam kaum Mongol. Syekh Usamah Sayyid Azhari sampai mengatakan bahwa kejadian itu merupakan musibah terbesar dalam sejarah manusia setelah banjir besar yang menimpa kaum Nabi Nuh.

Andalusia juga begitu. Menemui ajalnya. Orang-orang dibunuh, dibantai dan disiksa sepuasnya.

Kedua pusat keilmuan itu runtuh.

Pada masa Saladin al-Ayyubi al-Syafii al-Asy’ari, beliau menciptakan madrasah-madrasah di Mesir. Jumlahnya mencapai puluhan. Tujuannya tak lain untuk menandingi Al-Azhar yang pada masa itu masih memegang erat pemahaman Syiah.

Al-Azhar akhirnya ditutup selama hampir seabad. Lockdown yang amat lama sekali. Akan tetapi, madrasah-madrasah yang dibuat oleh Saladin di Mesir tetap berjalan sebagaimana biasa. Hingga pada suatu hari, Al-Azhar dibuka kembali.

Imam Suyuthi mengatakan:

وقد غدا الأزهر منذ أواخر القرن السابع أي منذ غلق معاهد بغداد وقرطبة كعبة الأساتذة والطلاب من سائر العالم. وغدا أعظم مركز للدراسات الإسلامية العامة حتى أطلق عليه في عصر الممالك العصر الذهبي للأزهر.

“Sungguh Al-Azhar di akhir abad ke tujuh, yaitu sejak ditutupnya madrasah-madrasah Baghdad dan Cordoba (Andalus), Al-Azhar telah menjadi kiblat para ulama dan pencari ilmu di seluruh persada bumi. Dia telah menjadi pusat pembelajaran Islam secara umum sampai-sampai disebutkan bahwa al-Azhar yang ada pada masa Mamalik itu sebagai masa keemasan bagi Al-Azhar.”

Pernyataan itu tidaklah berlebihan. Sebab akhir abad ketujuh, memang banyak bermunculan ulama-ulama kibar yang mengunjunginya Al-Azhar atau lahir di sana. ‘Allamah Ibnu Khaldun menginjakkan kakinya di teras Al-Azhar sekitar pada tahun 783 H. Di Al-Azhar beliau menuliskan beberapa karyanya. Abad ketujuh muncul juga ulama sekaliber Imam Ibnu Hajar Asqalani, Imam Mahalli, Badruddin Zarkasyi, dan lain-lain.

Ibnu Mandhur, seorang ulama lughah (bahasa) yang memiliki kitab fenomenal;  Lisan al-Arab yang mencakup sekitar 80 ribu akar kata bahasa Arab, menuliskan kitabnya di Al-Azhar. Fairruzabadi sempat menuliskan kamusnya yang fenomenal, Qamus al-Muhith, di Al-Azhar. Demikian pula al-Damamini dan Ibnu Aqil, dua pakar bahasa kenamaan yang sempat mengajar di Al-Azhar. Imam Murtadha al-Zabidi menulis kitab Tajul Arus, Syarah Qamus al-Muhith milik Fairuzabadi juga di Al-Azhar. Demikian ditulis dalam buku Al-Azhar Fi Alfi ‘Am. Al-Azhar, lautan ilmu lughah. Para ulama lughah mencari keberkahan dengan menulis kitabnya di sana.

Syaikhul Azhar, Maulana Ahmad Thayyib mengatakan:

فمن المعلوم تاريخا: أن مركز الثقل في تراث المسلمين كان في بغداد، وفي بلاد فيما وراء النهرين، وأن زعيم المغول دمر بجيشه الوثني تراث المسلمين في هذه البلاد، ومحاه من الوجود عام ٦١٦ ه – ١٢٢٠ م، ثم جاء حفيده هولاكو عام ٦٥٦ ه – ١٢٥٨ فدمر بغداد برجالها ونسائها واطفالها ومدارسها ومكتباتها.

ولك أن تتساءل: أين قدر لهذا التراث أن ينبعث ويتماسك من جديد، ويستعيد دوره في حماية أمة بحجم أمة المسلمين؟

والإجابة التي لا يعرف التاريخ إجابة غيرها: إنه الأزهر الشريف وعلماؤه وأروقته، ولولاه لأصبحت الأمة بلا رأس، وأصبح اندماجها في الحضارات الأخرى وانسحاقها في تراثها أمرا محتوما تفرضه عوامل التطور وحركات التاريخ.

“Sudah diketahui dalam sejarah bahwa pusat besar turats umat Islam di Baghdad dan di Bilad Fi Ma Waraa al-Nahr (Transoxiania). Panglima Mongol menghancurkan turats umat Islam. Meluluhlantakkan Baghdad, rakyatnya, anak-anak kecil dan perempuan di dalamnya, beserta perpustakaannya.

Kalian bisa bertanya-tanya: ‘Di mana turats mampu kembali dan dapat dicengkeram kembali seperti semula serta mengembalikan perannya untuk menjaga umat Islam?’

Satu-satunya jawabnya yang diketahui oleh sejarah: ‘Ya. Dialah Al-Azhar, ulamanya, ruwaq-ruwaqnya. Tanpa Al-Azhar, umat Islam akan menjadi umat tanpa kepala. Dan keberadaannya dalam peradaban-peradaban dan keterbelakangan umat Islam dalam turatsnya menjadi sebuah kenyataan yang tak bisa dielakkan tanpa Al-Azhar yang bisa dibuktikan dengan aspek-aspek sebuah kemajuan dan pergerakan sejarah’.”

Setelah itu, Syaikhul Islam wa Al-Azhar melanjutkan dengan mengutip perkataan Zaki Najib Mahmud, Filsuf modern,

“Barangkali para pembaca mengira saya sedang membanggakan peran madrasah ini (Al-Azhar), atau memujinya melebihi batas. Saya akan mengutip perkataan filsuf Mesir yang dikenal dengan ensiklopedisnya, kepakaran dan penggabungannya antara dua kebudayaan barat dan timur,

‘Peradaban Islam datang dan tiap muslim mengetahui bahwa sumbangsih Mesir bagi peradaban Islam. Sekiranya tidak ada sumbangsih dan peran Al-Azhar pada abad 12, 13 dan 14 H, tidak akan ada turats Arab Islam. Di mana kita menemuinya sementara Tartar membakar turats Islam dan Andalusia telah hilang di tangan orang-orang yang berperang. Akan tetapi Al-Azhar bersegera mengumpulkan kembali turats itu sebelum hilang. Dikumpulkan kembali. Tapi pengumpulan apa yang dimaksud? Yaitu tidak sekedar mengumpulkan, melainkan menciptakan hal yang baru dan tujuan’.”

Qultu: Itu bisa disaksikan gencar keilmuan pada zaman Utsmaniyah di Al-Azhar. Para ulama Azhar berlomba-lomba membuat kitab matan, syarah, hasyiah, taqrir di fan-fan keilmuan yang bermacam-macam. Bahkan tak berlebihan jika dikatakan bahwa zaman itu adalah zaman penghasyiahan sebuah fan ilmu. Syekh Athhar, Syekh Mallawi, Syekh Amir Kabir, Syekh Baijuri, Syekh Suja’i, dan ribuan nama lainnya menghiasi dinding peradaban Islam hingga saat ini.

Jika dilihat di abad sembilan belas, dua puluh dan dua puluh satu, kita akan menemukan seabrek nama-nama ulama yang telah menjaga agama ini pernah menghirup udara dan debu Al-Azhar. Di Mesir, kita menemui Syekh Bakhit, Syekh Musthafa Imran (guru Syekh Azhar Ahmad Thayyib, Syekh Hasan Syafi’i dan Syekh Muallim Syekh Husam). Di Syiria, kita menemukan Syekh Hassan Hanabakeh, Syekh Buthi, Syekh Wahbah Zuhail, Syekh Nurudin ‘Ithr. Di Tunisia, kita temukan Syekh Kimtir, Syekh Jami’ Zaitunah sekarang. Di Indonesia, Syekh Nawawi al-Bantani al-Azhary, Syekh Mahmud Yunus, Syekh al-Habib Muhammad Quraish Shihab dan lain-lain.

Jika ditelusuri lagi, akan banyak kita temukan. Namun, sebagaimana bintang-gemintang di langit sulit dihitung, demikian pula para ulama Al-Azhar.

وامدح بأمدح ما في الشعرِ أَزهَــرَنَا

فأمدح الشعر عن أوصـافه عــجــزا!

[الشيباني الإندونيسي]

Pujilah Al-Azhar kita dengan pujian yang maha memuji yang terdapat dalam sebuah syair

Paling memujinya syair telah lemah dalam menyifati Al-Azhar!

Paling terpenting bukan bagaimana kita hanya membanggakan al-Azhar, tapi yang jauh lebih penting dari itu, bagaimana Al-Azhar bisa bangga kepada kita. Dengan apa? Menjaga turast-turats yang mereka tinggalkan kepada kita dengan memahaminya dan menyelam dalam samudera rahasia-rahasianya.

Hari ini ulang tahun Al-Azhar yang ke 1082 tahun. Tepatnya pada 7 Ramadhan. Selamat ulang tahun, Sayyidina Al-Azhar!

(Syihab Syaibani-Beben/ Mahasiswa Universitas Al-Azhar Jurusan Dirasat Islamiyah wal Arabiyah)

Sumber:

Al-Azhar Fi Alfi ‘Am

Al-Azhar Wa Dauruh Fi Nasyr Tsaqafah

Read more
06Apr

Al Azhar dan Wakafnya

April 6, 2022 buutsfpib Kabar Azhar 17

(Edisi Spesial Ramadhan: Milad Al-Azhar ke-1082 Vol. 03)

Memasuki 1082 tahun sebagai kiblat ilmu pengetahuan, Al-Azhar tetap eksis mengawal perkembangan zaman dalam bidang kelimuan. Selain sebagai kiblat ilmu pengetahuan, al-Azhar juga terkenal dengan wakafnya. Karena wakafnya itulah, Al-Azhar dijadikan tonggak perwakafan dalam bidang pendidikan.

Sistem perwakafan menjadi salah satu faktor dari maju dan bertahannya suatu lembaga. Untuk itu, mengetahui bagaimana Al-Azhar dalam sistem perwakafan dan penerapannya adalah sesuatu yang perlu dikaji. Di sini penulis akan mencoba membahas secara singkat bagaimana Al-Azhar dan wakafnya dalam bidang pendidikan dan pengajaran.

Perekonomian Al-Azhar menuju ke sistem perwakafan dialami secara bertahap. Saat berdirinya, pemasukan keuangan masjid Al-Azhar didapatkan dari Daulah Fathimiyah, seperti halnya masjid-masjid lainnya. Ketika masuk kepemimpinan khalifah kedua Daulah Fathimiyah, Al-Aziz Billah, halaqah keilmuan diadakan dengan saran dari Ibnu Kilis. Adapun keuangan Al-Azhar saat itu didapatkan dari infaq pribadi Khalifah dan Perdana Menteri, baik untuk para muridnya, tempat tinggal, sandang pangan, serta hal-hal lain yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pengajar dan murid.

Masuk ke pemerintahan Khalifah ketiga -Hakim bi Amrillah- sistem perwakafan mulai diterapkan agar keuangan yang masuk ke Al-Azhar bisa terus menerus berputar dan tidak tergantung dengan seorang khalifah. Sejak itulah Al-Azhar menganut sistem perwakafan sebagai masjid dan tempat belajar-mengajar di Daulah Fathimiyah.

Terkait wakaf pertama al-Azhar, Dr. Abdul Aziz Muhammad al-Sinawy dalam bukunya Al-Azhar Jami’ wa Jami’ah, mengutip dari Maqrizi dalam bukunya Al-Khothoth, menjelaskan mengenai piagam wakaf bahwa Hakim bi Amrillah memberikan sebagian hartanya sebagai wakaf –tertulis di pembukaan piagam-. Yaitu diwakafkan untuk tiga masjid: pertama Al-Azhar, yang kedua Masjid Rasyidah, dan yang ketiga Masjid Muqish, kemudian disusul dengan Dar Hikmah. Piagam tersebut dikeluarkan ketika bulan Ramadhan tahun 400 H (sekitar 18 April – 17 Mei 1010 M).

Wakaf tersebut berupa harta yang tetap, seperti tanah pertanian, pasar, dan lain sebagainya. Harta yang telah diwakafkan tersebut tidak diperjualbelikan, namun dikelola agar terus berputar dan hasilnya kembali ke Al-Azhar sendiri. Dari Al-Azhar untuk Al-Azhar dan umat Islam. Akhirnya keuangan berputar secara terus-menerus tanpa bergantung pada seseorang yang menginfakkan hartanya.

Sistem tersebut diterapkan Al-Azhar sepanjang perjalanannya hingga saat ini kecuali ketika Daulah Ayyubiyyah, yaitu ketika Al-Azhar ditutup dan menghentikan wakafnya untuk menepis penyebaran madzhab Syiah. Sejak saat itulah sistem keuangan dan perputaran ekonomi Al-Azhar tidak terbatas dari seorang Khalifah atau perdana menteri yang menyokong keuangannya. Melainkan dari pemilik harta tetap yang mewakafkan pada Al-Azhar secara umum untuk dikelola, atau secara khusus diberikan kepada para pengajar, murid, atau halaqah dan ruwaq tertentu.

Sistem perwakafan tersebut dikelola oleh para qudhat, atau sekarang ini dikenal sebagai menteri. Tak lain seperti Al-Azhar saat ini yang telah dikelola oleh Kementerian Wakaf Mesir. Wakaf berkembang pesat, tak hanya diterapkan oleh Al-Azhar, melainkan Mesir pun mengembangkan dan mengelola wakaf secara produktif. Wakaf berkembang pesat ketika pemerintah Mesir menerbitkan Undang-undang No. 80 Tahun 1971 yang mengatur pembentukan Badan Wakaf Mesir yang khusus menangani masalah wakaf dan pengembangannya, berserta struktur, tugas, tanggung jawab dan wewenangnya. (ZISWAF, Vol. 4 No. 1, Juni 2017).

Setelah dipaparkan bagaimana sejarah dan permulaan sistem perekonomian dan wakaf al-Azhar secara singkat, kita bisa melihat sekilas gambaran sistem perwakafan dalam bidang pendidikan dan pengajaran sebagai penunjang keduanya.

Eksistensi Al-Azhar dalam bidang perwakafan dan keilmuannya tidak disempitkan dalam bentuk harta yang tetap seperti tanah pertanian, pasar atau toko dan lain-lainnya. Melainkan wakaf dimaknai secara luas sebagai gaya hidup dalam segala lini pendidikan. Selain perputaran keuangan yang mandiri atau ekonomi proteksi, wakaf tercerminkan hampir di setiap lini Al-Azhar, baik wakaf harta, tenaga, ide atau gagasan.

Harta tetap yang merupakan wakaf tersebut –seperti tanah dll- dikelola hingga berputar terus menerus hingga memiliki perekonomian yang mandiri. Hasilnya dikelola dan kembali pada lembaga itu sendiri, bahkan kembali kepada umat Islam. Begitupula seorang guru, telah mengajar dengan ikhlas, ia telah mewakafkan tenaga, ilmu atau ide untuk kesejahteraan umat dengan ilmu yang ia sampaikan pada muridnya. Begitupula ide dan gagasan dari seseorang yang mengelola sistem pengajaran dan pendidikan tersebut pun termasuk wakaf, wakaf ide dan gagasan. Wakaf yang berasal dari diri umat tersebut akan kembali ke umat dan bahkan kebermanfaatannya akan menyebar lebih luas dan terus menerus. Begitulah sekiranya kita mampu mengambil pelajaran dari al-Azhar.

Tapi bukan berarti, belajar di Al-Azhar itu sesuatu yang murah dan bisa kita remehkan. Akan tetapi termasuk hal mahal, karena ukuran mahal dan murahnya suatu hal bukan hanya pada harta/ materil yang dibayarkan atau tidak. Disebut mahal karena kualitas kelimuan dengan guru yang mempunyai otoritas di bidangnya melimpah ruah dan tinggal kita memilihnya. Karena sesuatu yang berkualitas bukanlah hal yang murah. Itu hal Mahal. Itulah wakaf al-Azhar yang telah membantu kita belajar, melalui sistem perwakafan dalam bidang pendidikan dan pengajaran yang meringankan beban para penuntut ilmu, terlebih para mahasiswa rantau. Wallahu a’lam bi al-showwab. (Ummu Maghfiroh/ Mahasiswi Universitas Al-Azhar Jurusan Sastra Arab)

Read more
04Apr

Al Azhar, Berkah Ramadhan Untuk Seluruh Umat

April 4, 2022 buutsfpib Kabar Azhar 18

(Edisi Spesial Ramadhan: Milad Al-Azhar ke-1082 Vol. 02)

Telah disyariatkan puasa Ramadhan pada umat Islam selama 1442 tahun, tepatnya pada 10 Sya’ban tahun kedua hijriah. Begitu banyak keutamaan dan keistimewaan bulan Ramadhan yang menjadi berkah bagi tiap individu muslim. Diri yang mampu mengendalikan hawa nafsu, dosa-dosa yang terampuni, pahala yang dilipatkangandakan, juga limpahan berkah lainnya yang kembali kepada pribadi muslim tersebut.

Ramadhan tidak hanya membawa keberkahan bagi individu, namun juga untuk seluruh penjuru dunia. Diantara keberkahan jama’iy tersebut adalah peristiwa yang terjadi pada 361 tahun setelah Nabi Muhammad Saw. berhijrah. Pada tahun tersebut, tepat di hari ketujuh bulan Ramadhan, lahirlah masjid Al-Azhar pada era Dinasti Fathimiyyah. Masjid tersebut kemudian menjadi pusat keilmuan dan penyebaran agama Islam bermadzhab Syi’ah. Hari demi hari berlalu, penguasa berganti, dan era kepemimpinan berubah. Hal tersebut berdampak pula pada peran dan fungsi masjid Al-Azhar sebagai mimbar resmi agama Islam di Mesir. Hingga akhirnya, kini Al-Azhar dikenal sebagai pusat agama dan keilmuan Islam bermadzhab Sunni, bukan lagi Syi’ah.

Masjid Al-Azhar terus berdinamika seiring dengan kemajuan zaman. Terlihat dari perkembangannya yang bermula dari masjid hingga kini terdapat sekolah-sekolah modern, universitas, pusat riset, asrama mahasiswa, perpustakaan, observatorium, dan lembaga-lembaga lainnya. Tentu saja, itu semua masih dalam koridor menyebarkan agama rahmatan lil ‘alamin ke seluruh penjuru dunia.

1082 tahun bukanlah umur yang pendek bagi Al-Azhar. Silih berganti kepemimpinan, hingga kini terhitung 44 sosok Imam Besar Al-Azharyang telah memegang amanah mulia ini. Kesyukuran serta ketakjuban yang luar biasa, Al-Azhar tetap eksis dan memegang peranan penting di berbagai lini, khususnya dalam bidang pendidikan dan penyebaran agama Islam. Al-Azhar juga semakin dikenal dunia dengan konsep wasathiyat al-Islam dan wakafnya yang produktif. Sehingga menarik minat pelajar lokal maupun asing untuk datang menuntut ilmu di bawah naungan masyayikhnya. Terlebih lagi dengan subsidi pendidikan yang begitu besar sehingga para pelajar dapat menuntut ilmu dengan nyaman dan optimal.

Sebuah populasi yang besar, Al-Azhar menelurkan ulama-ulama dan pakar-pakar di berbagai disiplin ilmu. Ketika mereka kembali ke tanah air masing-masing, merekalah yang menjadi penyambung lidah Al-Azhar dalam menyampaikan agama Islam yang wasati dan seluruh ilmu yang mereka dapatkan di Al-Azhar. Hal tersebut merupakan bentuk keberkahan dan keridaan dari Sang Pencipta yang bermula di bulan yang penuh berkah, Ramadhan.

Tentu saja, keberkahan Al-Azhar tidak hanya sampai pada apa yang penulis sampaikan. Melainkan masih banyak lagi yang penulis tidak ketahui akan hal tersebut. Namun, di artikel “Edisi Spesial Ramadhan: Milad Al-Azhar ke-1082”, para penulis sedikit banyak mencoba mengulas Al-Azhar dari berbagai sisi dengan tujuan menjaga dan mempertahankan nilai-nilai Al-Azhar sehingga tetap melekat dalam sanubari para santrinya. Semoga Allah Swt. selalu menjaga Al-Azhar, masyayikhnya, santrinya, pendukungnya, dan semua orang yang terlibat dalam kemajuan ilmu dan agama Islam. Dan semoga Allah meridai usaha para penulis sehingga rampunglah edisi spesial ini.

Selamat menikmati!

Oleh : Nusaibah Masyfu’ah

Read more
Logo FPIB Kecil Web

FPIB (Forum Pelajar Indonesia Bu’uts) merupakan forum sosial yang mewadahi seluruh pelajar Indonesia yang terdaftar di Madinatul Bu’uts Al Islamiyyah.

FPIB © All rights reserved

Kategori

  • News
  • Info

Info

  • Ijroat Adventure Minhah Dakhili
  • Ijroat Adventure Minhah Khoriji
  • Taqdim Minhah

Tentang Kami

  • About FPIB
  • Kontak